I.
Pendahuluan:
Mc Iver pakar sosiologi politik
pernah mengatakan:“Manusia adalah mahluk yang dijerat oleh jaring-jaring yangdirajutnya sendiri”. Jaring-jaring itu adalah kebudayaan. Mc Iver ingin mengatakan
bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat (socially
constructed) tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur
bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan “pola tertentu”.
Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia tetapi
bisa tertanam dalam kepribadian individu (internalized). Dengan demikian
kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari
luar dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah
nilai-nilai (values) yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau
salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek
(nilai estetika). Dari system nilai inilah kemudian tumbuh norma yang merupakan
patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam
bermasyarakat.
Jelas dari uraian diatas bahwa
kebudayaan merupakan unsur paling dasar (basic) dari suatu masyarakat, sehingga
sampai sekarang sebagian sosiolog dan antropolog masih menganut faham culturaldeterminism yaitu bahwa
sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya.
Lawrence Harrison dalam bukunya “Culture Matters” menggambarkan bagaimana
nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia (Harrison,
2000). Samuel Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan
Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun
kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami
kemajuan apapun dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas Korea
Selatan. Ini disebabkan (terutama)
karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti:
hemat, kerja keras, disiplin dsb. Semua tidak dimiliki masyarakat Ghana.
Perbandingan yang sama bisa juga kita lakukan antara
Indonesia dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut merdeka pada tahun yang
sama, keduanya sama-sama pernah dijajah oleh Jepang. Sekarang ekonomi dan
kebudayaan Indonesia jauh tertinggal dari Korea Selatan. Malaysia yang
sama-sama berkebangsaan melayu dan
merdeka jauh setelah Indonesia, sekarang juga telah meninggalkan
kita.Hal itu belum seberapai bila kita membandingkan diri dengan Singapore.
Dalam hal ini tidak berlebihan bila kita menyebut kebudayaan Indonesia sebagai “kebudayaan yang terkalahkan” (defeated culture).
Apakah benar kita merupakan
masyarakat dan bangsa yang ditakdirkan untuk terbelakang? Apakah ada yang salah
pada kebudayaan kita? Apakah kita harus percaya pada cultural determinism? Pada
derajat tertentu faham itu mungkin benar, karena banyak pakar telah
menggambarkan bahwa bangsa kita memang memiliki kemiskinan
budaya (culturaldeficiency) seperti antroplog terkenal Koentjaraningrat serta budayawan
terkenal Mochtar Lubis pernah mengupasnya sekitar tahun 70-an. Lalu, apakah
kita harus berputus asa?. Apakah kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat (inherent) pada
suatu masyarakat?, apakah kebudayaan tidak mungkin dirubah atau dibangun?.
Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah:”Apakah kita memang telah membangun budaya kita selama
ini?”. Apakah pembangunan kita yang
pernah dijuluki sebagai salahsatu dari “the Asian miracle” ini telah membangun
juga unsur-unsur budaya?, atau hanya sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata?.
Tulisan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh masalah pembangunan nilai-nilai
di Indonesia serta mencoba untuk mencari format pembangunan yang lebih
mengindahkan nilai-nilai.
II.
Analisis situasi
Perkembangan Budaya Masyarakat Indonesia.
Bila
kita bertanya apa hasil pembangunan di masa orde baru hingga sekarang, maka
kita akan mendapatkan berbagai angka-angka perkembangan ekonomi dan daftar
panjang sejumlah sarana-prasarana fisik yang telah dibangun. Bagaimana dengan perkembangan
sosial budaya kita? Beribu-ribu sekolah, perumahan, Rumah Sakit dan rumah
ibadah telah dibangun, tetapi mampukah kita menjawab secara terukur
perkembangan kwalitas kehidupan sosial atau budaya kita? Misalnya:
”Apakah masyarakat Indonesia semakin rukun?, semakin mandiri?,
semakin peduli?. Sebagian besar orang pasti akan menjawab “tidak”,
tetapi tak seorangpun bisa menentukan sejauhmana kemerosotan itu?, karena semua
itu memang tidak pernah diukur. Beberapa gejala menonjol dari proses
perkembangan nilai-nilai di Indonesia saat ini adalah:
Jurang antara Nilai ideal dan nilai aktual
Apakah
masyarakat Indonesia tidak memiliki
nilai-nilai luhur?, nilai-nilai adiluhung?, tentu saja punya!, sebut saja
Pancasila yang dikagumi banyak bangsa lain, setiap daerah juga punya nilai
tradisional yang dibanggakan. Tetapi kita tahu bahwa semua itu hanya merupakan “nilai
ideal” (ideal values) sementara itu kehidupan kita sehari-hari
dikendalikan dan diarahkan oleh seperangkat nilai-nilai lain seperti materialisme, pragmatisme, egoisme (baik pada
tingkat individu, kelompok, daerah, sektor dsb.), hedonisme, permissiveness,
opportunisme, primordialisme, dogmatisme. Nilai-nilai inilah yang kita anggap
sesuai untuk mempertahankan “survival” di masyarakat modern saat ini. Ini semua
adalah real atau actual values. Bangsa lain pasti
juga mengalami kesenjangan antara nilai ideal dengan actual, tetapi pada
masyarakat kita kesenjangan ini terasa amat dalam bahkan diametral, sehingga
kita merasa menjadi bangsa yang munafik atau hipokrit. Pada masa Orde
Baru kita menggalakkan penanaman Pancasila tetapi pada saat yang sama pimpinan
negara sampai rakyatnya melanggar semua nilai-nilai itu. Di masa reformasi
bangsa ini bertekad membasmi KKN, tetapi data menunjukkan bahwa korupsi di masa
ini malah lebih merata daripada dimasa Orde Baru. Bangsa ini berteriak anti
militerisme, tetapi budaya kekerasan dikalangan sipil semakin marak
(semua parpol bangga dengan laskar-laskar sipilnya, budaya perpeloncoan yang
sarat “kekerasan dan penyiksaan” terus bertahan di Universitas bahkan menjalar
ke sekolah menengah dsb.).
Inkonsistensi antar agen sosialisasi
Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami krisis nilai, situasi
amat anomic karena adanya inkonsistensi yang tinggi antara nilai-nilai yang di
sosialisasikan oleh suatu pranata sosial dengan pranata sosial lainnya. Nilai
yang diajarkan orangtua di keluarga (yang kebanyakan berbasis agama dan adat) berbeda dengan nilai di sekolah (yang
berbasis pada kebijakan pemerintah atau kurikulum yang sudah ditetapkan
pemerintah). Nilai yang diajarkan disekolah juga tidak sama dengan nilai yang
berlaku ditempat kerja yang saat ini nampaknya lebih di dominasi oleh
nilai-nilai KKN (semua orang tahu bahwa korupsi di Indonesia adalah korupsi yang
dilakukan bersama-sama secara sistemik, sering disebut sebagai “grouped
corruption”). Media komunikasi massa (TV, internet, radio dsb.) yang semakin
menjadi “primadona” di jaman revolusi informasi ini nampak semakin bebas
membawa masyarakat pada system nilai yang amat pragmatis dan hedonis. Berbagai
kekuatan agent of socialization ini bertemu dalam ruang publik yang “takbertuan” (karena tidak ada pihak yang melindungi atau mengaturnya termasuk
pemerintah). Akhirnya yang kuat akan meng-hegemoni yang lain, maka nilai-nilai
yang paling pragmatis, materialistis dan mengagungkan kenikmatan
(hedonistic)-lah yang nampaknya akan menang!.
Institusionalisasi tanpa internalisasi
Sejak
memasuki masa Reformasi, bangsa Indonesia
ingin melakukan perombakan nilai-nilai Orde Baru yang dianggap “busuk”
dan menggantinya dengan nilai-nilai baru. Dalam periode yang relatif singkat,
parlemen (nasional maupun lokal) meluncurkan produk-produk hukum yang baru.
Akan tetapi pelembagaan (institusionalisasi)
hukum ini ternyata tidak diikuti secara seimbang oleh proses penanaman
nilai-nilai yang melandasi norma baru tersebut (proses internalisasi).
Misalnya UU Politik yang demokratis tidak diikuti oleh penanaman nilai-nilai
demokrasi pada masyarakat luas baik melalui kehidupan di keluarga, komunitas,
sekolah, media massa dsb. Maka terjadilah suatu gejala “institusionalisasi
tanpa internalisasi”, akibatnya aturan dijalankan tanpa dilandasi
penghayatan nilai-nilai. Melakukan pemilu tanpa nilai demokratis, menjalankan
supremasi hukum tanpa menjiwai nilai keadilan. Hukum yang tidak didukung oleh
system nilai masyarakat akan tumpul, individu-individu tidak akan memiliki rasa
bersalah bila melanggarnya (tidak ada “inner control” ). Disamping
hilangnya rasa bersalah, masyarakat kita juga mulai kehilangan rasa malu
terhadap sesamanya, ini disebabkan karena kekuatan “kontrol sosial” mulai
memudar dikalangan masyarakat. Bahkan sekarang masyarakat kita sering melakukan
pelanggaran norma secara bersama-sama (misalnya korupsi “berjamaah”). Orang
mengatakan kita sudah kehilangan budaya malu. Dalam situasi ini satu-satunya
“rem” yang bisa menghambat orang melanggar peraturan adalah rasa takut
misalnya terhadap hukuman atau takut terhadap petugas. Akan tetapi akhir-akhir
ini kita melihat gejala bahwa banyak orang kehilangan rasa takutnya pada hukum,
karena hukum dapat dibeli, dan “diatur”. Bila ketiga “rasa” tadi sudah memudar,
darimanakah kita akan memulai penegakan hukum kita?
III. Pembangunan Budaya.
Perdebatan tentang mana yang lebih penting pembangunan ekonomi dan fisik
atau pembangunan sosial-budaya merupakan perdebatan klasik yang tiada hentinya.
Walaupun pembangunan ekonomi dan fisik pada kenyataannya lebih dominan dan
menjadi prioritas, pemerintah selalu menyatakan bahwa pembangunan sosial-budaya
tidak diabaikan, tetapi pembangunan sosial-budaya seperti apa?. Pembangunan budaya yang telah dilakukan
pemerintah pada dasarnya memiliki beberapa pengertian yaitu:
1)
Pembangunan sosial budaya
diartikan sebagai “pembangunan sektorsosial-budaya” (yaitu sector yang
outputnya bukan uang atau barang tetapi peningkatan kwalitas manusia atau
kesejahteraan sosial) misalnya: sektor pendidikan, kesehatan, agama dsb. Hal
ini memang penting sekali, tetapi secara sosiologis terdapat pertanyaan yang
lebih mendalam yaitu: apakah pembangunan sektor sosial tsb. telah mengembangkan
kwalitas interaksi sosial atau nilai-nilai budaya masyarakat secara
keseluruhannya?. Misalnya apakah pembangunan sektor pendidikan kita
saat ini mampu mengembangkan kreativitas ilmiah atau kemandirian manusia
Indonesia?, apakah pembangunan sektor kesehatan mampu mengembangkan pola
perilaku sehat?, apakah pembangunan sektor agama dapat
mengembangkan nilai kerukunan?. Pada kenyataannya pembangunan sosial
dalam pengertian ini masih belum mencukupi, karena belum mencakup pembangunan
budaya atau nilai-nilai dalam arti yang sebenarnya.
2)
Pembangunan sosial budaya
diasumsikan akan terjadi dengan sendirinya sebagai akibat dari
pembangunan ekonomi (misalnya terjadi peningkatan etos kerja, profesionalisme,
menghargai waktu dsb.) Asumsi ini sebagian benar, tetapi pemerintah perlu juga
mewaspadai bahwa pembangunan juga dapat menghasilkan dampak sosial-budaya
negatif (pemerintah sering menganggap
hal ini sebagai social cost yang wajar dan harus diterima, tidak perlu
dilawan dengan “pembangunan nilai-nilai”) misalnya berkembangnya nilai-nilai
hedonisme, individualisme, dehumanisasi dsb.
3)
Pembangunan budaya sering juga
diartikan sebagai upaya konservasi (sekedar mengawetkan budaya lama).
Kegiatan ini sering hanya dilandasi . Secara politis sering berfungsi
sebagai aksesoris yaitu untuk memberi kesan bahwa regim yang sedang berkuasa
cukup mempunyai “penghargaan” terhadap produk budaya klasik. Pembangunan bidang
ini biasanya tidak memperoleh dana yang besar kecuali jika konservasi tersebut
dikaitkan dengan investasi kepariwisataan.
4)
Pembangunan budaya diartikan
sebagai pembangunan nilai yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan
ekonomi, jadi tujuan pembangunan yang utama adalah ekonomi. Nilai-nilai
yang dikembangkan hanya untuk menopang pembangunan ekonomi. (mis.
entrepreneurship, sikap partisipatif dsb.)
5)
Pembangunan nilai sebagai tujuan
utama dari pembangunan kwalitas manusia dan interaksi manusia misalnya
pengembangan nilai-nilai keadilan (fairness), kerukunan (inclusiveness,
brotherhood, communitarian), kepedulian (social responsibility, care),
kemandirian (self reliance, independence bukan egoistic individualism),
kejujuran (trustablity, honesty, sincerety), sinergi (maju bersama dengan prinsip win-win solution
dan synthetic energy bukan sekedar kompromi, koalisi atau kolusi). Pembangunan budaya (nilai-nilai) jenis inilah
yang terutama akan dibahas dalam tulisan ini, karena tujuannya adalah
meningkatkan kwalitas interaksi, sikap dan perilaku manusia yang dapat
mengarah pada suatu bentuk masyarakat adab.
Jadi,
pembangunan budaya mungkin sudah dilakukan oleh semua negara atau bangsa,
tetapi kita perlu melihat lebih jauh pembangunan budaya yang seperti apa? Dari
5 jenis pembangunan kebudayaan yang ada, sebaiknya kita tidak memilih salahsatu
daripadanya, tetapi semuanya dan semangatnya harus bermuara pada yang terakhir
(nomer 5).
Pembangunan budaya sendiri masih mengalami berbagai hambatan karena
terdapat berbagai persepsi atau anggapan yang berbeda, misalnya sering
dianggap
alam merupakan faktor
penentu dari terbentuknya budaya (misalnya daerah tropik menciptakan
budaya santai dsb.). Kini banyak bangsa atau negara di daerah tropik yang punya
budaya dinamis seperti negara non tropis. Kekuatan yang dapat merubah budaya
adalah sense of direction dari masyarakat bersangkutan (seperti
Singapore sebagai suatu negara kecil yang hanya bisa mengandalkan manusia dan
budaya). Menurut faham cultural relativism tidak ada budaya yang buruk atau
baik. Budaya Amerika baik untuk masyarakat amerika bukan untuk masyarakat
Indonesia, itu mungkin benar, tetapi faham ini tidak boleh menjadi alasan untuk
menghindari usaha memperbaiki degradasi system nilai yang terjadi di
masyarakat kita. Unsur-unsur kebudayaan kita yang buruk perlu kita rubah dan
kita buang dan unsur budaya lain yang baik bisa kita pelajari dan adopsi.
Kontroversi mengenai cultural engineering sampai saat ini masih
berlanjut. Sebagian orang mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang
mengalir secara alamiah seperti sungai mencari jalannya sendiri. Tidak
seorangpun termasuk pemerintah, berhak merekayasa kebudayaan kearah tertentu.
Menciptakan suatu “blue print” budaya bagi seluruh masyarakat adalah tidak etis
dan tidak sesuai dengan HAM. Memang benar kebudayaan merupakan hasil negosiasi
sehari-hari dari berbagai kekuatan sosial dan factor-faktor lingkungan lain yang mempengaruhi kehidupan
manusia:”social order is a negotiated order”, tetapi dalam kenyataan,
ternyata kekuatan dari berbagai factor itu berbeda-beda, sehingga hampir semua
kebudayaan di dunia ini jatuh dalam suatu
scenario yang diciptakan secara sepihak oleh “pihak yang
berkuasa” (hegemon). Pada jaman modern ini kaum kapitalis raksasa mencengkeram
dan menyeret kebudayaan umat manusia kedalam jebakannya melalui kekuatan iklan
dan gaya hidup konsumtivisme yang amat kuat dan
merajalela (overwhelming). Pendekatan pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan yang telah menghasilkan 3 krisis besar didunia yakni: “kekerasan,
kemiskinan dan kehancuran lingkungan” adalah hasil dari kekuatan rekayasa
itu. Jadi sebenarnya cultural
engineering sudah terjadi dalam kehidupan manusia. Apakah manusia akan menyerah pada kekuatan
itu, ataukah akan melawan? Tidakkah mungkin masyarakat umum (civil society)
bersama pemerintah merancang suatu scenario tandingan yang mampu mengembalikan
manusia dari gejala “dehumanisasi” ini
?
Pembangunan National Character?
Hal ini
memang perlu, tetapi bukan untuk sekeder menyeragamkan daerah atau
mengembangkan chauvinisme (fanatisme budaya nasional), tetapi yang lebih
penting adalah membangun system nilai
yang secara universal dapat menjembatani hubungan antar daerah bahkan antar
negara secara adil, menghargai perbedaan, egaliter, tidak hegemonic, tidak
primordialistis atau sectarian. Perlu ada tekad nasional untuk menciptakan
suatu konsistensi nilai-nilai didalam
proses sosialisasi. Jadi perlu ada nilai (universal) yang dikembangkan secara
nasional, tetapi daerah tetap memiliki ruang untuk bisa mempertahan karakternya
masing-masing. Tidak boleh terjadi misalnya suatu daerah menerapkan suatu hukum
adat tertentu yang dapat menghambat
kerjasama antar daerah (sektarianisme, eklusivisme).
IV.
Pembangunan Berbasis
Nilai.
Rejim Orba pernah melakukan usaha pembangunan nilai-nilai Pancasila
melalui P4. Ini merupakan suatu contoh cultural engineering yang gagal. Ini
boleh disebut cultural engineering karena nilai-nilai yang akan ditanamkan
telah ditentukan, diolah secara rapih dari atas, metodenyapun telah dirancang
secara baku. Tidak ada yang boleh keluar dari pakem yang telah ditentukan.
Tingkat paksaan (koersinya) cukup tinggi, bahkan dengan nuansa sakralisasi yang
kental, sehingga Pancasila dapat menjadi label dari orang yang baik atau tidak
baik (berbahaya). Nilai-nilai itu amat mutlak tidak dapat ditawar dan sebagian
terbesar digunakan untuk meningkatkan konformitas dogmatis terhadap rejim,
sehingga ini boleh disebut sebagai indoktrinasi. Sebagai proses pelembagaan (institusionalisasi)
P4 boleh dibilang sukses, tetapi tingkat internalisasi (menjadi darah
daging dan kepribadian) pada warganegara sangat tipis. Sebagai ekses dari
kegagalan P4 sekarang justru nilai-nilai pancasila yang masih amat berguna bagi
bangsa ini menjadi korban ketidak percayaan masyarakat. Kegagalan pembangunan
nilai-nilai dengan P4 ini tidak boleh dijadikan alasan bahwa bangsa ini tidak
perlu lagi melakukan pembangunan nilai-nilai.
BangsaKorea dibawah Park Chung Hee pernah melakukan suatu gerakan pengembangan
nilai-nilai untuk membangkitkan kembali bangsa Korea dari keterpurukan mental
dari penjajahan Jepang. Gerakan Semaul Undong itu difokuskan pada pengembangan
tiga nilai yang dianggap paling strategis bagi bangsa Korea pada saat itu
yaitu: diligence (kerajinan atau kerja keras), self reliance
(kemandirian) dan cooperation (kerjasama atau gotong royong). Ini semua
bukan nilai dasar (ultimate values),
tetapi nilai instrumental yang sifatnya strategis untuk dikembanghkan pada masa
itu. Gerakan Semaul Undong adalah gerakan yang didukung sepenuhnya oleh
pimpinan nasional dilakukan secara
sistematis dan konsisten. Keberhasilan semua program pembangunan (termasuk
ekonomi dan fisik) dikaitkan dengan pengembangan ketiga nilai tersebut. Karena
komitmen yang tinggi dari semua komponen bangsa, maka gerakan itu bisa dibilang
berhasil dan merupakan salah satu faktor yang membentuk bangsa Korea menjadi
seperti sekarang ini.
Melihat
keberhasiln Korea dalam membangun nilai-nilai, maka kita harus merasa optimis
untuk dapat melakukan hal serupa. Kita semua menyadari bahwa dalam proses melakukan pembangunan nasional,
kondisi budaya kita justru terus mengalami kemerosotan. Kita perlu melakukan
suatu pengembangan orientasi budaya yang baru dan ini tidak cukup hanya dengan
merumuskan suatu strategi kebudayaan, kita harus lebih jauh lagi melakukan
suatu perencanaan pembangunan sosial budaya yang lebih konkrit.
Pembangunan Berbasis Nilai adalah suatu pembangunan seluruh aspek
kehidupan bangsa (ekonomi, politik fisik, sosial dan budaya) yang dilandasi oleh nilai tertentu. Keberhasilan pembangunan ini
bukan hanya dilihat dari pencapaian kwantitatif setiap bidang atau sektor
pembangunan, tetapi terutama tertanamnya nilai-nilai strategis yang telah
ditargetkan. Dengan demikian pembangunan ini tidak hanya bersifat “growthoriented”, tetapi berbasis nilai atau “value based”. Pembangunan
nilai-nilai itu tidak boleh direduksi kedalam pembangunan sektoral misalnya
“sektor budaya”. Pembangunan nilai disini menjadi bersifat sosietal (mencakup seluruh bidang
kehidupan).
Lagkah-langkah Pembangunan Berbasis Nilai :
1)
Pimpinan Nasional (yang merupakan presiden pilihan rakyat)
harus dapat menggalang konsensus nasional dengan semua komponen elit
nasional dan daerah (baik yang formal maupun informal) untuk mengembangkan nilai-nilai
strategis tertentu yang paling diperlukan oleh bangsa ini untuk dapat
menjawab tantangan jaman pada masa kini.
2)
Nilai-nilai yang akan
dikembangkan bukan nilai ideal yang
bersifat final (ultimate ideal values) seperti Pancasila, tetapi nilai
instrumental yang strategis (strategic instrumental values) yang tentu
saja tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar bahkan akan menunjang
tercapainya nilai-nilai tersebut.
3)
Perumusan nilai-nilai strategis
perlu dilakukan dengan proses bottom-up yakni mendengar aspirasi dan
masalah-masalah konkrit di masyarakat. Nilai-nilai itu kemudian perlu
dirumuskan oleh kelompok pakar, budayawan, pemimpin agama dan adat.
4)
Nilai yang akan dikembangkan dalam
suatu kurun waktu tertentu sebaiknya tidak terlalu banyak tetapi terfokus
pada beberapa (2 atau 3) nilai strategis yang benar-benar perlu dikembangkan
dalam masyarakat kita saat ini untuk mengejar ketertinggalan bangsa kita dari
masyarakat lainnya.
5)
Nilai-nilai tersebut harus
dirumuskan secara singkat, popular, mudah diingat oleh semua orang dan memang
benar-benar mengena dihati sanubari masyarakat kita. Misalnya nilai anti
korupsi (kejujuran), nilai kerukunan dan nilai kemandirian.
6)
Nilai-nilai itu perlu
didefinisikan secara operasional kedalam butir-butir yang dapat dicapai dan
diukur oleh masyarakat (indikator).Misalnya: dibawah ini suatu contoh
penjabaran dari nilai strategis sampai indicator, beberapa butir-butir sengaja
dikosongkan karena penulis tidak bermaksud membuat suatu Pembangunan Berbasis
Nilai seorang diri, semua itu merupakan usaha bersama secara nasional.
v Nilai anti korupsi:
Operasionalisasi:
§ Transparan
o
terbuka pada pengawasan
masyarakat,
o
tidak menyembunyikan fakta/data
§ Akuntabel
o
………..
§ Responsible
o ………..
v Kerukunan:
Operasionalisasi:
§ Kerjasama
o
gotong royong antar kelompok,
o
daerah,
o
organisasi dsb.
§ Tidak bersifat primordial/sektarian
o
……….
o
………..
§ Tidak berkonflik dengan menggunakan kekerasan
o
…….
o
…….
§ Menerima perbedaan antar golongan
o
…..
o ……
v Kemandirian
Demikian seterusnya.
7)
Setiap akhir tahun perkembangan
nilai-nilai tsb. harus dievaluasi oleh lembaga professional yang indipenden
(non pemerintah) pada masing-masing sektor pembangunan (pendidikan, kesehatan,
industri, perdagangan, politik, hukum dsb.). Contoh: nilai kerukunan harus
dikembangkan dibidang pendidikan, tetapi bidang-bidang lain seperti politik,
hukum, bahkan perdagangan atau industri juga harus menunjang nilai kerukunan
(dalam mengatasi masalah perburuhan). Kemandirian harus dikembangkan disekolah,
tetapi sector lain seperti Perbankan juga harus mengembangkan kemandirian
dengan menyediakan kredit bagi pengusaha kecil agar mereka menjadi mandiri (tidak tergantung dari
lapangan kerja yang diberikan oleh investor asing). Cara memperoleh pelayanan
kesehatan juga harus menghasilkan sikap masyarakat yang mandiri. Perdagangan
dan industri juga harus mengembangkan sikap kemandirian dengan lebih
mengandalkan produk dalam negeri. Bahkan secara nasional pemerintah harus
berani mengurangi hutang luar negeri sebagai perwujudan dari sikap
mandiri. Bila idikator menunjukkan
penurunan maka rencana pembangunan atau praktek tindakan yang ada perlu
ditinjau kembali.
8)
Hasilevaluasi harus dilaporkan
dan dipertanggungjawabkan oleh setiap menteri dan akhirnya secara nasional oleh
presiden.
9)
Sebagai konsekwensi dari
otonomi, setiap daerah bisa mengembangkan nilai khas yang dianggap penting bagi
daerah yang bersangkutan, tetapi sebaiknya nilai tingkat nasional tetap menjadi
acuan setiap daerah agar terdapat konsistensi nilai secara nasional.
10)
Nilai-nilai tersebut harus
ditanamkan pada setiap warga negara bukan hanya dengan bentuk ceramah atau
penataran, tetapi dengan tindakan seperti:
Ø keteladanan pemimpin mulai nasional sampai daerah, guru-guru
disekolah
Ø pertunjukkan drama, film, wayang, sinetron dsb.
Ø Iklan layanan masyarakat
Ø Kegiatan-kegiatan nyata seperti olahraga, kesenian, pertandingan.
Ø Pemberian penghargaan (menciptakan role model)
Ø Program-program pembangunan seperti kredit bagi usaha kecil, bantuan
dana dampingan untuk komunitas di kota maupun diperdesaan.
Ø Program insentif atau disinsentif bagi dunia swasta.
Ø Kontrol sosial dengan hukum formal sampai hukuman sosial
(mempermalukan dsb.).
Ø Kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang kemandirian (mis. mengurangi
hutang luar negeri).
Ø Dan sebagainya (tergantung dari kreativitas kita).
V. Kesimpulan
1.
Masyarakat Indonesia kini telah
tertinggal oleh masyarakat lain di dunia (bahkan juga oleh negara tetangga).
Budaya kita telah terkalahkan, oleh karena itu kita harus melakukan
suatu pembangunan yang mampu membangkitkan budaya kita.
2.
Krisis budaya kita telah cukup
mendalam, hal ini nampak dari beberapa gejala yang patut kita kaji lebih
mendalam dan dengan jujur bisa kita cari jalan keluarnya.
3.
Pembangunan Sosial-Budaya selalu
berada dibawah baying-bayang pembangunan Ekonomi, sehingga sering tertinggalkan
atau tidak dianggap penting. Pemerintah merasa telah membangun aspek
social-budaya, tetapi pengertian tersebut masih belum tepat. Kita membutuhkan
Rencana Pembangunan Sosial-Budaya yang bersifat sosietal (menjiwai seluruh
aspek atau sector pembangunan lainnya).
4.
Pemabngunan Berbasis Nilai
merupakan suatu konsep yang belum dimaknai secara benar, masih perlu
disosialisasikan dan diperdebatkan secara nasional. Konsep ini harus disepakati
dan didukung oleh political will pemerintah. Metodologi dan berbagai tehnik
lain masih perlu dikembangkan lebih jauh agar PBN ini benar-benar efektif.
0 Response to "KUMPULAN MAKALAH SOSIAL PEMBANGUNAN BERBASIS NILAI"
Post a Comment