A. Latar Belakang
Korupsi di Indonesia sudah
menjadi permasalahan mendasar bahkan telah mengakar sedemikian dalam sehingga
sulit untuk diberantas. Hal ini terlihat semakin lama tindak pidana korupsi di
Indonesia semakin meluas. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di
semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan
otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan
hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke
tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Korupsi tidak saja terjadi
pada lingkungan pemerintahan dan pengusaha bahkan telah merambah sampai lembaga
perwakilan rakyat dan lembaga peradilan.
Berdasarkan hasil survei lembaga konsultan PERC yang
berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling
korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia
hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai
tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga
teratas negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah Indonesia,
berdasarkan hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India (8,9) dan Vietnam
(8,67). Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat
keempat yang terbersih. Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya
adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5), Hong Kong, Taiwan, dan Korea
Selatan. Rentang skor dari nol sampai
10, di mana skor nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10
merupakan posisi skor terburuk. Ini merupakan survei tahunan yang dilakukan
oleh PERC untuk menilai kecenderungan korupsi di Asia dari tahun ke
tahun.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya banyak
dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui
berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk
komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di
lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, di mana masing-masing instansi
memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam
instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa
penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama
pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif,
efisien, dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga
pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi
eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan
Pembangunan (BPKP).
Dengan telah berlakunya
Undang-Undang Pemberantasan Korupsi sebagai landasan hukum pemberantasan
korupsi dan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen
dan komitmen politik pemerintah melalui
Instruksi Presiden tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi diharapkan dari
waktu ke waktu korupsi di Indonesia berhasil diberantas dan dihilangkan.
B. Deskripsi Singkat
Modul ini memuat makna
korupsi dan penyebabnya, peraturan perundangan tentang korupsi, dampak negatif
korupsi, sikap anti korupsi, pengidentifikasian korupsi, serta penjelasan
prosedur pelaporan Tindak Pidana Korupsi.
Uraian juga mencakup bagaimana upaya pemerintah dari
masa ke masa, dengan berbagai peraturan perundangan Tindak Pidana Korupsi yang
telah dikeluarkan, dalam memberantas korupsi yang sudah mendarah daging di
negara Indonesia.
C. Hasil Belajar
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta
sebagai aparatur pemerintah diharapkan mampu menjelaskan tentang korupsi dan
penyebabnya, menjelaskan peraturan perundangan mengenai korupsi, menjelaskan
dampak negatif korupsi, mampu bersikap anti korupsi, mampu mengidentifikasi
tindakan korupsi, serta mampu menjelaskan prosedur pelaporan korupsi terjadinya
Tindak Pidana Korupsi.
Lebih jauh lagi, modul ini disusun agar
para penyelenggara negara/ pegawai negeri pada khususnya, akan selalu peduli
dengan masalah korupsi, karena korupsi yang meluas dan tidak terkendali adalah
bencana besar. Korupsi menghancurkan negeri dan menyengsarakan rakyat.
D. Indikator Hasil Belajar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, diharapkan
peserta mampu:
1.
Menjelaskan
tentang korupsi dan penyebabnya.
2.
Menjelaskan
peraturan perundangan tentang korupsi
3.
Menjelaskan
dampak negatif korupsi
4.
Bersikap
anti korupsi
5.
Mengidentifikasi
tindakan korupsi
6.
Menjelaskan
prosedur pelaporan korupsi terjadinya Tindak Pidana Korupsi
E. Materi Pokok
Materi pokok yang dibahas dalam modul Percepatan dan
Pemberantasan Korupsi ini adalah:
BAB I : Pendahuluan
BAB II : Penjelasan Tentang Korupsi dan
Penyebabnya
BAB III : Penjelasan Peraturan Perundangan
BAB IV : Dampak Negatif Korupsi
BAB V : Sikap Anti Korupsi
BAB VI : Identifikasi Tindakan Korupsi
BAB VII : Prosedur Pelaporan Korupsi Terjadinya Tindak Pidana
Korupsi
BAB VIII : Penutup
F. Manfaat
Setelah mengikuti mata diklat ini para peserta diklat
diharapkan dapat turut
serta berperan aktif dalam memberantas korupsi di Indonesia.
BAB
II
PENJELASAN
TENTANG KORUPSI DAN PENYEBABNYA
|
Indikator keberhasilan
kompetensi yang dicapai dari bab ini:

Setelah mengikuti pembelajaran
ini, peserta mampu menjelaskan tentang korupsi dan penyebabnya.
A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruption
berasal dari kata corrumpere, suatu
kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa
Eropa seperti Inggris yaitu corruption,
corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa
Indonesia yaitu korupsi (Andi Hamzah, 2005:4).
Beberapa pengertian korup dan
korupsi dari berbagai kamus:
1. Korup berarti:
a. busuk; palsu;
suap (Kamus Bahasa Indonesia, 1993)
b. buruk; rusak;
suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara;
menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi (Kamus
Hukum, 2002)
2. Korupsi berarti:
a. kebejatan;
ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster
Dictionary, 1978)
b. penyuapan pemalsuan (Kamus Bahasa Indonesia,
1993)
c. penyelewengan atau penggelapan uang negara
atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau
orang lain (Kamus Hukum, 2002)
Kartono
(1983) memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, dan atau merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus
dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber
kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan- kekuatan formal
(misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri
sendiri. Dengan pernyataan lain korupsi
adalah adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat
atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau
keluarga, sanak saudara, dan teman.
Juniadi Suwartojo (1997) menyatakan bahwa korupsi ialah
tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang
berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan
melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian
fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau
pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam
perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau
golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan
dan/atau keuangan negara/masyarakat.
Sementara Brooks memberikan
pengertian korupsi yaitu: “Dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan
tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan,
dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.”
Selanjutnya Alfiler menyatakan bahwa korupsi adalah:
“Purposive behavior which may be
deviation from an expected norm but is undertake nevertheless with a view to
attain materials or other rewards.”
Klitgaard membuat persamaan sederhana untuk menjelaskan
pengertian korupsi sebagai berikut:

|
C
= Corruption / Korupsi
M
= Monopoly / Monopoli
D
= Discretion / Diskresi / Keleluasaan
A
= Accountability / Akuntabilitas
Persamaan di atas menjelaskan bahwa korupsi hanya
bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas
urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam
menggunakan kekuasaan sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam
pertanggung jawaban kepada publik (akuntabilitas). Pengertian di atas menyoroti
korupsi sebagai perilaku merugikan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa
pihak dan tidak secara eksplisit disebutkan apakah dari unsur birokrasi,
swasta, maupun masyarakat. Karena pada dasarnya tindakan korupsi bukan saja terjadi
di sektor pemerintahan tetapi juga dalam dunia bisnis dan bahkan dalam
masyarakat.
B. Ciri-Ciri Korupsi
Ciri-ciri korupsi adalah
sebagai berikut:
1. dilakukan lebih dari satu orang
2. merahasiakan motif; ada keuntungan yang ingin
diraih
3. berhubungan dengan kekuasaan/kewenangan
tertentu
4. berlindung di balik pembenaran hukum
5. melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum
6. mengkhianati kepercayaan
Kiat memahami korupsi adalah
dengan memahami pencurian dan penggelapan. Pencurian (berdasarkan pemahaman
pasal 362 KUHP) adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian
atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang
berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.

Rumus:
Pencurian = secara melawan hukum + mengambil sebagian
atau seluruhnya barang atau hak orang lain + tujuannya memiliki atau memperoleh
keuntungan.
Penggelapan (berdasarkan
pemahaman pasal 372 KUHP) adalah pencurian barang/hak yang dipercayakan atau
berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau
kepercayaan oleh si pelaku.

Rumus:
Penggelapan = pencurian barang/hak yang dipercayakan atau
berada dalam kekuasaan si pelaku + penyalahgunaan kewenangan/kepercayaan.
Korupsi sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pencurian dan
penggelapan, hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.

Rumus:
Korupsi = (secara melawan hukum + mengambil hak orang
lain + tujuan memiliki atau mendapat keuntungan) + ada penyalahgunaan kewenangan/
kepercayaan + menimbulkan kerugian negara
= (pencurian + penyalahgunaan kewenangan/ kepercayaan)
+ kerugian negara
= penggelapan + kerugian negara
Jadi korupsi bisa kita pahami
juga sebagai penggelapan yang mengakibatkan kerugian negara.
C. Penyebab Korupsi
Berikut adalah faktor-faktor
penyebab korupsi:
1. Penegakan hukum
tidak konsisten: penegakan hukum hanya sebagai make-up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti
pemerintahan.
2. Penyalahgunaan
kekuasaan/wewenang, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
3. Langkanya
lingkungan yang antikorup: sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan
sebatas formalitas.
4. Rendahnya
pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi
kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk
berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan,
keserakahan: masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan
ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah,
tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya memberi
upeti, imbalan jasa, dan hadiah.
7. Konsekuensi
bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi: saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya.

Keuntungan
korupsi > kerugian bila tertangkap
8. Budaya
permisif/serba membolehkan; tidak mau tahu: menganggap biasa bila ada korupsi,
karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri
terlindungi.
9. Gagalnya
pendidikan agama dan etika: ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa
agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena
perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap
agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama
nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya
agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial
dibandingkan institusi lainnya. Sebab, agama memiliki relasi atau hubungan
emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi
emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa
dampak yang sangat buruk (indopos.co.id, 27 Sept 2005).
Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan Republik Indonesia mengidentifikasi beberapa sebab terjadinya
korupsi, yaitu: aspek individu pelaku korupsi, aspek organisasi, aspek
masyarakat tempat individu, dan korupsi yang disebabkan oleh sistem yang buruk.
1.
Aspek Individu Pelaku Korupsi
Korupsi yang disebabkan oleh individu, yaitu
sifat tamak, moral kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi
untuk kebutuhan yang wajar, kebutuhan yang mendesak, gaya hidup konsumtif,
malas atau tidak mau bekerja keras, serta ajaran-ajaran agama kurang diterapkan
secara benar.
Aspek-aspek individu
tersebut perlu mendapatkan perhatian bersama. Sangatlah ironis, bangsa kita
yang mengakui dan memberikan ruang yang leluasa untuk menjalankan ibadat
menurut agamanya masing-masing, ternyata tidak banyak membawa implikasi positif
terhadap upaya pemberantasan korupsi. Demikian pula dengan hidup konsumtif dan
sikap malas. Perilaku konsumtif tidak
saja mendorong untuk melakukan tindakan kurupsi, tetapi menggambarkan rendahnya
sikap solidaritas sosial, karena terdapat pemandangan yang kontradiktif antara
gaya hidup mewah di satu sisi dan kondisi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
pokok bagi masyarakat miskin pada sisi lainnya.
2. Aspek Organisasi
Pada aspek organisasi,
korupsi terjadi karena kurang adanya keteladanan dari pimpinan, tidak adanya
kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di pemerintah kurang
memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, serta manajemen yang lebih
mengutamakan hirarki kekuasaan dan jabatan cenderung akan menutupi korupsi yang
terjadi di dalam organisasi. Hal ini ditandai dengan adanya resistensi atau
penolakan secara kelembagaan terhadap setiap upaya pemberantasan korupsi. Manajemen
yang demikian, menutup rapat bagi siapa pun untuk membuka praktek korkupsi
kepada publik.
3. Aspek Masyarakat Tempat
Individu dan Organisasi Berada
Aspek masyarakat tempat
individu dan organisasi berada juga turut menentukan, yaitu nilai-nilai yang terdapat
dalam masyarakat yang kondusif untuk melakukan korupsi. Masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa
akibat tindakannya atau kebiasaan dalam organisasinya secara langsung maupun
tidak langsung telah menanamkan dan menumbuhkan perilaku koruptif pada dirinya,
organisasi bahkan orang lain. Secara
sistematis lambat laun perilaku sosial yang koruptif akan berkembang menjadi
budaya korupsi sehingga masyarakat terbiasa hidup dalam kondisi ketidaknyamanan
dan kurang berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.
4. Korupsi yang Disebabkan
oleh Sistem yang Buruk
Sebab-sebab terjadinya
korupsi menggambarkan bahwa perbuatan korupsi tidak saja ditentukan oleh
perilaku dan sebab-sebab yang sifatnya individu atau perilaku pribadi yang
koruptif, tetapi disebabkan pula oleh sistem yang koruptif, yang kondusif bagi
setiap individu untuk melakukan tindakan korupsi. Sedangkan perilaku korupsi, sebagaimana yang
umum telah diketahui adalah korupsi banyak dilakukan oleh pegawai negeri dalam
bentuk penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan.
Tetapi korupsi dalam artian memberi suap, juga banyak dilakukan oleh pengusaha
dan kaum profesional bahkan termasuk Advokat.
Lemahnya tata-kelola
birokrasi di Indonesia dan maraknya tindak korupsi baik ilegal maupun yang
”dilegalkan” dengan aturan-aturan yang dibuat oleh penyelenggara negara,
merupakan tantangan besar yang masih harus dihadapi negara ini. Kualitas tata
kelola yang buruk ini tidak saja telah menurunkan kualitas kehidkupan bangsa
dan bernegara, tetapi juga telah banyak memakan korban jiwa dan bahkan ancaman
akan terjadinya lost generation bagi Indonesia.
Efek dari buruknya tata kelola di negara ini mulai terlihat seperti
persistensi tingkat kemiskinan yang relatif masih tinggi, pengangguran, gizi
buruk, rendahnya kualitas pelayanan publik, rendahnya penerapan standar
keselamatan moda transportasi serta ketimpangan antara kalangan masyarakat yang
semakin nyata dipertontonkan.
Dalam kaitannya dengan
korupsi oleh lembaga birokrasi pemerintah, beberapa faktor yang perlu
mendapatkan perhatian adalah menyangkut manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) dan
penggajian pegawai yang ditandai dengan kurangnya penghasilan, sistem penilaian
prestasi kerja yang tidak dievaluasi, serta tidak terkaitnya antara prestasi kerja
dengan penghasilan.
Pelanggaran aturan main
dan kaidah hukum yang mestinya dijunjung tinggi ini menggambarkan gagalnya tata
kelola untuk dijalankan dengan baik sebagaimana mestinya. Korupsi yang disebabkan oleh sistem yang
koruptif inilah yang pada akhirnya akan menghambat tercapainya clean and good governance. Jika kita
ingin mencapai pada tujuan clean and good
governance, maka perlu dilakukan reformasi birokrasi yang terkait dengan
pembenahan sistem birokrasi tersebut. Birokrasi sebagai organisasi formal
memiliki kedudukan dan cara kerja yang terkait dengan peraturan, memiliki
kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memiliki semangat pelayanan publik,
pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya
organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal.
Jika awalnya kepentingan
bertahan hidup menjadi motif seseorang atau sejumlah orang melakukan tindak
pidana korupsi, pada tahap berikutnya korupsi dimotivasi oleh bangunan sistem,
yang hanya bisa terjadi karena dukungan kerjasama antar sejumlah pelaku
korkupsi, pada berbagai birokrasi sebagai bentuk korupsi berjamaah.
Tindak pidana korupsi dapat disebabkan oleh banyak hal.
Singh (1974) dalam penelitiannya menemukan penyebab terjadinya korupsi di India
adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur
administrasi (17,2 %), dan hambatan struktur sosial (7,08 %). Sedangkan menurut Merican (1971) menyatakan
sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut:
a.
Peninggalan pemerintahan kolonial.
b.
Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c.
Gaji yang rendah.
d.
Persepsi yang populer.
e.
Pengaturan yang bertele-tele.
f.
Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Lebih lanjut Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab
terjadinya korupsi yaitu:
a.
Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b.
Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c.
Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari
pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
Di mana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang
berlomba untuk korupsi. Di India,
misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan. Menurut
kebudayaannya, orang Nigeria tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali
mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
d.
Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan
tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
penyebab mendasar terjadinya korupsi
adalah sebagai berikut:
a.
Landasan iman yang rapuh
b.
Perilaku dan sifat serakah yang ingin mengusasai
c.
Perilaku yang koruptif yang terbentuk sejak dini dan
tumbuh secara perlahan seperti: tidak disiplin, tidak tepat waktu, dan berpikir
pendek
d.
Gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan biaya hidup
minimal
e.
Kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan yang memberi
peluang terjadinya korupsi
f.
Kurangnya transparan sistem pengelolaan sumberdaya dan
adminstrasi pemerintahan, perusahaan, dan organisasi
g.
Terbatasnya pelayanan informasi dan lambatnya proses
perijinan
h.
Kurang transparan dan kurang keadilan dalam jenjang karir
pegawai
Motivasi korupsi menurut
Abdullah Hehamahua (2005):
1. Korupsi karena
kebutuhan
2. Korupsi karena
ada peluang
3. Korupsi karena
ingin memperkaya diri sendiri
4. Korupsi karena
ingin menjatuhkan pemerintah
5. Korupsi karena
ingin menguasai suatu negara
BAB III
PENJELASAN PERATURAN PERUNDANGAN TENTANG KORUPSI
|
Beberapa peraturan perundangan
yang berkaitan dengan korupsi adalah sebagai berikut:
1.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
ayat (1);
2. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/ MPR/ 1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
4. UU
no. 28 Th. 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3851);
5. UU
no. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874); sebagaimana
telah diubah dengan UU no. 20 Th. 2001;
6.
UU
no. 30 Th. 2002;
7.
PP
no. 71 Th. 2000;
8. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana;
9. Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
10.
Keputusan
Pimpinan KPK no. KEP–06/ P.KPK/ 02/ 2004;
11.
Keputusan
Pimpinan KPK no. KEP–07/ P.KPK/ 02/ 2004;
12. dan
berbagai ketentuan hukum lainnya.
Hukum internasional yang berhubungan langsung dengan
penanganan korupsi, termasuk yang berlaku untuk wilayah Asia Pasifik dan Asia
Tenggara adalah:
1.
Anti Corruption Action Plan for Asia
and The Pacific Action Plan (Konferensi
Tokyo 2001).
2.
MoU on Cooperation for Preventing and Combating
Corruption 2004 (Singapura, Indonesia,
Brunei,
Malaysia).
3.
The United Nations Convention against Corruption (UNCAC), yang
terbentuk pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida
(Mexico).
4.
The United Nations Convention against Transnational
Organized Crime (UNTOC).
Berdasarkan pemahaman pasal 2 UU no. 31 Th. 1999 sebagaimana
yang diubah dengan UU no. 20 Th. 2001, korupsi adalah perbuatan secara melawan
hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/ orang lain (perseorangan atau
korporasi) yang dapat merugikan keuangan/ perekonomian negara.
Seperti yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya
(penjelasan tentang korupsi dan penyebabnya), pasal 362 KUHP mengemukakan bahwa
pencurian adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau
seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/ hak
yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.

Pencurian = secara melawan hukum + mengambil sebagian atau
seluruhnya barang atau hak orang lain + tujuannya memiliki atau memperoleh
keuntungan.
Sedangkan pasal 372 KUHP
mengemukakan bahwa penggelapan adalah pencurian barang/ hak yang dipercayakan
atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau
kepercayaan oleh si pelaku.

Rumus:
Penggelapan = pencurian barang/ hak yang dipercayakan atau
berada dalam kekuasaan si pelaku + penyalahgunaan kewenangan/ kepercayaan.
Tabel 1 Tindak
Pidana Korupsi berdasarkan UU no. 31 Th. 1999 jo UU 20 Th. 2001
Pelaku
|
Jenis perbuatan
|
Ancaman Pidana
(Hukuman)
|
Dasar
Hukum
|
Keterangan
|
Perseorangan/
korporasi
|
Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri/orang
lain/korporasi yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara
|
Penjara seumur hidup; penjara min. 4 th max. 20 th;
denda min. Rp. 200 juta max. Rp. 1 milyar
|
Pasal
2
|
Dalam keadaan tertentu Pidana Mati dapat dijatuhkan.
Keadaan tertentu yang memberiatkan pidana yaitu bila tindak pidana korupsi
tersebut dilakukan pada dana-dana bagi penanggulangan bahaya/bencana,
penanggulangan kerusuhan, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, serta
penanggulangan korupsi.
|
Perseorangan/
korporasi
|
Menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/
Sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan,
Untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain, yang dapat
merugikan keuangan/
perekonomian
Negara
|
Penjara seumur hidup; penjara min 1 th max. 20 th;
denda min. Rp. 50 juta max. Rp. 1 milyar
|
Pasal
3
|
|
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai
negeri/penyelenggara
negara supaya mau berbuat atau tidak berbuat sesuatu,
dalam jabatannya atau tidak dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya
|
Penjara min. 1 th max. 5 th; denda min. Rp. 50 juta
max. Rp. 250 juta
|
Pasal
5 ayat 1
|
Pegawai negeri/penyelenggara negara yang menerima
pemberian/janji juga dipidana, dianggap menerima suap.
|
|
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim untuk
mempengaruhi putusan perkara
|
Penjara min. 3 th max. 15 th; denda min. Rp. 150 juta
max. Rp. 750 juta
|
Pasal
6 ayat 1
|
Hakim atau advokat yang menerima pemberian/janji juga
dipidana, dianggap menerima suap.
|
|
Pemborong/ahli
bangunan; penjual bahan bangunan
|
Melakukan
pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan, secara curang, yang dapat
membahayakan keamanan orang/barang atau keselamatan negara dalam keadaan
perang
|
Penjara min. 2 th max. 7 th; denda min. Rp. 100 juta
max. Rp. 350 juta
|
Pasal
7
|
Pengawas dan penerima bahan/barang yang membiarkan
terjadinya perbuatan curang tersebut juga dipidana
|
Perseorangan/
korporasi
|
Menyerahkan
barang keperluan TNI atau POLRI, secara curang, yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang
|
|||
Pegawai
negeri;
|
Menggelapkan uang atau Surat berharga, atau membiarkan
barang tersebut diambil/digelapkan, atau membantu mengambil/menggelapkan
|
Penjara min. 3 th max. 15 th; denda min. Rp. 150 juta
max. Rp. 750 juta
|
Pasal
8
|
Selain pegawai negeri juga dapat dipidana
|
Memalsu buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk
pemeriksaan administrasi
|
Penjara min. 1 th max. 5 th; denda min. Rp. 50 juta
max. Rp. 250 juta
|
Pasal
9
|
||
Menggelapkan, menghancurkan, membuat tidak dapat
dipakai/merusakkan alat bukti
|
Penjara min. 2 th max. 7 th; denda min. Rp.100 juta
max. Rp. 350 juta
|
Pasal
10
|
||
Membiarkan atau membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan alat bukti
|
||||
Pegawai
negeri/
penyelenggara
negara;
|
Menerima hadiah atau janji karena kewenangan/kekuasaan
jabatannya
|
Penjara min. 2 th max. 7 th; denda min Rp. 100 juta
max. Rp. 250 juta
|
Pasal
11
|
Dianggap
menerima suap
|
Menerima hadiah atau janji, supaya melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
|
Penjara seumur hidup; penjara min. 4 th max. 20 th;
denda min. Rp. 200 juta max. Rp. 1 milyar
|
Pasal
12
a
|
||
Menerima hadiah karena melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
|
Pasal
12
b
|
|||
Hakim
|
Menerima hadiah atau janji yang diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara
|
Pasal
12
c
|
||
Advokat
|
Menerima hadiah atau janji yang diberikan untuk
mempengaruhi nasihat yang akan diberikan
|
Pasal
12
d
|
||
Pegawai
negeri/
penyelenggara
negara;
|
Menyalahgunakan
kekuasaannya untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain (secara melawan
hukum), memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar, menerima
pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu
|
Pasal
12
e
|
||
Meminta, menerima, memotong pembayaran seolah-olah
merupakan utang
|
Pasal
12
f
|
|||
Meminta, menerima pekerjaan atau barang seolah-olah
merupakan utang
|
Pasal
12
g
|
|||
Menggunakan tanah negara (di atasnya ada hak pakai)
seolah-olah sesuai peraturan perundang-undangan padahal bertentangan, dan
merugikan yang berhak
|
Pasal
12
h
|
|||
Turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan
padahal tugasnya mengawasi
|
Pasal
12
i
|
|||
Menerima gratifikasi karena jabatannya, yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya
|
Pasal
12
b
|
Dianggap
menerima suap
|
||
Perseorangan/
korporasi
|
Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena
jabatan/
kedudukannya
|
Penjara max. 3 th; denda max. Rp. 150 juta
|
Pasal
13
|
Dianggap
memberi
suap
|
Sumber: Arya
Maheka, 2009. ’Mengenali dan Memberantas Korupsi’, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Jakarta.
Pasal 12 B UU no. 31
th. 1999 jo UU no. 20 th. 2001 menjelaskan tentang gratifikasi, yaitu pemberian
dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket, perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya.
Pasal 5, pasal 6, pasal 11, pasal 12 huruf a, b, c, d
dan pasal 13 UU no. 31 th. 1999 jo UU no. 20 th. 2001 menjelaskan bahwa suap
merupakan tindak pidana. Gratifikasi kepada pegawai negeri/ penyelenggara negara
yang berhubungan dengan jabatan/ kedudukannya dianggap sebagai suap.

Suap = Gratifikasi + Jabatan
Kemudian, pasal 16 UU no. 31 th.
1999 jo UU no. 20 th. 2001 mengatur tata cara pelaporan dan penentuan status
gratifikasi.
Tabel 2 Pemberantasan Korupsi dari Masa ke Masa
Tahun
|
Produk Hukum
|
Lembaga
|
Keterangan
|
1957
|
Peraturan penguasa
Militer No. PRT/
PM/061957
|
|
|
1958
|
Peraturan
pemberantasan korupsi penguasa perang pusat No. PRT/
Peperpu/013/1958
|
|
|
1860
|
UU No. 24/ Prp/ 1960
tentang pemberantasan korupsi
|
|
|
1967
|
Keppres No. 228/1967
tanggal 2 Desember 1967
|
Tim Pemberantasan
Korupsi
|
Tugas:
membantu pemerintahan memberantas korupsi (pencegahan dan penindakan)
|
1970
|
Keppres No. 228/1967
tanggal 31 Januari 1970
|
Komisi Empat
(Januari–Mei 1970)
|
Tugas:
menghubungi pejabat atau instansi, swasta sipil atau militer; memeriksa
dokumen administrasi pemerintah dan swasta; meminta bantuan aparatur pusat
dan daerah
|
|
|
Komite Anti Korupsi
(2 bulan)
|
Tugas:
kegiatan diskusi dengan pemimpin partai politik dan bertemu presiden
|
1977
|
Inpres No. 9/1977
|
Operasi penertiban
(1977–1981)
|
Tugas:
pembersihan pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemda
dan departemen
|
1982
|
|
Tim Pemberantas
Korupsi
|
TPK
dihidupkan kembali tanpa keluarnya Keppres yang baru
|
1998
|
Tap MPR No.
XI/MPR/1998 tentang pemerintahan yang bersih dan bebas KKN
|
|
|
1999
|
UU
No. 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN
|
|
|
|
UU
No. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
|
|
|
|
Keppres No. 27/1999
|
Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
|
Tugas:
pemeriksaan kekayaan pejabat negara.
Lembaga
ini kemudian menjadi subbagian pencegahan dalam Komisi Pemberantasan Korupsi
|
2000
|
PP 19/2000
|
Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000–2001)
|
Tugas:
mengungkap kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung.
Berdasarkan
putusan hak uji materiil (judicial
review/toetsingrecht) Mahkamah
Agung, TGPTPK terpaksa bubar
|
2002
|
UU No. 30/2002
|
KPK (Des 2003– )
|
Tugas: Menyelidiki
kasus korupsi yang nilainya di atas Rp. 1 milyar dan menarik perhatian
masyarakat; melakukan koordinasi, supervisi penegak hukum dalam penanganan
korupsi; memonitor penyelenggaraan negara; melakukan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan kasus korupsi; melakukan upaya pencegahan korupsi
|
2004
|
Keppres 59/2004
|
Pengadilan Tipikor
|
Wewenang:
memeriksa dan memutus kasus korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK
|
2005
|
Keppres 11/2005
|
Tim Koordinasi
Pemberantasan Tipikor
|
Tugas: Koordinasi
penyelidikan, penyidikan, penuntutan kasus korupsi yang ditangani kejaksaan;
menelusuri, mengamankan aset korupsi untuk pengembalian kerugian negara
secara optimal
|
Sumber: Arya
Maheka, 2009. ’Mengenali dan Memberantas Korupsi’, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Jakarta
Pasal 8 UU No. 28 th. 1999 mengatur peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan negara.
KUHAP (UU No. 8 th. 1981), UU No. 14 th. 1985
tentang MA dan UU No. 31 th. 1999 jo UU No. 20 th. 2001 mengatur tentang
penanganan perkara korupsi.
Pasal 21 UU No. 31 th. 1999 jo UU No. 20 th. 2001
mengemukakan bahwa setiap orang yang mencegah, merintangi atau menggagalkan
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dalam kasus korupsi dapat dipidana penjara
min. 3 th. max. 12 th. dan denda min. Rp. 150 juta max. Rp. 600 juta.
Tabel 3 Wewenang
Penegak Hukum dalam Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Perkara Korupsi
Penegak
Hukum
|
Wewenang
|
Dasar
Hukum
|
Keterangan
|
Penyidik,
penuntut umum dan hakim
|
Meminta
keterangan kepada bank mengenai keadaan keuangan tersangka/terdakwa korupsi
|
Pasal 29 UU No. 31 th.
1999 jo UU No. 20 th. 2001
|
Permintaan
diajukan kepada Bank Indonesia (“BI”), dan paling lambat dalam 3 hari kerja
BI wajib memenuhi permintaan tersebut
|
Meminta bank untuk
memblokir rekening tersangka/terdakwa korupsi
|
Pemblokiran dicabut
apabila dari hasil pemeriksaan tidak diperoleh bukti yang cukup
|
||
Penyidik
|
Membuka,
memeriksa, dan menyita surat dan kiriman pos/telekomunikasi lain yang diduga
terkait perkara korupsi
|
Pasal 30 UU No. 31 th.
1999 jo UU No. 20 th. 2001
|
|
Sumber: Arya
Maheka, 2009. ’Mengenali dan Memberantas Korupsi’, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Jakarta
UU No. 30 th. 2002 mengatur
mengenai pembentukan pengadilan khusus korupsi (Pengadilan Tipikor). Untuk
pertama kalinya berdasarkan Keppres No. 59 th. 2004 Pengadilan Tipikor dibentuk
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh
wilayah Republik Indonesia. Pasal 53 UU No. 30 th. 2002 menjelaskan bahwa
Pengadilan Tipikor bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak
pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK.
Pasal 22 UU No. 31 th. 1999 jo
UU No. 20 th. 2001 mengemukakan bahwa mereka yang tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar, dapat dipidana penjara min. 3 th max. 12
th dan denda min. Rp. 150 juta max. Rp. 600 juta.
Pasal 38c UU No. 31 th 1999
sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 20 th 2001, mengatur tentang
gugatan perdata dan putusan verstek.
Pasal 63 UU No. 31 th. 1999
sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 20 th. 2001 mengatur tentang
pengajuan gugatan rehabilitasi dan/ atau kompensasi ke Pengadilan Tipikor.
KUH
Acara Pidana mengatur tentang pengajuan gugatan praperadilan.
Tabel 4 Perlindungan Hukum bagi Masyarakat
Tabel 4 Perlindungan Hukum bagi Masyarakat
Jenis Perlindungan
|
Dasar Hukum
|
Keterangan
|
Larangan
menyebut nama dan alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberi kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor
|
Pasal 24 dan 31 ayat
(1) UU No. 31 th. 1999 jo UU No. 20 th. 2001
|
Pelanggar
dapat dipidana penjara max. 3 th.; denda max. Rp. 150 juta
|
Perlindungan
hukum yang bertujuan memberikan rasa aman bagi pelapor pada saat mencari,
memperoleh dan memberikan informasi terjadinya korupsi, atau pada saat
diminta hadir menjadi saksi
|
Pasal 41 huruf e UU
No. 31 th. 1999 jo UU No. 20 th. 2001
|
|
Perlindungan
KPK terhadap saksi atau pelapor. Yang dimaksud dengan “memberikan
perlindungan”, dapat berupa pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan
kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evaluasi
|
Pasal 15 huruf a UU
30/2002
|
|
Perlindungan
hukum baik mengenai status hukum maupun rasa aman. Yang dimaksud dengan
“status hukum” adalah status seseorang sebagai pelapor dijamin tetap, tidak
diubah menjadi tersangka
|
Pasal 5 PP No. 71 th.
2000
|
Perlindungan
tidak diberikan apabila ditemukan bukti yang cukup bahwa pelapor terlibat
korupsi tersebut atau dikenai tuntutan perkara lain
|
Penegak
hukum dan KPK wajib merahasiakan identitas pelapor dan isi informasi, saran,
pendapat yang disampaikan. Atas permintaan pelapor, penegak hukum dan KPK
dapat memberikan pengamanan fisik terhadap pelapor maupun keluarganya
|
Pasal 6 PP No. 71 th.
2000
|
|
Sumber: Arya
Maheka, 2009. ’Mengenali dan Memberantas Korupsi’, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Jakarta
Berkaitan dengan peran
masyarakat dalam mengungkap korupsi, Bab III PP No. 71 th. 2000 mengatur
tentang penghargaan bagi masyarakat yang berjasa mengungkap korupsi.
BAB IV
DAMPAK NEGATIF KORUPSI
|

Kita harus peduli dengan
masalah korupsi karena korupsi yang meluas dan tidak terkendali adalah bencana.
Korupsi menghancurkan negeri dan menyengsarakan rakyat.
Koruptor mengambil kekayaan
atau kesempatan yang seharusnya dapat dipergunakan untuk memakmurkan kehidupan
rakyat. Akibatnya, krisis ekonomi berkepanjangan, penderitaan di mana-mana,
muncul ketidakpastian akan masa depan, angka kejahatan/ kriminalitas meningkat.
Korupsi menghambat pembangunan
dan menghambat perkembangan kegiatan usaha di Indonesia. Korupsi menimbulkan
“ekonomi biaya tinggi”, maksudnya harga jual barang dan jasa di Indonesia
menjadi tinggi. Kalangan dunia usaha terkena dampaknya. Investasi yang
diperlukan untuk meningkatkan kegiatan usaha menjadi amat mahal, sebab setiap
proses ekonomi harus melewati pintu yang namanya korupsi (Salomo Simanungkalit/
Indrawan Sasongko, Kompas, 17 Maret 2002).
Rakyatlah yang menderita,
terutama rakyat yang miskin dan belum berkecukupan. Perkembangan kegiatan usaha
terhambat, pengangguran makin banyak, harga-harga barang dan jasa serba mahal,
biaya kesehatan dan pendidikan mahal, harga bahan bakar minyak (BBM) setinggi
langit (itu karena pemerintah tidak mampu lagi mensubsidi rakyat). Korupsi
menjadikan beban hidup yang harus dipikul melampaui kemampuan rakyat.
Kalau sudah demikian rupa maka
dapat dipastikan rakyat miskinlah yang akan merasakan penderitaan yang paling
dalam atau dengan kata lain merupakan pihak yang paling dirugikan oleh
tindakan-tindakan korupsi (dikutip dari Global Corruption Report, 2005).
Pejabat selama ini menganggap
diri sebagai penguasa (authorities),
jarang yang menyadari perannya sebagai pelayan masyarakat (public servant/ service provider). Budaya kekeluargaan (paternalistic) juga mengakibatkan
turunnya kualitas pelayanan publik, karena menimbulkan kecenderungan untuk memberikan
keistimewaan orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat yang
bersangkutan (Wahyudi Kumorotomo, 2005).
Penyelenggara negara yang lebih
menguntungkan kelompok tertentu dan memberi peluang tumbuhnya korupsi, kolusi dan nepotisme,
menimbulkan dampak negatif di bidang ekonomi dan politik bangsa Indonesia.
Rencana pembangunan bangsa menjadi terhambat dan negara dirugikan bila
penyelenggara negara tidak menjalankan tugasnya secara sungguh-sungguh,
bertanggung jawab, efektif dan efisien, serta bebas dari korupsi kolusi
nepotisme. Dengan pertimbangan itulah disusun sebuah pedoman penyelenggaraan negara
yang bersih dan bebas KKN dengan melibatkan peran masyarakat sebagai kontrol
sosial.
Kolusi adalah kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggara
negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang merugikan orang
lain, masyarakat dan atau negara.
Nepotisme adalah perbuatan penyelenggara
negara secara melawan hukum yang menguntungkan
keluarga atau rekannya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan
merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan
nasional, di antaranya:
1.
Tata ekonomi seperti: pemborosan sumber-sumber, larinya
modal ke luar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal,
mundurnya sponsor maupun pendukung dana dan mitra
2.
Tata sosial budaya seperti: revolusi sosial dan
ketimpangan sosial
3.
Tata politik seperti: ketidakstabilan politik, pengambilalihan
kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah
4.
Tata administrasi seperti: tidak efisien, kurangnya
kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara,
keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, dan pengambilan tindakan-tindakan
represif.
Lebih lanjut Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat
korupsi adalah ketidakefisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai
pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk
berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam
kebijaksanaan pemerintah dan lemahnya penegakan hukum.
BAB V
SIKAP ANTI KORUPSI
|
Berdasarkan hasil penelitian Transparency International, ditemukan
adanya keterkaitan antara jumlah korupsi dan jumlah kejahatan/ kriminalitas. Ketika korupsi meningkat, angka kejahatan
yang terjadi meningkat pula (Global Corruption Report, 2005). Sebaliknya
ketika korupsi berhasil dikurangi, kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum
bertambah. Kepercayaan yang membaik dan dukungan masyarakat membuat penegakan hukum
menjadi efektif. Penegakan hukum yang efektif dapat mengurangi jumlah kejahatan
yang terjadi. Jadi kita bisa katakan bahwa dengan mengurangi korupsi dapat juga
(secara tidak langsung) mengurangi kejahatan yang lain.
Idealnya, kejahatan berkurang
karena kesadaran masyarakatnya sendiri, inilah yang disebut dengan Marginal Detterence (Lopa, 2001).
Kondisi ini bisa terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan
masyarakat memadai. Memiliki kesadaran hukum yang dalam artian seseorang
menyadari bahwa perbuatan yang ia lakukan dapat berakibat hukum bagi orang lain
dan masyarakat luas. Dalam konteks yang demikian tidaklah berlebihan apa yang
dikemukakan Soerjono Soekanto bahwa penegakan hukum di suatu negara selain
tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana prasarana,
juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Kesejahteraan yang memadai
dalam artian bahwa kejahatan tidak lagi
timbul karena faktor kesulitan ekonomi.
Salah satu cara yang paling
jitu supaya rakyat dapat hidup sejahtera adalah melalui penanggulangan dan
pencegahan tindak pidana korupsi. Rakyat
harus mengubah cara berpikir dan merumuskan kembali siapa sebenarnya musuh
rakyat. Koruptorlah musuh rakyat yang sesungguhnya. Jika koruptor ditangkap
dan hartanya disita untuk negara maka kemungkinan besar masalah kemiskinan
dapat teratasi. Kemudian masalah-masalah lain bisa dipecahkan satu per satu.
Pemberantasan korupsi bisa menjadi awal penyelesaian krisis di Indonesia.
Kita (rakyat) perlu belajar mengenali korupsi. Salah satu sebab mengapa
korupsi sukar diberantas karena baik pemerintah maupun anggota masyarakat
kurang memahami dan mengenali secara baik, jenis-jenis korupsi yang sering
terjadi dalam masyarakat dan pemerintahan. Jangan sampai kita berteriak
“berantas korupsi” tapi tidak sadar bahwa kita sendiri sebetulnya sering
melakukan korupsi, ibarat maling teriak maling.
Hak dan kewajiban kita di dalam hukum terutama
yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi perlu diketahui dan dipahami.
Kalau kita tahu aturan mainnya (proses hukum), kita tidak mudah dibohongi oleh
oknum-oknum yang terlibat korupsi, sebaliknya kita bisa melakukan pengawasan (kontrol sosial) dan berperan serta secara aktif
menanggulangi maupun mencegah korupsi.
Berkaitan dengan gratifikasi
dan suap, dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita jumpai pegawai negeri/ pejabat/
penyelenggara negara/ pelayan bangsa yang berharap menerima hadiah dari
pelayanan yang mereka berikan. Terkadang pelayanan baru diberikan bila ada uang
pelicin atau uang jasa. Jangan harap pelayanan publik akan lancar bila tidak
menyerahkan uang pelicin (Vincentia Hanny S, Kompas, 1 September 2005).
Menyikapi hal itu, seorang
Plato (427 SM – 347 SM) mempunyai gagasan “para pelayan bangsa harus memberikan
pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-hadiah. Mereka yang membangkang harus,
kalau terbukti bersalah, dibunuh tanpa upacara”.
Ada benarnya gagasan Plato itu,
tidak sepantasnya pegawai negeri/ pejabat
menerima hadiah dari pelayanan yang mereka berikan.

Pemberantasan korupsi adalah
serangkaian tindakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi (melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan) dengan peran serta masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberantasan korupsi terbentuk
dari tiga unsur pembentuk, yaitu pencegahan (antikorupsi/ preventif),
penindakan (penanggulangan/ kontra korupsi/ represif) dan peran serta
masyarakat.

Rumus:
Pemberantasan korupsi =
pencegahan + penindakan + peran masyarakat
Dalam memberantas korupsi
diperlukan kerjasama antar negara, terutama untuk kasus korupsi lintas negara.
Kerjasama bisa dilakukan secara bilateral (dua negara), regional (negara-negara
dalam satu wilayah) maupun multilateral (banyak negara). Kerjasama akan lebih
solid bila negara-negara tersebut memiliki komitmen yang sama dalam memberantas
korupsi, salah satunya diwujudkan dengan meratifikasi Konvensi Anti Korupsi,
kemudian menyelaraskan peraturan perundangan di negaranya agar dapat
mengimplementasikan pedoman anti korupsi dengan baik. Pada tanggal 9 Desember 2003 di
Merida (Mexico), Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui sebuah Konvensi Anti
Korupsi (United Nations Convention against Corruption).
A. Anti Korupsi (pencegahan, preventif)
Anti korupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan
menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi. Pencegahan
yang dimaksud adalah bagaimana meningkatkan kesadaran individu untuk tidak
melakukan korupsi dan bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara. Peluang
bagi berkembangnya korupsi dapat dihilangkan dengan melakukan perbaikan sistem
(sistem hukum, sistem kelembagaan) dan perbaikan manusianya (moral,
kesejahteraan).
Berikut adalah langkah-langkah anti korupsi:
1.
Perbaikan
Sistem
- Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku, untuk mengantisipasi perkembangan korupsi dan menutup celah hukum atau pasal-pasal karet yang sering digunakan koruptor melepaskan diri dari jerat hukum.
- Memperbaiki cara kerja pemerintahan (birokrasi) menjadi simpel dan efisien. Menciptakan lingkungan kerja yang anti korupsi. Reformasi birokrasi.
- Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan kepemilikan pribadi, memberikan aturan yang jelas tentang penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan umum dan penggunaannya untuk kepentingan pribadi.
- Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan pemberian sanksi secara tegas.
- Penerapan prinsip-prinsip Good Governance.
- Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi, memperkecil terjadinya human error.
2.
Perbaikan
manusianya
§ Memperbaiki
moral manusia sebagai umat beriman. Mengoptimalkan peran agama dalam memberantas
korupsi. Artinya pemuka agama berusaha mempererat ikatan emosional antara agama
dengan umatnya dan menyatakan dengan tegas bahwa korupsi adalah perbuatan
tercela, mengajak masyarakat untuk menjauhkan diri dari segala bentuk korupsi,
mendewasakan iman dan menumbuhkan keberanian masyarakat untuk melawan korupsi.
§ Memperbaiki
moral sebagai suatu bangsa. Pengalihan loyalitas (kesetiaan) dari keluarga/ klan/
suku kepada bangsa. Menolak korupsi karena secara moral salah (Klitgaard,
2001). Morele herbewapening, yaitu
mempersenjatai/ memberdayakan kembali moral bangsa (Frans Seda, 2003).
§ Meningkatkan
kesadaran hukum, dengan sosialisasi dan pendidikan anti korupsi.
§
Mengentaskan
kemiskinan. Meningkatkan kesejahteraan.
§
Memilih
pemimpin yang bersih, jujur dan anti korupsi, pemimpin yang memiliki kepedulian
dan cepat tanggap, pemimpin yang bisa menjadi teladan.
Hak, Kewajiban dan Sanksi bagi Penyelenggara Negara
Hak Penyelenggara Negara adalah:
1.
menerima gaji, tunjangan dan fasilitas,
2.
menggunakan hak jawab atas teguran serta kritik,
3.
menyampaikan pendapat di muka umum sesuai wewenang, dan
4.
hak lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
0 Response to "KUMPULAN MAKALAH MODUL PILOT PROJECT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PRAJABATAN GOLONGAN III "
Post a Comment