BAB I – PENDAHULUAN
Dengan
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), Konvensi Tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
(Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan.[1 Menurut aturan hukum internasional dikenal
dengan istilah pacta sunt servanda,
perjanjian internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan. Negara negara dunia tidak boleh dikecualikan
dari kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka. Melainkan, jika hukum nasional mengurangi
pelaksanaan suatu perjanjian internasional, hukum nasional itu wajib diubah.2] Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal
CEDAW yang menyatakan Negara Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional
agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita.[3]
Di
Indonesia, harmonisasi hukum nasional dengan ketentuan CEDAW tersebut berarti
bahwa hukum negara akan diubah dan, selanjutnya, hukum Islam dan hukum Adat
akan diubah juga. Itu karena hukum di
Indonesia merupakan tiga sistem, yaitu hukum negara, hukum Islam dan hukum
Adat.
Namun
demikian, di Indonesia penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan
hak wanita maupun perubahan hukum jauh lebih rumit dari perkataan aturan hukum
internasional tersebut. Pelaksanaan
CEDAW mengandung persoalan di bidang politik, terutama setelah penggantian
pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Era Reformasi.[4] Persoalan politik ditambah dengan masalah
sosial, yaitu perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai agama dan kebudayaan
Dalam
rangka tersebut, makalah ini ingin mengkaji hukum negara dan hukum Islam di
Indonesia disamping CEDAW. Makalah ini
memeriksa persoalan sebagai berikut. Apa
isi CEDAW? Kalau ada seorang wanita yang
mencari penghapusan diskriminasi atau perlindungan haknya sebagaimana disebut
dalam CEDAW, apa kesempatan dia dalam hukum negara di Indonesia? Dan apa terjadi jika seorang wanita tersebut
beragama Islam? Untuk dia, dalam
lingkungan peradilan agama, terdapat ketentuan hukum Islam yang berdasarkan
persamaan antara pria dan wanita dan tidak bersifat diskriminatif? Sebaliknya, apa hubungan antara CEDAW dan
hukum Islam? Ada kemungkinan bahwa hukum
Islam berupa sistem yang beda sampai tidak perlu disesuaikan dengan sistem
hukum lain, termasuk hukum internasional?
Pemeriksaan
persoalan tersebut menunjukkan bahwa dalam hukum negara pengakuan kaidah
penghapusan diskriminasi terhadap wanita sama hak wanita sudah lengkap. Namun, penegakan ketentuan hukum negara
tersebut masih dapat diperbaiki.
Selanjutnya, dalam hukum Islam terdapat
beberapa ketentuan yang tidak sesuai dengan CEDAW. Namun demikian, ada perbedaan pendapat
tentang keperluan harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW.
BAB II – PENJELESAN ISI CEDAW
1.
Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Hukum
internasional melindungi HAM melalui konvensi atau perjanjian internasional dan
kebiasaan international.[5] Ketentuan hukum internasional terhadap HAM
yang paling lama adalah Maklumat Sedunia Tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
(UDHR). UDHR dikeluarkan pada tahun
1948. UDHR telah mempengaruhi serta
diakui Republik Indonesia.[6] UDHR bukan konvensi atau perjanijian
internasional, melainkan itu Ketetapan Majelis Bangsa Bangsa yang lembaga
tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Sebagaimana demikian, UDHR sendiri tidak wajib dilaksanakan negara
anggota PBB.[7] Bagaimanapun, UDHR sudah lama diumumkan. Ada orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan
UDHR menjadi kebiasaan internasional dan, oleh sebabnya, ketentuan UDHR wajib
dipenuhi semua negara dunia.[8]
Kebiasaan
hukum internasional terhadap HAM ditambah dengan Konvensi. Konvensi tentang HAM diundangkan negara
negara dunia dengan bantuan PBB.
Konvensi atau perjanjian internasional wajib dilaksanakan secara
tersebut. Di bidang Konvensi tentang HAM
terdapat Konvensi bersifat umum dan Konvensi bersifat khusus. Konvensi bersifat umum adalah Konvensi
Internasional Tentang Hak Hak Asasi Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) (ICCPR) dan Konvensi Internasional
Tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International
Covenant on Economic Social and Cultural Rights) (ICESCR) yang akan
disahkan Indonesia.[9]
Konvensi
bersifat khusus tercantum Konvensi terhadap hak hak asasi wanita. Konvensi itu termasuk Konvensi Tentang Hak
Hak Politik Wanita (Convention on the
Political Rights of Women) yang telah disahkan Indonesia dengan Undang
Undang No.18/1956 maupun CEDAW.[10]
2.
Ketentuan CEDAW Bersifat Umum
CEDAW
dimaksud menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak
wanita. Pasal 1 CEDAW menegaskan istilah
“diskriminasi” berarti setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan
berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi
dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang apapun
berdasarkan persamaan antara pria dan wanita.
Namun demikian, Pasal 4 menetapkan "diskriminasi” tersebut dianggap
tidak terjadi dengan peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan antara
pria dan wanita (affirmative action).
Pasal 2 CEDAW memuat ketetentuan umum
yang akan dilaksanakan oleh Negara Negara Peserta CEDAW. Pertama,
Pasal 2 butir a menetapkan kaidah persamaan wanita dengan pria wajib dicantumkan dalam Undang Undang Dasar
dan perundang-undangan Negara Negara Peserta, kecuali kalau itu sudah
dilaksanakan.
Kedua, Pasal 2 butir b berbunyi Undang Undang dan peraturan perundangan
lain yang melarang diskriminasi terhadap wanita akan diundangkan. Jika dianggap perlu, peraturan perundangan
tersebut akan menetapkan hukuman untuk diskriminasi terhadap wanita. Selain itu, Pasal 2 butir e menyatakan Negara
Negara Peserta akan menjamin diskriminasi terhadap wanita tidak dilakukan oleh seorang, badan hukum perdata
atau sekelompok di mana pun.
Ketiga, Pasal 2 butir d menentukan kegiatan atau kebiasaan yang bersifat
diskriminatif tidak akan dilakukan oleh segala pejabat dan lembaga pemerinatah
Negara Negara Peserta. Keempat, Pasal 2 butir f menyatakan
Undang Undang, peraturan perundangan, kebiasaan dan praktek yang bersifat
diskriminatif terhadap wanita akan diubah atau dicabut. Sebagaimana demikian, Pasal 5 butir a
berbunyi kebudayaan Negara Negara Peserta akan diubah sesuai dengan CEDAW. Jadi,
kebiasaan atau praktek yang bersifat diskriminatif terhadap wanita akan
dihapuskan.
3. Ketentuan CEDAW Di Bidang
Tertentu
Pasal 7 sampai dengan Pasal 14 memuat
ketentuan khusus di bidang politik, ekonomi, sosial dan domestik. Di bidang politik, Pasal 7 butir a yuncto
butir b menetapkan hak memilihi dan dipilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) akan
didasarkan persamaan wanita dengan pria.
Selanjutnya, hak mengikuti perumusan dan pelaksanaan kebijakan
pemerintah juga akan disandarkan kaidah
tersebut. Akhirnya, wanita bersama
dengan pria akan mempunyai hak menduduki segala pekerjaan dalam pemerintahan
maupun hak melaksanakan segala fungsi pemerintahan pada semua tingkatnya.
Di bidang sosial dan internasional, Pasal
7 butir c yuncto Pasal 8 menentukan partisipasi wanita bersama dengan pria di
lembaga sosial masyarakat (LSM) maupun pada tingkat internasional akan
dijamin. Di bidang lain, Pasal 10 sampai
dengan Pasal 14 menggariskan penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan
perlindungan hak wanita dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan
pedesaan.
4. CEDAW Dan Hukum
Pasal 15 mengandung ketentuan tentang
hukum. Pasal 15 Ayat (1) menyatakan
persamaan wanita dengan pria akan diberikan di muka hukum. Khususnya, Pasal 15 Ayat (2) menetapkan
persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap kecakapan hukum dalam hal
sipil maupun kesempatan melakukan kecakapan tersebut. Kecakapan tersebut tercantum hak yang sama
untuk mengesahkan perjanjian dan mengurus harta benda. Kecakapan tersebut pula tercantum perlakuan
yang sama dalam lingkungan peradilan pada
tingkat pertama, banding dan kasasi.
Pasal 15 Ayat (4) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan diberikan
untuk mengadakan pergerakan dan memilih tempat kediaman.
5. CEDAW Dan Kekeluargaan
Pasal 16 memuat ketentuan di bidang hukum
keluarga dan perkawinan. Secara umum,
Pasal 16 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap
hak dan tanggung jawab dalam hubungan kekeluargaan dan semua urusan mengenai
perkawinan. Khususnya, beberapa hak
wanita bersama dengan pria akan dijamin di bidang perkawinan. Pertama,
Pasal 16 Ayat (1) huruf a mensyaratkan hak yang sama untuk melakukan ikatan
perkawinan. Kedua, Pasal 16 Ayat (1) huruf b menggariskan hak wanita memilihi
suami secara bebas dan haknya memasuki ikatan perkawinan hanya dengan
persetujuan yang bebas sepenuhnya.
Ketiga,
Pasal 16 Ayat (1) huruf c mensyaratkan hak dan
tanggung jawab yang sama dalam perkawinan maupun pada putusnya. Keempat,
Pasal 16 Ayat (1) huruf d mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama
sebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka, dalam urusan yang berhubungan dengan anak
mereka. Namun demikian, dalam semua
kasus, kepentingan anak akan diutamakan.
Kelima,
Pasal 16 Ayat (1) huruf g mengakui hak pribadi yang
sama sebagai suami isteri termasuk hak untuk memilihi nama, keluarga, profesi
dan jabatan. Keenam, Pasal 16 Ayat (1) huruf f mensyaratkan hak yang sama untuk
kedua suami dan isteri bertalian dengan harta benda. Ketujuh,
Pasal 16 Ayat (2) melarang pertunangan dan perkawinan seorang anak.
6. Ketentuan CEDAW Bersifat
Teknis
CEDAW disimpulkan dengan Pasal 17 yuncto
Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 terhadap Pembentukan Komite Penghapusan
Diskriminasi terhadap Wanita dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 30 terhadap hal
yang bersifat administrasi dan prosedural terhadap CEDAW.
BAB III - HUKUM NEGARA
Kalau
seorang wanita mencari penghapusan diskriminasi dan perlindungan haknya sebagaimana
disebut dalam CEDAW, sistem pemerintahan dan tata urutan peraturan perundangan
di Indonesia perlu dipahami. Dalam
rangka itu, seorang wanita tersebut boleh mencari perlindungan melalui
keberlakuan CEDAW dalam hukum negara di Indonesia, ketentuan Undang Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) beserta perundang-undangan lain tentang HAM.
Dalam
peraturan perundangan tersebut, seorang wanita tersebut perlu mencari pengakuan kaidah penghapusan
diskriminasi dan perlindungan hak wanita.
Selain itu, dia juga perlu mencari penegakan
kaidah tersebut dalam lingkungan peradilan negara maupun lembaga legislatif
atau eksekutif. Seorang wanita tersebut
dapat menyimpulkan bahwa pengakuan tersebut sudah lengkap sedang penegakannya
dapat diperbaiki. Namun demikian, ada masa
depan yang baik untuk penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan
haknya.
1. Lembaga Pemerintahan dan Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia
1.1 Wewenang dan Susunan Lembaga Pemerintahan
Lembaga
pemerintahan di negara kita merupakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah di Daerah.[11] Pemerintah di Daerah merupakan pejabat
daerah, yaitu Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakilnya; serta Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I (DPRD I) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tingkat II (DPRD II).[12] Wewenang dan susunan lembaga lembaga
pemerintahan tersebut diggariskan UUD
1945 sebagaimana ditambah Perubahan Pertama UUD 1945 Sidang Umum MPR Tahun 1999
beserta perundang-undangan.
MPR
adalah lembaga tertinggi negara. MPR
memegang dan melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya.[13] MPR mempunyai tugas menetapkan Garis Garis
Besar daripada Haluan Negara (GBHN), memilih Presiden serta Wakil Presiden dan
mengubah UUD 1945.[14] MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan
utusan daerah dan utusan golongan.[15] Utusan daerah dipilih DPRD I sedang utusan
golongan dipilih DPR. Utusan golongan
`tidak menjadi bagian dari suatu partai politik serta yang kurang atau tidak
terwakili secara proposional di DPR dan terdiri atas golongan ekonomi, agama
sosial, budaya, ilmuwan, dan badan badan kolektif lainnya'.[16]
Presiden
memegang kekuasaan Pemerintahan.[17] Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang
Undang (RUU) kepada DPR.[18] Setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. Jika RUU
itu tidak mendapat persetujuan bersama RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu. Presiden
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang Undang.[19]
Selanjutnya,
Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya.[20] Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi
terhadap Angkatan Bersenjata dan juga berwenang terhadap keadaan bahaya secara
ditetapkan dengan UU.[21] Presiden mengangkat duta dan menerima
penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.[22] Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (beoordeling van de Volksraad) dan memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR.[23]
Presiden
dibantu oleh Wakil Presiden dan kedua-duanya memegang jabatan selama lima tahun
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu
kali masa jabatan.[24] Jika Presidan mangkat, berhenti atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti Wakil Presiden
sampai habis waktunya. Sebagaimana
demikian, Presiden Soeharto diganti Wakil Presiden Habibie pada tanggal 21 Mei
1998.[25] Presiden juga dibantu oleh para Menteri. Presiden berwewenang mengangkat dan
memberhentikan semua Menteri tersebut.[26]
Presiden
dan Wakil Presiden baru diangkat dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Presiden ialah K.H. Abdurrahman Wahid dan
Wakil Presiden ialah Megawati Soekarnoputri.[27] Presiden ialah pemimpin Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan Wakil Presiden ialah pemimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Perjuangan. Keanggotaan para Menteri
atau Kabinet baru diumumkan oleh Presiden pada tanggal 26 Oktober tahun 1999.
Para Menteri atau Kabinet tersebut tercantum anggota anggota PKB, PDI
Perjuangan, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN) dan
Partai Pembangunan Persatuan (PPP). Para
Menteri atau Kabinet tersebut juga termasuk Anggota Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). [28]
DPR
adalah lembaga tinggi negara.[29] DPR memegang kekuasaan membentuk Undang
Undang dan akan melaksanaan kekuasaan itu dengan Presiden secara tersebut.[30] Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU.[31] Selanjutnya, DPR mempunyai tugas dan wewenang
terhadap hal keuangan, hubungan internasional dan aspirasi masyarakat.[32] Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut
DPR berhak terhadap pejabat pemerintah dan lembaga pemerintahan lain.[33] Susunan DPR ditetapkan UU No.4/1999 Tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD berlandaskan Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945. DPR terdiri atas 462 anggota Partai Politik
(Parpol) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) serta 38 anggota ABRI.[34]
Sebagaimana
tersebut, lembaga lembaga pemerintah di daerah ialah Gubernur, Bupati dan Walikota
daerah serta DPRD I dan DPRD II.[35] DPRD I dan DPRD II membentuk Peraturan
Daerah dengan persetujuan masing masing pejabat pemerintah di daerah.[36] DPRD I dan DPRD II berhak mengajukan
Rancangan Peraturan Daerah.[37] Selanjutnya, DPRD I dan DPRD II berkuasa
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid)[38]
dan Pemilihan Pejabat Pemerintah di Daerah serta Presiden.[39] Akhirnya, DPRD I dan DPRD II bertugas dan
berwenang terhadap hal keuangan,[40]
hal internasional bersama dengan Pemerintah Negara,[41]
dan aspirasi masyarakat.[42]
Susunan
DPRD I berdasarkan Parpol hasil Pemilu dan anggota ABRI yang diangkat.[43] Jumlah Anggota DPRD I ditetapkan
sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyak 100 orang termasuk 10% anggota
ABRI.[44] Susunan DPRD II pula berdasarkan Parpol dan
ABRI secara disebut. Jumlah Anggota DPRD
II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 45 orang
termasuk 10% anggota ABRI.[45]
Pemilihan
Umum baru dilaksanakan pada tanggal 7 Juni Tahun 1999 berlandaskan UU No.2/1999
Tentang Parpol yuncto Undang Undang No.3/1999 Tentang Pemilu. Parpol hasil Pemilu dalam DPR, DPRD I dan
DPRD II termasuk antara lain PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP dan PAN.
1.2 Parpol dan ABRI sebagai Lembaga Dasar
Pemerintahan di Indonesia
Dengan
susunan lembaga lembaga pemerintahan tersebut, Parpol dan ABRI menjadi lembaga
dasar pemerintahan di Indonesia. Anggota
Parpol hasil Pemilu dan anggota ABRI yang diangkat menjadi Anggota DPR, DPRD I
dan DPRD II. Anggota DPRD I dan DPRD II
memlihi masing masing pejabat pemerintah daerah. Anggota DPRD I dan Anggota DPRD II juga
memilihi utusan daerah yang menjadi anggota MPR. Anggota DPR menjadi anggota MPR. Anggota DPR juga memilihi utusan golongan
yang menjadi anggota MPR. MPR memilihi
Presiden.
Sebagaimana
demikian, susunan atau keanggotaan setiap lembaga pemerintahan tersebut
merupakan, berdasarkan atau dipengaruhi keanggotaan Parpol dan ABRI. Oleh sebabnya, tiap tiap ketentuan lembaga
pemerintah tersebut baik peraturan perundang-undangan atau ketentuan lain
ditetapkan anggota Parpol dan ABRI bersandar kebijakan (beleid) Parpol dan ABRI.
Maka, kebijakan Parpol dan ABRI sebagai kebijakan lembaga dasar
pemerintahan menjadi pedoman penetapan pemerintah Indonesia pada masa kini dan
masa mendatang.
1.3 Tata Urutan Peraturan Perundangan di
Indonesia
Tata
urutan peraturan perundangan lembaga pemerintahan di Indonesia berdasarkan
kaidah negara hukum (Rechstaat). [46] Unsur utama kaidah tersebut adalah setiap
peraturan perundangan wajib berdasarkan dan bersumber pada peraturan
perundangan yang lebih tinggi.[47] Tata urutan peraturan perundangan diatur
dengan TAP Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik Indonesia
No.XX/MPRS/1966.[48] Bentuk peraturan perundangan ditetapkan
sebagai berikut: UUD 1945, TAP MPR, Undang Undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan
pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain
lainnya.[49]
UUD
1945 adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi. Oleh sebabnya, UUD 1945 menjadi dasar dan
sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam negara.[50] UUD 1945 dirancang waktu Indonesi diduduki
Pemerintah Militer Jepang dan dikeluarkan sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus tahun 1945.[51] UUD 1945 diganti Konstitusi Republik
Indonesia Serikat[52]
(RIS) tanggal 31 Januari tahun 1950 yang kemudian diganti Undang Undang Dasar
Sementara[53]
(UUDS) Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus tahun 1950. UUD 1945 berlaku lagi dengan Dekrit Presiden
Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959.
Dekrit Presiden itu bertentangan dengan prosedur perubahan dalam UUDS
1950,[54]
meskipun dikatakan Dekrit Presiden tersebut berlandaskan hukum darurat negara (Staatsnoodsrecht).[55]
Dalam
tata urutan peraturan perundangan di bawah UUD 1945, TAP MPR melaksanakan
ketentuan UUD 1945 bersangkutan terutama ketentuan terhadap GBHN. Undang Undang
melaksanakan ketentuan UUD 1945 atau TAP MPR tentang GBHN di bidang
legislatif. Peraturan Pemerintah
melaksanakan Undang Undang. Keputusan
Presiden melaksanakan Ketentuan UUD 1945
bersangkutan, TAP MPR tentang GBHN di bidang eksekutif dan / atau Peraturan
Pemerintah tersebut. Akhirnya, peraturan
peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan
lain lainnya bersumber pada peraturan perundangan yang lebih tinggi.[56]
2.
Pengakuan Kaidah Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan Pengakuan
Hak Hak Asasi Wanita dalam Hukum Negara
2.1 Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum
Negara di Indonesia
Ada kemungkinan seorang wanita dapat mencari penghapusan atau perlindungan tersebut melalui keberlakuan CEDAW secara disahkan UU No.7/1984. Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional berdasarkan ajaran incorporasi maupun ajaran transformasi. Ajaran incorporasi menyatakan perjanjian internasional dan / atau kebiasaan internasional langsung berlaku dalam hukum nasional. Dengan perkataan lain, hak, kewajiban dan ketentuan hukum internasional berlaku, mengikat dan bisa ditegakkan dalam hukum nasional. Ajaran incorporasi dilaksanakan di Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional serta kebiasaan internasional dan dilaksanakan di Inggris hanya terhadap kebiasaan internasional. [57]
Bagaimanapun, ajaran transformasi berbunyi perjanjian internasional dan / atau kebiasaan internasional tidak berlaku dalam hukum nasional secara tersebut kecuali melalui perundang-undangan. Ajaran transformasi dilaksanakan di Inggris, Perancis dan Australia terhadap perjanjian internasional dan di Australia terhadap kebiasaan internasional.[58]
Di
negara kita, tidak jelas kalau ajaran transformasi atau ajaran incorporasi
dilaksanakan. Hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional tidak ditetapkan secara tersurat dengan UUD
1945.[59] Namun demikian, tata cara pengesahan
perjanjian internasional yang digariskan Pasal 11 UUD 1945 beserta peraturan
perundangan pelaksananya memuat kemungkinan Indonesia melaksanakan ajaran
"transformasi" dan tidak melaksanakan ajaran "incorporasi". Dengan perkataan lain, ada kemungkinan
perjanjian internasional tidak
berlaku di Indonesia.
Pasal
11 UUD 1945 berbunyi, `Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain'. Pasal itu memang tidak jelas. Pengertian `perjanjian dengan negara lain'
tidak dijelaskan. Perjanjian itu dapat
berupa konvensi, traktat atau cuma
persetejuan internasional. Bentuk
`persetujuan' DPR juga tidak dijelaskan.
Persetujuan itu dapat diucapkan dalam bentuk UU atau dengan ketetapan
yang bentuk lain. Selanjutnya, Pasal 11
UUD 1945 tidak cukup luas. Pemerintah
Indonesia hanya dapat membuat perjanjian dengan negara lain dan tidak boleh
membuat perjanjian internasional dengan organisasi internasional.[60]
Masalah
Pasal 11 tersebut diselesaikan dengan Surat Presiden No.2826/HK/60 Kepada Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Tentang Pembuatan Perjanjian Dengan Negara Lain. Surat Presiden itu berpendapat bahwa
`perjanjian' sebagaimana disebut dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti segala
jenis perjanjian internasional.
Melainkan, `perjanjian' itu hanya berupa perjanjian internasional
terpenting. Perjanjian internasional
terpenting adalah perjanjian berbentuk traktak
yang menyangkut persoalan seperti soal soal politik, perubahan wilayah negara,
ekonomi dan sebagaimana.[61]
Oleh
sebabnya, Surat Presiden No.2826/HK/60 menyatakan hanya perjanjian
internasional terpenting secara tersebut akan diajukan pada DPR untuk
persetujuannya. Perjanjian internasional
lain akan disahkan Presiden sendiri dan disampaikan pada DPR hanya untuk
diketahui.[62] Surat Presiden itu pula mengajukan pengertian
bahwa persetujuan DPR tidak perlu diucapkan dalam bentuk UU melainkan dapat
diucapkan dengan ketetapan yang bentuk lain.[63]
CEDAW
disahkan dengan UU No.7/1984 ketika Surat Presiden tersebut berlaku. Pasal 1 UU tersebut menyatakan Pengesahan
CEDAW. Selanjutnya, Lampiran UU tersebut
memuat isi CEDAW. UU No.7/1984 tidak menyatakan hak, kewajiban dan ketentuan
lain diucapkan dalam CEDAW berlaku secara langsung atau sesuai dengan ajaran
"incorporasi" tersebut.
Melainkan, secara sesuai dengan ajaran "transformasi", UU
tersebut menyiratkan ketentuan CEDAW tidak
berlaku kecuali sepanjang peraturan pelaksana UU tersebut akan melindungi
ketentuan CEDAW.[64]
Surat
Presiden tersebut baru diganti dengan UU No.4/1999 Tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pasal 36
Ayat (1) UU tersebut menetapkan, `Perjanjian perjanjian internasional yang
menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak bangsa dan negara baik di
bidang politik, keamanan, sosial budaya, ekonomi maupun keuangan yang dilakukan
Pemerintah memerlukan persetujuan DPR sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku'.[65] Pasal 36 Ayat (1) UU tersebut tidak
mengganggu pelaksanaan ajaran "transformasi". Bahkan, UU yang dikeluarkan di bawah Pasal
tersebut mengesahkan perjanjian internasional secara sama dengan UU No.7/1984.[66]
Bagaimanapun,
ada kemungkinan pelaksanaan ajaran "transformasi" memang diganggu di
bidang perjanjian international tentang HAM.
Pasal 36 Ayat (1) UU No.4/1999 baru ditambah dengan UU No.39/1999
Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 7 Ayat
(2) UU No.39/1999 menyatakan `Ketentuan hukum internasional yang telah diterima
negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum
nasional'. Maksudnya tidak jelas dan
tidak ditegaskan lebih lanjut dengan Penjelesan Atas UU No.39/1999..
Ada
kemungkinan maksud Pasal 7 Ayat (2) berupa ketentuan hukum internasional
tentang HAM menjadi hukum nasional hanya sepanjang ketentuan hukum tersebut
menguasakan peraturan pelaksana, secara sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945 dan
Pasal 36 Ayat (1) UU No.4/1999 tersebut.
Jika artinya itu, ajaran transformasi masih dilaksanakan terhadap
perjanjian internasional tentang HAM.
Namun
demikian, ada kemungkinan lain Pasal 7 Ayat (2) berarti bahwa ajaran
incorporasi akan dilaksanakan terhadap perjanjian internasional dan kebiasaan
internasional tentang HAM. Jika
maksudnya itu, UDHR dan Konvensi tentang HAM langsung berlaku di negara kita
dan CEDAW memang dapat ditegakkan oleh wanita bersangkutan. Ada kesulitan dengan pengertian ini. Dalam UU No.39/1999 maupun peraturan
perundangan lain, jalan pembuatan hukum terhadap ketentuan hukum internasional
tersebut tidak terperinci. Pengadilan
bersangkutan maupun Hukum Acaranya tidak disebut. Jadi, meskipun kemungkinan dikatakan UU
No.39/1999, sulit disimpulkan bahwa CEDAW berlaku secara langsung di
Indonesia.
2.2 Undang-Undang Dasar 1945
Seorang
wanita bisa mendapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakui penghapusan
diskriminasi dan melindungi hak wanita secara dapat diperbaiki. Bab X sampai dengan Bab XIV UUD 1945
mengandung hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia (WNI).
UUD
1945 melindungi persamaan antara pria dan wanita secara sesuai dengan Pasal 2
butir b yuncto Pasal 15 CEDAW. Pasal 27
Ayat (1) UUD 1945 menyatakan `Segala warga negara Indonesia bersamaan
kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
Pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya'.
Pasal ini menjamin persamaan antara pria, wanita dan kaum lain di muka
hukum dan di dalam segala peraturan perundangan.[67] Secara tersirat, Pasal 27 Ayat (1) mengakui
kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Jadi, peraturan perundangan yang bersifat diskriminatif
bertentangan dengan Pasal tersebut.
Bagaimanapun,
Pasal 27 Ayat (1) juga menetapkan kewajiban WNI mengenai penjunjungan hukum dan
pemerintahan di Indonesia. Keberadaan
kewajiban didasarkan kaidah kolektifisme.
Yaitu, hak hak asasi seorang ditambah dengan kewajiban terhadap
masyarakat karena kepentingan seorang dilindungi seleras dengan kepentingan
masyarakat. Kaidah kolektifisme itu
diucapkan dalam Rancangan UUD 1945 oleh Ir. Soekarno[68]
dan diakui negara berkembang secara umum.[69]
UUD
1945 pula mengakui HAM berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Pasal 27 Ayat (2) memberikan hak pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk segala WNI secara sesuai
dengan Pasal 11 CEDAW. Pasal 28 UUD
1945 mengakui kemerdekaan sipil dan politik secara sesuai dengan Pasal 3
CEDAW. Pasal 28 tersebut menyatakan
`Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluaskan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang Undang'.
Bagaimanapun,
Pasal 28 dapat disempurnakan. Pertama, Pasal 28 dikukuhkan jika
kemerdekaan tersebut menjadi hak pribadi, yaitu: hak berserikat, hak berkumpul
dan hak mengeluarkan pikiran. Kedua,
Pasal 28 pula dikukuhkan jika perlindungan kemerdekaan tersebut
diluaskan. Pasal 28 menyatakan kemerdekaan
tersebut akan `ditetapkan dengan Undang Undang'. Dengan perkataan lain, kemerdekaan tersebut
dapat dilindungi atau dilanggar dengan UU.[70] Pasal 28 diperbaiki kalau kemerdekaan tidak
boleh dilanggar atau dikurangi secara tersebut.
Dahulu,
perlindungan yang lebih luas diberikan dengan Konstitusi RIS 1950 dan UUDS
1950. Pasal 19 Konstitusi RIS 1950
yuncto Pasal 19 UUDS 1950 yang hampir sama menyatakan, `Setiap orang berhak
atas kebebasan mempunyai dan menegeluarkan pendapat'. Selanjutnya, Pasal 20 Konstitusi RIS 1950
serta Pasal 20 UUDS 1950 tersebut berbunyi, `Hak penduduk atas kebebasan
berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan Undang Undang'.
Akhirnya,
Pasal 32 Konstitusi RIS 1950 sebagaimana diubah dengan Pasal 33 UUDS 1950
menetapkan, `Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebabasan yang diterangkan dalam
bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan Undang-undang
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada
terhadap hak-hak serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat syarat
yang adil untuk ketentraman, kesusilaan dan sejahteraan dalam suatu masyarakat
yang demokratis'.
Pasal
29 UUD 1945 melindungi kemerdekaan agama dan juga sesuai dengan Pasal 3
CEDAW. Pasal 29 Ayat (2) berbunyi
`Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu'. Selain itu, Pasal 31 Ayat (1)
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran secara sesuai
dengan Pasal 10 CEDAW.
Ketentuan
UUD 1945 perlu ditambah dengan hak dan kemerdekaan yang lain. Menurut Prof. Dr. Muchsan, SH, UUD 1945 dapat
tercantum perlindungan hak administratif, hak pertisi, hak perekonomian serta
hak mendirikan organisiasi amal dan sosial secara sesuai dengan ketentuan
CEDAW.[71]
2.3 Pancasila
Seorang
wanita juga bisa mendapat pengakuan penghapusan dan perlindungan tersebut dalam
Pancasila secara kolektif, tanpa rinci dan belum disesuaikan dengan Era
Reformasi. Pancasila merupakan lima
sila: pertama, Ketuhanan Yang Maha
Esa; kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradab; ketiga, Persatuan Indonesia;
keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin
Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan dan kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
Sila
yang paling penting terhadap perlindungan wanita secara tersebut adalah sila
"Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab".
Maksudnya, setiap manusia adalah ciptaan Tuhan yang berbudi dan
mempunyai cipta, rasa dan karsa. Untuk
melakukan dengan potensi itu, segala manusia mempunyai hak dan kewajiban
asasinya. Hak dan kewajiban tersebut
berdasarkan persamaan, yaitu tidak dibedakan menurut jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.[72]
Sila
"Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab" tidak memperinci haknya dan
kewajibannya, terutama terhadap CEDAW.
Selanjutnya, hubungan antara hak dan kewajiban dalam Pancasila tidak
jelas. Prof. Darji Darmodiharjo, SH,
berpendapat bahwa kewajiban mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak
tersebut. Oleh sebabnya, kewajiban harus
dipenuhi sebelum hak dapat dinikmatkan.[73] Pendapat ini mengandung kaidah kolektifisme
tersebut dan pula menjadi perbedaan pendapat mengenai HAM antara Indonesia dan
negara barat.[74]
Bagaimanapun
juga, isi Pancasila ketika Era Reformasi memang tidak yakin. Pancasila dirumuskan pada masa penjajahan
Angkatan Perang Jepang tahun 1945.
Pancasila dicantumkan dalam
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta Mukadimah Konstitusi RIS 1950 dan
Mukadimah UUDS RI 1950.[75] Pada masa Orde Lama, Pancasila mempunyai
kedudukan yang penting disamping ideologi dan asas lain Presiden Soekarno.[76]
Pada
masa Orde Baru, Pancasila melalui TAP MPRS No.XX/MPR/1966 menjadi `Sumber dari
segala sumber hukum'. Sebagaimana
demikian, Pancasila menjadi Dasar Negara Republik Indonesia dan meliputi
`Pandangan hidup, kesadaran dan cita cita hukum serta cita cita moral luhur
yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari Bangsa Indonesia...'.[77] Dengan TAP MPR No. II/MPR/1978 Tentang
Pedoman Penghayatan Dan Pengalaman Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) isi
Pancasila ditegaskan secara lanjut.
Namun
demikian, TAP MPR No.II/MPR/1978 baru dicabut dengan Ketetapan MPR
No.XVIII/MPR/1998.[78] Konsiderans menimbang b TAP MPR
No.XVIII/MPR/1998 menjelaskan TAP MPR No.II/MPR/1978 `tidak sesuai dengan
perkembangan kehidupan bernegara'. Pasal
1 TAP MPR No.XVIII/MPR/1998 menegaskan Pancasila masih berfungsi sebagai `dasar
negara'. Bagaimanapun, Pancasila `harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara'.
Dengan
perkataan lain, isi Pancasila perlu diperbaharui. Namun, TAP ini tidak mengajukan pembaharuan
isi Pancasila sebagai pengganti TAP MPR No.II/MPR/1978. Oleh sebabnya, meskipun telah jelas Pancasila
masih dasar Negara Indonesia, isinya dalam Era Reformasi belum ditetapkan.
2.4 Perundang-undangan
Seorang
wanita dapat mencari pengakuan kaidah penghapusan diskriminasi dan hak wanita
yang lengkap dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU
No.39/1999.[79] TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 mengakui dan
melindungi segala HAM berdasarkan persamaan antara pria dan wanita secara
sesuai dengan Pasal 3 CEDAW. TAP MPR
tersebut merupakan Pembukaan, Batang Tubuh dan Lampiran. Lampirannya berupa "Pandangan Dan Sikap
Bangsa Indonesia Terhadap Hak Asasi Manusia" dan "Piagam Hak Asasi
Manusia".
Pasal
1 sampai dengan Pasal 6 Piagam HAM tersebut memberikan hak hak individu
terhadap hidup, keluarga dan perkembangan diri.
Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 membentuk hak keadilan di bidang hukum. Pasal 13 sampai dengan Pasal 19 menggariskan
hak kemerdekaan di bidang politik dan sosial.
Pasal 20 yuncto Pasal 21 menetapkan hak atas kebebasan informasi. Pasal 22 sampai dengan Pasal 26 memberikan
hak keamanan. Pasal 33 membentuk hak
kesejahteraan.
Setiap
Pasal tersebut menyatakan hak hak asasinya diberikan pada `setiap orang'. Selanjutnya, Pasal 38 menyatakan, `Setiap
orang berhak bebas dari dan mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif'. Akhirnya, Pasal
39 berbunyi, `Dalam pemenuhan hak asasi manusia, laki laki dan perempuan berhak
mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama'. Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 2
butir b, Pasal 7, Pasal 12 dan Pasal 15 CEDAW.
TAP
tersebut menetapkan hak asasinya akan dilindungi dan dilaksanakan lembaga
pemerintahan Indonesia. Pasal 1 Batang
Tubuh TAP tersebut `menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat'. Dengan tujuan ini, Presiden dan DPR akan
mengesahkan konvensi internasional terhadap HAM.[80] Selanjutnya, HAM akan ditetapkan dengan
Perundang-undangan.[81] Akhirnya, pertanggung-jawaban Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Kom Nas HAM) yang pada masa itu ditetapkan dengan Kep Pres
No.50/1993 akan ditambah dengan Undang Undang.
TAP
tersebut juga menyelenggarakan ruang lingkup pembatasan terhadap HAM. Pasal 36 Piagam HAM TAP itu berbunyi, `setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memnuhi tuntuan yang adil sesuai dengan
pertimbaganan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis'. Namun demikian, Pasal 44 menetapkan ada
beberapa HAM yang bersifat tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).
TAP
No.XVII/MPR/1998 mengakui kewajiban dasar manusia. Pasal 3 menegaskan HAM akan dilaksanakan,
`melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya
sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara'. Selanjutnya, hak hak asasi tersebut ditambah
dengan kewajiban. Pasal 35 yang
berlandaskan Pasal 30 UUD 1945 menetapkan `setiap orang wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara'. Kewajiban tersebut didasarkan kaidah
"kolektifisme" sebagaimana UUD 1945 beserta Pancasila.
TAP
MPR Nomor XVII/MPR/1998 baru dilaksanakan dengan UU No.39/1999. UU tersebut memperinci ketentuan TAP itu di
bidang Hak untuk Hidup,[82]
Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan,[83]
Hak Mengembangkan Diri,[84]
Hak Atas Kebebasan Pribadi,[85]
Hak Atas Rasa Aman[86]
dan Hak Atas Kesejahteraan.[87]
Selanjutnya,
UU No.39/1999 mengandung hak hak asasi manusia berdasarkan ketentuan UDHR dan
ICCPR[88]
di bidang Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan,[89]
Hak Memperoleh Keadilan,[90]
Hak Atas Kebebasan Pribadi,[91]
Hak Atas Rasa Aman,[92]
Hak atas Kesejahteraan[93]
dan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan.[94]
UU
No.39/1999 juga memuat hak anak dan hak wanita berdasarkan Konvensi Tentang Hak
Hak Asasi Anak (Convention on the Rights
of the Child) beserta CEDAW.[95] Bagian Kesembilan UU tersebut menyangkut Hak
Wanita. Pasal 45 menetapakan hak wanita
mempunyai kedudukan sebagai hak asasi manusia secara sesuai dengan Pasal 3
CEDAW. Pasal 46 UU No.39/1999 berbunyi,
`Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan
sistem pengankatan di bidan geksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan
wanita sesuai persyaratan yang ditentukan'.
Pasal 46 tersebut sesuai dengan Pasal 7 yo. Pasal 8 CEDAW.
Pasal
47 UU No.39/1999 melindungi hak wanita terhadap kewarganegaraan dan menyatakan
kewarganegaraan wanita tidak akan ditetapkan secara otomatis menurut
kewarganegaraan suaminya. Pasal 47 tersebut
berdasarkan Pasal 9 CEDAW. Pasal 48 UU
No.39/1999 menentukan wanita berhak pendidikan dan pengajaran di semua jenis,
jenjang dan jalur pendidikan juga sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan. Pasal 48 bersandarkan Pasal
10 CEDAW.
Pasal
49 menyatakan hak wanita di bidang pekerjaan secara sesuai dengan Pasal 11
CEDAW. Pasal 49 Ayat (1) berbunyi
`wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pejerjaan, jabatan dan
profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan'. Pasal 49 Ayat (2) dan Ayat (3) mengandung
ketentuan terhadap fungsi reproduksi serta pekerjaan.
Pasal
50 yuncto Pasal 51 mengandung hak wanita dalam perkawinan berdasarkan Pasal 16
CEDAW. Pasal 50 menetapakan, `Wanita
yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum
sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya'. Pasal 51 Ayat (1) menentukan, `Seorang istri
selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama
dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya,
hubungan dengan anak-anaknya serta pengelolaan harta bersama'.
Selanjutnya,
Pasal 51 Ayat (2) menyatakan, `Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua
hal yang berkenaan dengan anak-anakynya, dengan memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak'.
Akhirnya,
Pasal 51 Ayat (3) menetapkan, `Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
UU
No.39/1999 melaksanakan ketentuan TAP No.XVII/MPR/1998 terhadap Kewajiban Dasar
Manusia.[96] Selain itu, UU No.39/1999 menetapkan hubungan
antara hak asasi dan kewajiban dasar manusia tersebut. Pasal 1 butir 2 UU No.39/1999 menyatakan,
`Kewajiban dasar manusia adalah separangkat kewajiban yang apabila tidak
dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia'.
UU
No.39/1999 melaksanakan ketentuan TAP tersebut tentang Kewajiban dan Tanggung
Jawab Pemerintah.[97]
UU tersebut pula mengandung aturan khusus tentang pembatasan dan larangan
HAM. Pasal 73 UU No.39/1999 menggariskan
pembatasan sebagaimana disebut dalam Pasal 36 TAP tersebut. Namun demikian, Pasal 73 diikuti Pasal 74 UU
yang menyatakan, `Tidak satu ketentuanpun dalam Undang Undang ini boleh
diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi,
merusak atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur
dalam Undang Undang ini'.
3.
Penegakan Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan Perlindungan Hak
Hak Asasi Wanita
3.1 Penegakan di Lingkungan Peradilan Umum
Seorang
wanita bisa mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui hak
menguji (toetsingsrecht atau judicial review) yang dapat
diperbaiki. Di Indonesia, hak tersebut
merupakan wewenang menguji peraturan perundangan yang lebih rendah dari Undang
Undang terhadap peraturan perundangan yang berfungsi sebagai sumbernya. Hak menguji dilakukan oleh Mahkamah Agung
maupun Pengadilan Umum.
Hak
menguji tersebut tidak diberikan dengan UUD 1945. Bab IX UUD 1945 menyangkut kekuasaan
kehakiman. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945
menyatakan, `Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang Undang'. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, `Susunan
dan kekuasaan Badan Badan kehakiman itu diatur dengan Undang Undang'.[98]
Melainkan,
hak menguji diberikan kepada Mahkamah Agung dengan UU No.14/1970 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.[99] Pasal 26 Ayat (1) UU tersebut menetapkan,
`Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan
perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang Undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi'.
Ruang
lingkup hak menguji secara ditetapkan dengan Pasal 26 Ayat (1) tersebut dapat
dipahami dengan Penjelesan UU
No.14/1970 maupun Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia. Menurut Penjelesan tersebut, Pasal 26 (1) berarti bawah Mahkamah Agung
tidak boleh antara lain menguji Undang Undang dan peraturan pelaksananya
terhadap UUD 1945. Penjelesan UU No.14/1970
menegaskan hak menguji sampai tingkat tersebut hanya dapat diberikan oleh MPR
sebagai Perubahan UUD 1945.
Selanjutnya,
Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia tersebut menyatakan bahwa setiap
peraturan perundangan berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundangan yang
`lebih tinggi’.[100] Dalam rangka itu, Pasal 26 Ayat (1) tidak
berarti bahwa Mahkamah Agung boleh menguji sesuatu peraturan perundangan yang
lebih rendah dari Undang Undang terhadap segala peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Melainkan, Pasal 26
Ayat (1) berarti bahwa Mahkamah Agung hanya boleh menguji sesuatu peraturan
perundangan tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan berfungsi sebagai sumbernya. [101]
Jadi,
hak menguji dapat dilakukan sebagai berikut.
Pertama, Undang Undang dan
peraturan pelaksananya tidak boleh diuji terhadap UUD 1945 atau TAP MPR. Kedua,
Peraturan Pemerintah dapat diuji terhadap Undang Undang yang berfungsi sebagai
sumbernya. Namun demikian, Peraturan
Pemerintah tersebut tidak boleh diuji terhadap peraturan perundangan lain.
Ketiga, Keputusan
Presiden dapat diuji terhadap Ketentuan UUD 1945, TAP MPR tentang GBHN di
bidang Eksekutif dan Peraturan Pemerintah yang berfungsi sebagai
sumbernya. Bagaimanapun, Keputusan
Presiden tidak boleh diuji terhadap peraturan perundangan lain.
Keempat, peraturan
pelaksana lain seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dapat diuji
terhadap peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan atau yang berfungsi
sebagai sumbernya. Sebagimana tersebut,
peraturan Pelaksana tersebut tidak boleh diuji terhadap peraturan perundangan
lain.
Pasal
26 Ayat (1) Undang Undang No. 14 Th.1970 diikuti dengan Pasal 26 Ayat (2) yang
berbunyi, `Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan
tersebut dapat diambil berhubung pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang
dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan'.
Prof.
Dr. Soehino berpendapat bahwa pencabutan itu
harus dilaksanakan oleh instansi tersebut, berdasarkan perkataan Penjelesan
UU No.14/1970.[102] Namun demikian, Samsul Wahidin, SH
berpendapat bahwa pencabutan itu tidak
harus dilaksanakan. Menurut dia,
instansi bersangkutan dapat melanggar
Putusan Mahkamah Agung terhadap peraturan perundangannya. Oleh sebabnya, Pasal 26 Ayat (2) UU
No.14/1970 perlu diubah agar pencabutan tersebut menjadi kewajiban instansi bersangkutan.[103]
Pasal
26 UU No.14/1970 ditambah dengan Pasal 11 Ayat (4) TAP MPR Nomor III/MPR/1978
Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan / Atau
Antar Lembaga Lembaga Tinggi Negara yang telah dilaksanakan dengan Pasal 31 UU No.14/1985 Tentang Mahkamah
Agung. TAP MPR dan UU No.14/1985
tersebut merumuskan hak menguji secara tepat sama ketentuan UU No.14/1970.
UU
No.14/1970 beserta TAP MPR Nomor III/MPR/1978 dan UU No.14/1985 ditambah lagi
dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1/1993. PERMA No.1/1993 bersumber pada Pasal 79 UU
No.14/1985 yang menyatakan Mahkamah Agung berhak mengatur hukum acara terhadap
kekuasaan kehakiman yang diberikan dengan Undang Undang itu.[104] Sesuai dengan Pasal 79 UU No.14/1985, PERMA
tersebut menetapkan hukum acara terhadap hak menguji Mahkamah Agung.
Bagaimanapun,
PERMA No.1/1993 juga mengubah hak menguji dalam lingkungan peradilan umum. Pasal 26 Ayat (2) UU No.14/1970 beserta Pasal
31 Ayat (3) UU No.14/1985 tersebut menetapkan hak menguji Mahkamah Agung hanya
dapat dilakukan pada tingkat kasasi.
Bagaimanapun, Pasal 1 Ayat (1) yuncto Pasal 2 Ayat (1) PERMA No.1/1993 menentukan
gugatan mengenai hak menguji juga dapat diajukan langsung kepada Mahkamah Agung.
Selanjutnya,
PERMA No.1/1993 menetapkan hak menguji dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri
Tingkat Pertama dalam perkara perdata dan pidana atau perkara Tata Usaha Negara
(TUN).[105] Namun demikian, Pengadilan Negeri tersebut
tidak boleh menyatakan perundang-undangan tidak sah sebagaimana Mahkamah
Agung. Melainkan, Pasal 3 Ayat (1) PERMA
No.1/1993 menetapkan Pengadilan Negeri hanya dapat menyatakan
perundang-undangan yang digugat `tidak mempunyai hukum dan tidak mengingat
pihak pihak yang berpekara'. Dengan
perubahan hak menguji tersebut, PERMA Nomor 1 Tahun 1993 mungkin bertentangan
dengan sumbernya, yakni Pasal 79 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985.[106]
Dalam
rangka hak menguji ditegaskan, penegakan perundang-undangan terhadap HAM dapat
dikukuhkan. Pada masa kini, seorang
wanita tidak boleh mencari pengujian Undang Undang dan peraturan pelaksananya
terhadap Ketentuan UUD 1945 tentang HAM atau TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
Selanjutnya,
seorang wanita hanya bisa mencari pengujian sesuatu peraturan perundangan yang
lebih rendah dari Undang Undang terhadap Ketentuan UUD 1945 tentang HAM, TAP
MPR No.XVII/MPR/1998, UU No.39/1999 kalau peraturan perundangan tersebut
bersumber pada Ketentuan UUD 1945 tentang HAM, TAP MPR No.XVII/MPR/1998, UU
No.39/1999. Seorang wanita tersebut
tidak boleh mencari pengujian peraturan perundangan lain yang tidak bersumber
pada UUD 1945, TAP MPR No.XVII/MPR/1998, UU No.39/1999 (yaitu mayoritas peraturan
perundangan di Indonesia) baik bila diskriminasi dilakukan dan haknya dilanggar
atau tidak. Oleh sebabnya, penegakan
perundang-undangan tentang HAM maupun penghapusan diskriminasi dan perlindungan
hak wanita perlu dikukuhkan dengan hak menguji
yang lebih luas.[107]
3.2 Penegakan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara
Seorang
wanita bisa mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui hak
menguji di lingkungan TUN yang juga dapat dikukuhkan. Hak menguji Pengadilan TUN (Verwaltungs Gericht) ditetapkan dengan
UU No.5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta peraturan pelaksananya.[108]
Urusan
dasar hak menguji Pengadilan TUN adalah Keputusan TUN (Beschikking). Pengertian
Keputusan TUN diajukan dengan Pasal 1 yuncto Pasal 2 UU No.5/1986. Pasal 1 menetapkan `Putusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi sesorang atau badan hukum perkata'.
Sekalipun,
Pasal 2 serta Penjelesan Atas UU No.5/1986 menentukan Keputusan TUN yang dapat
diuji menurut Undang Undang itu tidak
termasuk yang berikut: a. Keputusan TUN yang `merupakan perbuatan hukum
perdata', umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual beli dilakukan
antara instansi pemerintah dan perseorangan;
b.
Keputusan TUN yang `merupakan pengaturan yang bersifat umum', yaitu ketentuan
badan atau pejabat TUN yang berlaku pada setiap orang;
c.
Keputusan TUN yang `masih memerlukan persetujuan', yaitu keputusan yang untuk
dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi pemerintah lain;
d.
Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut hukum pidana;
e.
Keputusan TUN yang `dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan';
f.
Keputusan TUN mengenai tata usaha ABRI;
g.
Keputusan TUN Panitia Pemilihan mengenai hasil pemilihan umum.[109]
Ruang
lingkup hak menguji Pengadilan TUN ditetapkan dengan Pasal 53 Ayat (1) UU
No.5/1986. Pasal 53 Ayat (1) tersebut
menyatakan `Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan / batal atau tidak sah
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi.'
Pasal
53 Ayat (2) UU No.5/1986 mengandung alasan alasan yang dapat digunakan dalam
gugatan tersebut. Pasal 53 Ayat (2)
huruf a menetapkan alasan alasan tersebut tercantum Keputusan TUN digugat
karena `bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku'.
Penjelesan
Atas UU No.5/ 1986 menegaskan Pasal 53 Ayat (2) huruf a berupa tiga bentuk
pelanggaran peraturan perundang-undangan.
Pertama, pelanggaran yang
bersifat prosedural / formal, umpamanya jika Keputusan TUN dikeluarkan tanpa
pelaksanaan kewajiban membela pihak bersangkutan. Kedua, pelanggaran
bersifat materiil / substansial. Ketiga, pelanggaran peraturan dasar
Keputusan TUN atau, dengan perkataan lain, Keputusan TUN dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat TUN yang tidak berkuasa.
Secara
tersurat, Pasal 53 UU No.5/1986 membedakan hak menguji Keputusan TUN terhadap
perundang-undangan secara umum dan
hak menguji Keputusan TUN terhadap perundang-undangan yang berfungsi sebagai
sumber Keputusan TUN tersebut. Maka,
dapat disimpulkan bahwa Pengadilan TUN berhak menguji Keputusan TUN terhadap segala peraturan perundang-undangan baik
yang berfungsi sebagai sumber Keputusan TUN itu atau tidak.[110]
Namun
demikian, beberapa pertimbangan Pengadilan TUN berpendapat lain. Pertimbangan tersebut menetapkan bahwa hak
menguji Keputusan TUN hanya dapat dilaksanakan terhadap peraturan
perundang-undangan yang `lebih tinggi sebagai sumber hukum untuk mengeluarkan
keputusan'.[111]
Dalam
keadaan pelanggaran tersebut, Pengadilan TUN berhak memerintah pencabutan
Keputusan TUN.[112] Selain itu, Pengadilan TUN dapat memerintah
Pejabat atau Badan TUN bersangukutan melaksanakan ganti rugi atau rehabilitasi
sebagaiamana diatur dengan Pasal 120 yuncto Pasal 121 UU No.5/1986.
Di
bidang perundang-undangan tentang HAM yang mengakui kaidah penghapusan
diskriminasi terhadap wanita dan hak wanita, hak menguji Pengadilan TUN dapat
dijelaskan atau diperbaiki. Pada masa
kini, ada kemungkinan seorang wanita dapat mencari pengujian sesuatu Keputusan
TUN terhadap segala peraturan perundangan, tercantum Ketentuan UUD 1945 tentang
HAM, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 beserta UU No.39/1999. Jika hak menguji Pengadilan TUN mencapai
tingkat itu, seseorang wanita tersebut memang dilindungi dari Keputusan TUN
yang melakukan diskriminasi atau melanggar haknya.
Namun
demikian, ada kemungkinan lain seorang wanita tersebut hanya boleh mencari
pengujian Keputusan TUN terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
sebagai sumbernya. Jadi, seorang wanita
hanya dilindungi dari diskriminasi dan pelanggaran haknya sepanjang telah
diberikan melalui Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri dan secara dapat
dikukuhkan.
3.3 Penegakan Lembaga Legislatif
Seorang
wanita dapat mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui wewenang
pengawasan DPR. Wewenang tersebut
diberikan dengan TAP MPR No. III/MPR/1978 Tentang Kedudukan Dan Hubungan Tata
Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan / Atau Antar Lembaga Lembaga Tinggi
Negara.
Pasal
7 Ayat (1) TAP MPR tersebut menyatakan DPR `berkewajiban senantiasa mengawasi
tindakan tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara'.[113] Sesuai dengan kewajiban itu, Pasal 7 Ayat (2)
menetapkan apabila DPR menganggap Presiden sungguh sungguh melanggar Haluan
Negara, maka DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden.
Selanjutnya,
Pasal 7 Ayat (3) menentukan apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak
memperhatikan memorandum DPR tersebut pada Ayat (2), maka DPR menyampaikan
memorandum yang kedua.
Akhirnya,
Pasal 7 Ayat (4) berbunyi apabila dalam waktu satu bulan Presiden tidak
memperhatikan memorandum yang kedua, maka DPR dapat meminta MPR mengadakan
Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungan jawab Presiden. MPR dapat menghentikan masa jabatan Presiden
jika beliau sungguh sungguh melanggar Haluan Negara.[114]
Di
bidang penegakan perundang-undangan tentang HAM, apabila Presiden melanggar TAP
MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM, DPR dapat mengawasi tindakan beliau secara
tersebut.[115] Tentu saja dengan wewenangnya DPR tidak boleh
memerintah Presiden untuk menghormati HAM.
Tetapi pada hakikatnya, Memorandum DPR akan mempengaruhi Presiden. Karena apabila Presiden menolak Memorandum
tersebut, DPR dapat mohon Sidang Istimewa MPR.
MPR kemudian dapat menghentikan masa jabatan Presiden bersandarkan
pelanggaran HAM tersebut. Oleh sebabnya,
Presiden akan memperhatikan Memorandum DPR.
Bagaimanapun,
wewenang pengawasan DPR memuat masalah untuk seorang wanita yang mencari
penegakan TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
Memorandum yang disampaikan kepada Presiden maupun Permintaan Sidang
Istimewa MPR dikeluarkan dengan suara DPR yang terbanyak. Dapat disimpulkan bahwa suara DPR tersebut
hanya ditimbulkan pelanggaran HAM yang bersifat berat, luas dan secara
terus-menerus. Jadi, wewenang pengawasan
DPR tidak baik untuk pelanggaran menyangkut seorang wanita saja.
3.4 Penegakan Lembaga Eksekutif
Seorang
wanita dapat mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui lembaga
eksekutif. Lembaga tersebut adalah
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti
Kekarasan Terhadap Perempuan (KNKP).
Wewenang kedua-duanya dapat dikukuhkan.
Komnas
HAM dibentuk dengan Keputusan Presiden (KepPres) No.15/1993 yang telah diganti
dengan UU No.39/1999.[116] Komnas HAM bertujuan mengembangkan kondisi
yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Hukum Internasional.[117] Komnas HAM pula dimaksud meningkatkan
perlindungan dan penegakan HAM.[118]
Seorang
wanita yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat
mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.[119] Selain itu, seorang wanita berhak
menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM kepada Komnas HAM.[120] Akhirnya, seorang wanita berhak mengajukan
usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia
kepada Komnas HAM.[121]
Tetapi
ada apa yang Komnas HAM dapat melakukan terhadap pengajuan dan penyampaian
tersebut? Fungsi Komnas HAM merupakan
`fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang hak
asasi manusia'.[122] Kalau pengajuan atau penyampaian seorang
wanita menyangkut Konvensi atau peraturan perundangan, Komnas HAM dapat
mengkaji dan meneliti berbagai instrumen internasional HAM `dengan tujuan
memberikan saran saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi'.[123]
Komnas
HAM pula dapat mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan untuk
`memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan dan pencabutan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan [HAM]'.[124]
Sebagaimana
tersebut, hasil tugas Komnas HAM tersebut cuma berupa saran serta rekomendasi. Pembatasan ini didasarkan keadaan bahwa UUD
1945 menetapkan pengesahan perjanjian internasional maupun pembentukan
perundang-undangan adalah wewenang lembaga pemerintahan lain dari Komnas HAM. Bagaimanapun juga, Komnas HAM memang
dihormati dan rekomendasinya sering dilaksanakan olen lembaga pemerintahan
bersangkutan.[125]
Kalau
pengajuan seorang wanita menyangkut pelanggaran HAM yang terjadi dalam
masyarakat, Komnas HAM dapat melaksankan dengan fungsi pemantauan. Fungsi pemantauan berupa penyelidikan dan
pemeriksaan maupun buat laporan terhadap pelanggaran HAM dalam masyarakat.[126]
Dalam
penyelidikan dan pemeriksaan tersebut, Komnas HAM dapat melakukan, `pemanggilan
kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukuan untuk dimintai dan
didengar keterangannya'[127]
serta `pemanggilan saksi untuk diminta dan didengan kesaksiannya dan kepada
saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan'.[128] Pemanggilan tersebut wajib dipenuhi oleh
pihak atau saksi bersangkutan.[129]
Komnas
HAM juga dapat menyelidiki dan memeriksa melalui `peninjauan di tempat kejadian
dan tempat lainnya'.[130] Dalam keadaan tertentu, Komnas HAM wajib
mendapat persetujuan dan bantuan Ketua Pengadilan Umum untuk penyelidikan dan
pemeriksaan tersebut.[131]
Setelah
penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan, Komnas HAM buat laporan.[132] Dalam laporan tersebut, pendapat Komnas HAM
tentang pelanggaran HAM dalam masyarakat juga bersifat saran atau
rekomendasi. Jadi, pendapat Komnas HAM
tidak wajib dipenuhi oleh pihak bersangkutan.
Dengan perkataan lain, pelanggaran HAM dapat berjalan secara tidak
sesuai dengan pendapat Komnas HAM.[133] Perlindungan seorang wanita memang dikukuhkan
jika pendapat HAM menjadi wajib dipenuhi.
Kalau
pengajuan seorang wanita menyangkut pelanggaran HAM yang terjadi dalam lingkungan
peradilan, Komnas HAM melalui fungsi pemantauan tersebut dapat memberikan
pendapatnya. Pasal 89 Ayat (3) butir h
UU No.39/1999 menetapkan pendapat Komnas HAM hanya boleh diucapkan `bilamana
dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah
publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan'.
Penjelesan Atas UU No.39/1999 mengajukan contoh masalah publik tersebut,
yakni `pertamajam, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup'.[134] Selain itu, pendapat Komnas HAM hanya dapat
dijatuhkan dengan persetujuan Ketua Pengadilan bersangkutan.[135] Pendapat Komnas HAM wajib diberitahukan
oleh hakim kepada para pihak bersengketa.[136]
Kalau pengajuan seorang wanita berupa sengketa
dengan sepihak lain, Komnas HAM dapat melaksanakan fungsi mediasi. Untuk fungsi itu, Komnas HAM dapat melakukan
perdamaian kedua belah pihak dan penyelesaian perkara melalui cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi dan peniliaian ahli.[137] Perdamaian atau penyelesaian sesuatu perkara
secara tersebut menjadi kesepakatan antara pihak bersangkutan yang wajib
dipenuhi dan dapat ditegakkan oleh Pengadilan Negeri.[138] Kalau dianggap perlu, Komnas HAM dapat
memberikan saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan.[139]
Komnas
HAM juga dapat menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada
Pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti.[140] Fungsi mediasi jauh lebih lanjut dari fungsi
Komnas HAM lain karena ketentuannya berupa paksaan dan wajib dipenuhi oleh
pihak bersangkutan.
KNKP
baru dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 dan belum mulai
fungsinya.[141] Di bidang hak wanita, KNKP bertujuan
`pengingkatan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan hak asasi manusia perempuan' secara
diasaskan Pancasila.[142]
Seorang
wanita tidak berhak mengajukan atau menyampaikan laporan atau usulan
sebagaimana Komnas HAM. Bagaimanapun,
KNKP dapat melakukan antara lain kegiatan pengkajian dan penelitian terhadap
konvensi internasional tentang hak wanita serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku dengan tujuan `menyampaikan berbagai saran dan pertimbangan kepada
pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat dalam rangka penyusunan dan
penetapan peraturan dan kebijakan berkenaan dengan upaya....perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia bagi perempuan'.[143] Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, KNKP
bersifat mandiri atau independen.[144]
Secara
tersurat, kegiatan KNKP dipusatkan pada kekerasaan terhadap wanita dan hanya di
bawah itu perlindungan hak wanita. Di
bidang hak wanita, fungsi KNKP berupa pengkajian dan penelitian. Dalam fungsi
pengkajian dan penelitian tersebut, saran dan pertimbangan KNKP tidak bersifat
paksa atau tidak wajib dipenuhi. Selain
itu, KNKP masih belum mempunyai fungsi pemantauan dan mediasi sebagiamana telah
diberikan kepada Komnas HAM.. Maka,
perlindungan wanita melalui KNKP memang diperbaiki jika wewenangnya dikukuhkan
dan diluaskan sebagaimana dijelaskan terhadap Komnas HAM.
4.
Masa Depan Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan Perlindungan Hak
Hak Asasi Wanita dalam Hukum Negara
4.1 Rencana Aksi Nasional Hak Hak Asasi Manusia
Rencana Aksi Nasional Hak Hak Asasi
Manusia (RANHAM) menggariskan masa depan yang baik untuk
penghapusan diskriminasi terhadap wanita maupun perlindungan haknya. RANHAM ditetapkan dengan KepPres No.129/1998
dan termaktub dalam Lampiran KepPres tersebut.[145]
Bab
I Lampiran KepPres tersebut menyatakan wawasan HAM di Indonesia yang bersifat
kolektif. Wawasannya berupa tiga
prinsip. Sehubungan dengan kaidah
tersebut, prinsip keseimbangan berarti bahwa hak asasi manusia seorang atau
segolongan perlu diseimbangkan dengan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan
bangsa.[146] Prinsip itu selaras dengan ketentuan UUD 1945
dan Pancasila tersebut.
Bab
II yuncto Bab III Lampiran KepPres itu menetapkan metode pelaksanaan HAM di
Indonesia. Secara umum, Indonesia
berpendapat bahwa pemajuan dan perlindungan HAM merupakan proses yang panjang. Proses itu akan dilakukan secara terus
menerus dan menjadi pertanggung jawaban `pemerintah, organisasi organisasi
sosial politik dan kemasyarakatan maupun berbagai lembaga lembaga swadaya
kemasyarakatan serta semua kalangan dan lapisan masyarakat dan warga negara'.[147] Selanjutnya, dalam pelaksanaan HAM terdapat
berbagai prioritas. Prioritas tercantum jenis HAM yang bersifat
tidak bisa dikurangi (non-derogable
rights) maupun perlindungan kaum rentan, yakni wanita anak dan buruh.[148]
Bab
IV Lampiran KepPres tersebut menetapakan Program atau Jadwal Kegiatan RANHAM secara
baik untuk masa depan kaum wanita di Indonesia.
Kegiatan tersebut merupakan
pengesahan atau pelaksanaan berbagai Konvensi Internasional tentang HAM maupun
penyebarluasan dan pendidikan terhadap HAM.
Di
bidang hak wanita, Optional Protocol CEDAW akan disahkan.[149]
Tata cara penyampaian laporan pada Komite CEDAW akan diperbaiki.[150]
Harmonisasi peraturan perundangan yang berlaku dengan CEDAW akan dilakukan.[151] Peraturan perundangan akan dirancang secara
sesuai dengan CEDAW.[152]
Pelaksanaan CEDAW dalam langkah-langkah administratif akan dijamin.[153]
Akhirnya, advokasi dan mobilasisi sosial akan dilakukan.[154]
RANHAM
akan sangat memperbaiki perlindungan HAM secara umum maupun perlindungan hak
wanita di Indonesia. Pelaksanaan RANHAM
dijamin dengan pembentukan Panitia Nasional Hak Asasi Manusia. Keanggotaannya merupakan para Menteri
Republik Indonesia yang bersangkutan.
Panitia tersebut bertanggunng-jawab mengawasi pelaksanaan RANHAM.[155] Ketentuan RANHAM di bidang Pengesahan
Konvensi Internasional tentang HAM sedang dilaksanakan.[156] Mudah-mudahan ketentuan lain akan
dilaksanakan secepat-cepatnya.
4.2 Pengadilan HAM
Penegakan
kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita
akan diperbaiki dengan Pengadilan HAM.
UU No.39/1999 mengandung Rencana Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pasal
104 Ayat (1) UU No.39/1999 berbunyi, `Untuk mengadili pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan
Peradilan Umum'. Pasal 104 Ayat (2) UU
No.39/1999 menetapkan Pengadilan itu akan dibentuk dengan Undang Undang dalam
jangka waktu paling lama empat tahun.
Pasal 104 Ayat (3) menentukan pada masa kini kasus kasus pelanggaran HAM
akan diselesaikan dalam lingkungan peradilan umum yang telah ada.
Dari
pengkajian penegakkan perundang-undangan tentang HAM tersebut, dapat
disimpulkan bahwa wewenang Pengadilan HAM perla merupakan urusan sebagai
berikut. Pertama, Pengadilan HAM berhak menguji peraturan perundangan dari
tingkat Undang Undang sampai ke bawah terhadap segala perundang-undangan lain
baik yang berfungsi sebagai sumbernya atau tidak. Kedua, Pengadilan HAM dapat memecahkan
sengketa yang menyangkut HAM antara orang dan / atau badan hukum perdata secara
paksaan atau dengan ketentuan yang wajib dipenuhi.
4.3 Kebijakan Parpol dan ABRI Sebagai Lembaga
Dasar Pemerintahan di Indonesia Tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Wanita dan Perlindungan Hak Wanita
Ada
perbedaan antara kebijakan berbagai Parpol tentang soal soal di bidang
penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan haknya. Semua Parpol berpendapat bahwa Konvensi HAM
perlu disahkan maupun dilaksanakan.
Bagaimanapun, ada perbedaan hemat Parpol terhadap keperluan mengubah UUD
1945 dan UU No.39/1999. Selain itu, ada
perbedaan pemahaman Parpol tentang kebutuhan melindungi hak wanita secara
terpisah dari hak asasi manusia.
Akhirnya, ada perbedaan kebijakan Parpol tentang ruang lingkup wewenang
menguji Mahkamah Agung dan / atau Pengadilan HAM.
Partai
PDI-P mempunyai kebijakan yang menyambut soal soal tersebut. Drs. Ellya Totok Sujiyanto ialah Anggota
Fraksi PDI-P dan Wakil Ketua Panitia Urusan Ruman Tangga (PURT) DPRD Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Menurut Pak Sujiyanto, PDI-P sangat baik sama Konvensi tentang HAM.
PDI-P
mau semua Konvensi tentang HAM disahkan dan dilaksanakan secara lengkap. Namun demikian, PDI-P tidak mau mengubah UUD
1945. Melainkan, Pembukaan UUD 1945 dan
ketentuannya hanya perlu dilaksanakan.
Dalam rangka perundang-undangan tersebut, diskriminasi terhadap wanita
perlu dihapuskan dan haknya perlu dilindungi secara lengkap.
PDI-P
memang ingin memberikan hak menguji yang lengkap kepada Mahkamah Agung serta
Pengadilan HAM. Hak menguji tersebut
perlu merupakan wewenang memeriksa peraturan perundangan pada semua tingkat dan
hak mencabut peraturan perundangan yang bertentangan dengan HAM. PDI-P tidak mempunyai keberatan bahwa
kekuasaan kehakiman sampai tingkat tersebut tidak sesuai dengan demokrasi. Melainkan, PDI-P merasa demokrasi berarti
bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak boleh dilaksanakan secara tidak
sesuai dengan HAM dan Mahkamah Agung dianggap perlu menjaga ciri demokrasi
tersebut.[157]
Partai
Golkar juga mempunyai kebijakan yang menyambut soal soal tersebut. Drs. John S. Keban ialah Ketua Komisi
Pemilihan Umum (Pemilu) Partai Golkar, DIY.
Menurut Pak John, Golkar merasa semua Konvensi tentang HAM perlu
disahkan dan dilaksanakan. Kalau
terdapat Konvensi yang tidak sesuai dengan kesadaran masyarakat Indonesia,
kesadaran tersebut perlu diubah. Pak
John menganggap itu aspek kemanusiaan abad ke-21.
Selain
itu, Partai Golkar menyadari UUD 1945 sedang direvisi dan dianggap perlu
diubah. Pusat perhatian revisi tersebut
adalah ketentuan UUD 1945 tentang HAM.
Golkar menyambut revisi tersebut.
Namun demikian, Golkar merasa perubahan UUD 1945 perlu ditambah dengan
pelaksanaannya. Dengan perkataan lain,
mungkin realisasi UUD 1945 perlu menjadi pusat perhatian orang
bersangkutan.
Dalam
rangka perundang-undangan tersebut, Partai Golkar menganggap hak wanita perlu
dilindungi. Pak John mengatakan bahwa
perlindungan tersebut melanggar budaya tradisional. Budaya tradisional perlu disesuaikan dengan
persamaan antara pria dan wanita. Namun,
perubahaan budaya tradisional berupa proses yang panjang.
Sebagaimana
kebijakan PDI-P tersebut, Partai Golkar mau memberikan hak menguji yang luas
kepada Mahakamah Agung dan Pengadilan HAM.
Pak John merasa badan peradilan tersebut harus berhati-hati dengan
wewenangnya dan tidak boleh bertentangan kekuasaan legislatif atau eksekutif.[158]
Kebijakan
PPP tidak lain dari Kebijakan PDI-P dan Golkar tersebut. Ketua Fraksi Persatiuan DPRD Propinsi DIY
ialah H. Abdurrachman, SH. Pak
Abdurrachan juga Ketua H. Abdurrachman, SH dan Rekan, Advokat / Penasehat
Hukum Sebagai wakil PPP, Pak
Abdurrachman berpendapat bahwa semua Konvensi yang berhubungan dengan HAM
seharusnya disahkan menjadi suatu Undang Undang.
Bagaimanapun,
UUD 1945 tidak perlu diubah. Melainkan,
UUD 1945 dan UU No.39/1999 `sudah memadai terutama UUD 1945 sehingga perubahan
tentang perlindungan HAM pada UU No.39/1999’.[159] Dalam rangka perundang-undangan tersebut, hak
wanita `masih jauh dari yang diinginkan oleh hukum sehingga perlindungan hak
hak wanita tersebut menjadi prioritas untuk dibuat dan diperbaiki’.[160]
PPP
mau memberikan hak menguji kepada Mahkamah Agung dan / atau Pengadilan HAM yang
berupa wewenang menguji segala peraturan perundangan terhadap dan hak
memberikan rekomendasi hasil pengujiannya, `sehingga dapat dicabut serta
diperbaiki dengan aturan yang lebih baik’.[161]
Kebijakan
PKB memuat perbedaan dari kebijakan Parpol lain. Para Anggota Fraksi PKB DPRD Propinsi DIY
menyambut baik atas terbitnya Konvensi HAM.
PKB menganggap Konvensi HAM perlu dikonseptualisasikan dan
diaktualisasikan sebaiknya.
Terhadap
UUD 1945, PKB secara jujur mengakui UUD 1945 belum sepenuhnya tentang HAM dan
ketentuannya `perlu secara spesifik digambarkan lebih lanjut’.[162] Perubahan tersebut perlu termasuk,
`konkritisasi atas pemberlakuan hukuman bagi pelanggaran yang terjadi dengan
masa hukuman yang sepadan dengan perbutannya dan dikenakan bagi siapapun
pelanggarnya’.[163] Bagaimanapun, dalam rangka perubahan
tersebut, PKB menegaskan perlu diingat bahwa UUD 1945 telah mengakui HAM
terutama hak setiap bangsa untuk terlepas dari penjajahan dan mencapai
kemerdekaan.
Selanjutnya,
PKB menegaskan bahwa UUD 1945 pada hakekatnya tidak perlu diubah. Melainkan, UUD 1945 merupakan, `aturan aturan
prinsipil moralitas secara global dan makro sehingga dikatakan sebagai landasan
dari segala peraturan hukum’.[164] Aturan tersebut sudah memuat prinsi prinsip
keadilan dan memang perlu tidak bertele-tele.
Akhirnya,
PKB mengakui kebutuhan bahwa UUD 1945 disesuaikan dengan aspirasi
masyarakat. PKB ingin mengatasi
kemungkinan bahwa ketentuan UUD 1945 akan tercipta perbedaan pandangan dan
jarak yang sangat jauh antara pemerintah dan rakyat.
PKB
menyambut ketentuan UU No.39/1999. Namun
demikian, PKB mempunyai keberatan UU No.39/1999 hanya didasarkan kalangan
pemerintah dan dilakukan tanpa dialog dan diskusi interaktif dengan
masyarakat. Jadi, dalam UU No.39/1999
terdapat `beberapa pasal [yang] perlu ada perbaikan dan lebih menampung
aspirasi dan relevan terhadap perkembangan kebutuhan terkini yang pada tingkat
implementasinya tidak berkesan hanya akan menjadi pemuas tangan besi
pemerintah’.[165]
Dalam
rangka perundang-undangan tersebut, PKB merasa `perlindungan hak terhadap
perempuan pada prinsipnya sama dengan perlindungan terhadap setiap manusia jadi
tidak perlu ada perbeaan antara laki dan perempuan’.[166] Bahkan, PKB `sangat tidak sepaham apabila ada
pembedaan tersebut apalagi dalam pemberlakuan hukum positif yang merupakan hak
bagi stiap manusia’.[167] Namun demikian, PKB ada pemahaman bahwa
pemberlakuan hukum antara laki dan perempuan berbeda apalagi pada tingkat
pembelaan dari diskriminasi dan penyelesaiannya.[168]
PKB
berpendapat bahwa hak menguji tidak perlu diberikan kepada Mahkamah Agung atau
Pengadilan HAM. Kalau peraturan
perundangan didasarkan kesepahaman bersama antara penguasa dan rakyat memang tidak
perlu diuji. Kesepahaman tersebut
dijamin jika setiap rencana pembuatan aturan, `seharusnya pada tataran
konseptual sudah mengalami tahap penyarinan terhadap kebutuhan, kemauan atau
aspiratif dari keinganan masyarakat (rakyat) dan sesuai dengan tuntutan zaman
serta asas kepatutan dan keadilan’.[169]
Kebijakan
ABRI hampir sama kebijakan PKB tersebut.
Drs. H. M. Fakkih ialah Wakil Ketua Fraksi TNI / POLRI di DPRD Propinsi
DI. Sebagai Wakil ABRI, Drs. Fakkih
mengatakan ABRI mau Konvensi HAM yang telah disahkan Indonesia `dilaksanakan sebagai bagian hukum
positif’.[170] ABRI juga mau Konvensi lain diupayakan
disahkan juga di Indonesia `sepanjang bersifat universal’.[171]
Menurut
hemat ABRI, UUD 1945 beserta UU No.39/1999 sudah cukup memuat aturan tentang
HAM. Jadi, UUD 1945 tidak perlu dirubah
dalam rangka meningkatkan perlindungan HAM.
Melainkan, `yang diperlukan adalah aturan pelaksanaan dan UU yang lebih
merinci tentang perlindungan HAM’.[172]
Drs.
Fakkih berpendapat bahwa hak wanita sudah cukup baik, khususnya di TNI dan
merasa hak wanita juga sama dengan hak pria.
Namun demikian `khusus untuk melindungi wanita perlu
penyempurnaan-penyempurnaan seperlunya, sesuai kebutuhan masa kini’.[173] Selain itu, ABRI hanya mau hak menguji bagi
Mahkamah Agung dan Pengadilan HAM selama disesuaikan dengan ketentuan hukum
yang telah berlaku.[174]
BAB IV – HUKUM ISLAM
Hukum
Islam dianggap hukum Allah. Yaitu, hukum
Islam berupa aturan Allah yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan
(ibadah) maupun hubungan manusia dengan
masyarakat, hubungan antara manusia dan kegiatan manusia sehari-hari (muammalah).[175]
Hukum
Islam bersifat universal.[176] Ketentuannya menyangkut segala bidang
hukum. Munakahat mengatur perkawinan dan perceraian. Wirasah
mengatur kewarisan. Muamalat menetapkan tata cara
perdagangan. Jinayat menyangkut hukum pidana. Al ahkam as sulthaniyah menyangkut
ketatanegaraan dan administrasi negara. Siyar menetapkan perdamaian dan peperangan
di bidang hukum internasional. Akhirnya,
Mukhasamat mengatur kekuasaan
kehakiman maupun hal peradilan.[177]
Di
Indonesia, hukum Islam dianut dalam lingkungan peradilan Agama. Seorang wanita yang memilihi beperkara di
Pengadilan Agama perlu memahami sejarah perkembangannya maupun sumber hukumnya.[178] Dalam rangka tersebut, seorang wanita hanya
boleh beperkara di bidang perkawinan dan kewarisan. Di bidang tersebut, seorang wanita tidak
menemui ketentuan hukum yang berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Melainkan, dia menemui ketentuan hukum yang
belum sesuai dengan CEDAW.
Bagaimanapun,
dalam masyarakat Indonesia terdapat perbedaan pendapat mengenai hubungan antara
hukum Islam dan CEDAW. Ada orang yang
berpendapat hukum Islam perlu disesuaikan dengan CEDAW. Ada orang lain yang berpendapat hukum Islam
tidak perlu diubah secara tersebut.
1.
Sumber Sumber Hukum Islam
Sumber
sumber hukum Islam dapat dibagi sebagai sumber diturunkan Allah atau Rasul-Nya
yang bersifat statis (syari'at)
maupun sumber berdasarkan akal manusia yang bersifat dinamis (Fiq'h).
Sumber hukum Islam yang disebut sebagai sumber utama dan pertama adalah al-Quran.[179] Kitab al-Quran
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammed s.a.w. melalui malaikat Jibral.[180] al-Quran
dihimpun oleh sahabat Nabi dan terdiri atas 30 (tiga puluh) juz (bagian). Setiap juz
terdiri atas 114 (seratus empat belas) surah
(bab). Jumlah ayat dalam surah tersebut dari surah pertama al-Fatihah
sampai dengan annas sebanyak 6666
ayat.[181]
al-Quran
bersifat statis.[182] al-Quran
adalah kitab suci umat Islam.
Ayat-ayatnya berupa kebenaran, dianggap wajib dilakukan dan memang tidak
boleh diubah.[183] Di bidang hukum, ayat ayat al-Quran memuat aturan ibadah,
pemerintah, peradilan, dagang dan keluarga.
Aturan tersebut ditetapkan secara garis garis besar saja. Jadi, aturan tersebut perlu diuraikan dan
dikembangkan melalui akal manusia. Maka,
meskipun al-Quran bersifat statis,
aturannya menjadi dinamis melalui proses akal manusia yang akan disebut.[184]
Sumber
yang paling tinggi setelah al-Quran
adalah Sunnah atau hadits Nabi
Muhammed s.a.w.[185] Di bidang hukum, Sunnah berupa aturan didasarkan hidup Nabi Muhammad s.a.w. yang
menjadi contoh untuk kehidupan manusia sehari-hari.[186] Ada aturan Sunnah yang berlandaskan ayat ayat al-Quran secara langsung.
Sebaliknya, ada aturan Sunnah yang
tidak disebut dalam al-Quran dan
berdiri sendiri. Bagaimanapun juga,
ketentuan Sunnah tidak boleh bertentangan dengan al-Quran.[187]
Sunnah bersifat
statis atau dinamis menurut tingkatnya. Sunnah Mutawatir bersifat statis. Sunnah Mutawatir diriwayatkan dari Nabi
Muhammed s.a.w. pada banyak jamaah dan tidak mungkin berdusta. Maka, Sunnah Mutawatir bersifat yakin
mengenai kebenarannya dan menjadi sunnah tertinggi yang wajib diamalkan.[188]
Secara
umum, Sunnah Masyur bersifat statis
juga. Sunnah Masyur diriwayatkan dari
Nabi Muhammad s.a.w. oleh banyak orang yang belum mencapai banyak sekali
sebagaimana Sunnah Mutawatir. Oleh karenanya, Sunnah Masyur hanya menimbulkan dugaan kuat terhadap kebenaran
isinya. Dengan dugaan tersebut, Sunnah Masyur masih wajib
diterapkan. Namun, ada golongan umat
Islam yang tidak memberikan kedudukan itu kepada Sunnah Masyur dan menolak amalannya.[189]
Sunnah Ahad
bersifat dinamis. Sunnah Ahad hanya diriwayatkan oleh orang perseorangan Sunnah Ahad hanya menimbulkan dugaan
yang biasa terhadap kebenarannya. Secara
umum, Sunnah Ahad tidak boleh
diterapkan terhadap masalah yang perlu didasarkan kepastian atau
keyakinan. Melainkan, Sunnah Ahad hanya boleh dipakai di
bidang fiqh. Sunnah Ahad tidak wajib dilakukan.[190]
Sumber
hukum Islam tertinggi yang berupa akal manusia adalah idjma.[191] Idjma wajib
berlandaskan ayat ayat al-Quran maupun
Sunnah Mutawatir atau Sunnah Masyur. Idjma tidak
boleh bertentangan dengan al-Quran dan
tidak boleh berdiri sendiri.[192] Idjma diundangkan
melalui ketetapan para ulama Islam besar.
Ulama tersebut wajib tersusun sekurang-kurangnya tiga orang dan tidak
boleh tercantum orang awam. Ketetapannya
wajib didasarkan kebulatan pendapatnya.
Dengan perkataan lain, Idjma tidak
boleh dikeluarkan melalui suara terbanyak ulama tersebut. Idjma bersifat
dinamis. Idjma yang telah dikeluarkan wajib dilaksanakan. Namun demikian, sesuatu aturan Idjma dapat diubah melalui ketetapan
ulama Islam baru.[193]
Sumber
hukum Islam di bawah idjma adalah qiyas.
Qiyas adalah suatu garis hukum
baru yang didasarkan suatu garis hukum lama.[194] Jadi, qiyas
dipakai dalam keadaan bahwa tidak ada ketentuan hukum Islam tertentu untuk
suatu perkara antara umat Islam.[195]
Sumber
hukum Islam yang didasarkan qiyas adalah
istihsan.
Istihsan mengecualikan suatu perkara dari ketentuan hukum Islam yang
biasanya dianut. Istihsan kemudian mengajukan ketentuan lain yang berupa ketentuan Qiyas atau ketentuan apapun yang sesuai
dengan syariah atau fiqh.
Istihsan hanya dipakai untuk alasan yang kuat seperti
ketidakadilan, kepentingan masyarakat atau keadaan darurat.[196] Dinamisme qiyas
dan istihsan sangat jelas.
Sumber
hukum Islam yang paling lepas adalah Maslahah
Mursalah. Maslahah Mursalah berupa keputusan yang berdasarkan pertimbangan
kepentingan masyarakat. Maslahah Mursalah
dipakai dalam keadaan bahwa tidak ada ketentuan hukum Islam apapun untuk
perkara bersangkutan. Keputusan melalui Maslahah Mursalah tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam yang telah ada.[197]
Semua
sumber hukum Islam tersebut ditambah dengan hukum Adat melalui 'Urf.
'Urf menyatakan bahwa
kebiasaan atau adat masyarakat dapat dianut sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum Islam yang telah ada.
Kebiasaan tersebut harus dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan
secara terus-menerus (yaitu tanpa pengecualian) atau berlaku secara umum atau
secara terbanyak. 'Urf bersifat dinamis karena
diubah secara sesuai dengan perkembangan kebiasaan masyarakat.[198]
2.
Sejarah Perkembangan Pengadilan Agama di Indonesia Pada Masa Awal Sampai
1945
Pada
masa awal sejarah Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan penting dalam
sistem hukum Indonesia. Hukum Islam
berlaku untuk pertama kali di Indonesia dengan kedatangan umat Islam. Masa kedatangan tersebut tidak jelas. Ada kemungkinan orang Islam tinggal di
Indonesia sejak abad ketujuh atau kedelapan Musehi. Ada kemungkinan lain masa kedatangan tersebut
adalah abad ketigabelas Musehi.
Bagaimanapun
juga, orang Islam berdiam di pesisir Sumatra Utara. Masyarakat Islam kemudian dibentukkan di Aceh
Timur. Kerajaan Islam dibentukkan untuk
pertama kali di Aceh Utara dan diikuti dengan banyak kerajaan lain. Hukum Islam kemudian berlaku bersama dengan
Hukum Adat dan mencapai kedudukan penting tersebut.[199]
Waktu
orang Belanda datang, kedudukan hukum Islam dikurangi sampai hanya berupa
sistem hukum yang dianut di bidang perkawinan dan kewarisan melalui Pengadilan
Agama dalam perkara antara orang Islam .
Verenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan
Dagang Hindia Belanda) (VOC) menerapkan hukum Belanda, membatasi bidang hukum
Islam dan mencari kepastiannya. Pada
tahun 1596, VOC mulai berdagang di Indonesia.[200] Pada tahun 1602, kedudukan VOC
dikukuhkan. Pemerintah Belanda
memberikan kekuasaan kepada VOC di bidang dagang dan pemerintahan di kepulauan
Indonesia. Kekuasaan tersebut merupakan
tiga hak, yakni hak mencetak dan mengedarkan mata uang, hak membentuk angkatan
perang maupun hak membuat perjanjian internasional dengan negara lain.[201]
Pada
masa awal penjajahan VOC, hukum Belanda dianut.
Namun, hukum Belanda tidak diterima orang asli Indonesia. Maka, VOC memutuskan hukum asli Indonesia
boleh diterapkan di bidang tertentu.
Jadi, Statuta Batavia (Undang
Undang Jakarta) tahun 1642 menetapkan
hukum kewarisan Islam dianut antara umat Islam.[202]
Selain
itu, pada tanggal 24 Mei tahun 1670, VOC menerima Compendium Freijer. Compendium tersebut adalah kompilasi
hukum Islam di bidang kekeluargaan yang dikumpulkan oleh ahli hukum D W
Freijer. Sebagaimana demikian, VOC
kemudian menerima kitab kitab lain yang berupa kompilasi hukum Islam. Kompilasi hukum Islam tersebut digunakan oleh
pengadilan VOC dalam perkara umat Islam.[203]
Dengan
penggantian VOC dengan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800, usaha
kepastian hukum Islam berjalan melalui penujukan penasehat hukum Islam. Pada
tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendals mengeluarkan peraturan
terhadap hukum Islam di daerah daerah Jawa tertentu. Peraturan tersebut menetapkan kepala mesjid (penghulu) wajib bertindak sebagai
penasehat pengadilan negeri dalam perkara antara orang Islam.
Kedudukan
penghulu dikukuhkan waktu Pemerintah
Hindia Belanda diganti dengan Pemerintah Inggris pada tahun 1811. Letnan Gubernur Indonesia Sir Thomas Stamford
Raffles menetapkan peraturan Daendals dianut di seluruh Indonesia. Selanjutnya, penghulu yang telah penasehat diangkat anggota Pengadilan Negeri.[204]
Pemerintah
Hindia Belanda kembali lagi pada tahun 1814 dan penetapan baru tentang penghulu diundangkan.[205] Pasal 13 Regenten
Instructie (Aturan Untuk Para Bupati) tahun 1820 menetapkan penghulu wajib memecahkan perkara
perkawinan dan kewarisan antara umat Islam dan wajib dibayar bupati
bersangkutan.
Regenten Instructie tersebut
diganti Staatsblad 1835/No.56 yang
membatasi wewenang penghulu. Meskipun penghulu masih berhak memecahkan secara tersebut, sengketa tentang
hal uang atau pembayaran wajib diajukan kepada Pengadilan Negeri. Staatsblad
tersebut disahkan dengan berbagai dekrit Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1845 dan 1851.[206]
Pemerintah
Hindia Belanda mengurangi kedudukan hukum Islam melalui para hakim
Belanda. Pasal 75 Ayat (1) Regeering Reglemen 1855[207]
(Undang Undang Dasar Hindia Belanda) menetapkan hukum Islam dianut antara umat
Islam cuma sepanjang hukum Islam tersebut tidak bertentangan dengan asas asas
kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
`Diakui umum' berarti diakui oleh hakim hakim Belanda pada masa
itu. Pasal 75 Ayat (2) menetapkan orang
Islam wajib melaksanakan putusan hakim agama atau kepala masyarakat terhadap
perkara bersangkutan.[208]
Pemerintah
Hindia Belanda membatasi wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Maudura. Pada tahun 1830, ditetapkan putusan Priesteraad (Pengadilan Agama pada
tingkat pertama) di Jawa dan Madura wajib disahkan dan dilaksanakan oleh Landraad (Pengadilan Negeri).[209]
Pengadilan
Agama Jawa dan Madura diatur lebih lanjut dengan Staatsblad 1882/No.152.
Anehnya, Staatsblad tersebut
tidak memuat ketentuan terhadap wewenang Pengadilan Agama mungkin karena secara
praktek wewenang tersebut sudah cukup jelas, yaitu hal kekeluargaan.[210] Selain itu, Staatsblad tersebut memakai istilah agama yang salah dan
menimbulkan keberatan dan ketidakpahaman orang Islam bersangkutan.[211]
Kedudukan
hukum Islam kemudian dirugikan melalui hukum Adat. Pasal 134 Ayat (2) Indische Staatsregeling 1929 (Undang Undang Dasar Hindia Belanda)
menetapkan bahwa hukum Islam akan dianut hanya sepanjang telah diakui dalam
hukum Adat dan tidak bertentangan dengan hukum Belanda. Pasal 134 Ayat (2) tersebut berdasarkan teori
receptio in complex yang menyatakan hukum
Islam tidak boleh berdiri sendiri kecuali sepanjang telah menjadi kebiasaan
hukum Adat.[212]
Dalam
rangka Indische Staatsregeling, Pemerintah
Hindia Belanda melakukan banyak perubahan terhadap Pengadilan Agama dengan
akibat wewenangnya dibatasi. Staatsblad 1931/No.53 memberikan
wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama.
Namun demikian, Staatsblad tersebut
tidak pernah dilaksanakan.[213]
Staatsblad 1931/No.53
diganti Staatsblad 1937/No.116
tentang Pengadilan Agama pada tingkat pertama.
Pasal 2 Ayat (1) Staatsblad 1937/No.116
mencabut wewenang Pengadilan Agama terhadap perkara kewarisan. Meskipun, secara praktek, Pengadilan Agama
masih berjalan dengan wewenang kewarisan tersebut. Staatsblad 1937/No.116 ditambah dengan Staatsblad 1937/No.610 tentang Hof
voor Islamietische Zaken (Pengadilan Agama pada tingkat banding).
Kedua
Staatsblad tahun 1937 tersebut
ditambah dengan Staatsblad 1937/No.638
yo. 639 tentang Kerapatan Qadi (Pengadilan
Agama pada tingkat pertama) dan Kerapatan
Qadi Besar (Pengadilan Agama pada
tingkat banding) di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan.[214] Staatsblad
1937/No.638 yo. 639 memberikan wewenang di bidang kewarisan kepada
Pengadilan Agama di Kalimantan.[215]
Pada
tahun 1942, kebijakan Pemerintah Hindia Beland berhenti dengan kedatangan
Pemerintah Angkatan Perang Jepang.
Pemerintah Jepang tersebut mencoba perubahan luas terhadap hukum
Indonesia tetapi, secara praktek, perubahannya tidak dilaksanakan.[216]
3.
Sejarah Perkembangan Pengadilan Agama di Indonesia Pada Masa Kemerdekaan
Dengan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan keberlakuan UUD 1945 pada tanggal
17 dan 18 August 1945, kedudukan hukum Islam secara umum tidak diubah dan masih
berfungsi sebagai sistem hukum khusus orang Islam di bidang tertentu. Kedudukan tersebut diwujudkan ketentuan bahwa
Republik Indonesia adalah negara berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila tersebut dinyatakan dengan Pembukaan dan
Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 secara sesuai dengan Piagam Jakarta 22 Juni
1945. Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 diikuti
dengan Ayat (2) yang berbunyi, `Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya itu'.
Dalam
rangka ketentuan UUD 1945 tersebut, Indonesia tidak menjadi negara sekular
seperti Negara Barat dan Negara Komunisme.
Indonesia pula tidak menjadi negara agama tertentu atau negara Islam
seperti Negara Timur Tengah. Melainkan,
sila Ketuhanan Yang Maha Esa menimbulkan negara agama terbuka atau negara
dengan kebebasan beragama. Dalam negara
itu, hukum Islam tidak boleh menjadi sistem hukum untuk segala lembaga
pemerintahan atau seluruh Indonesia.
Melainkan, hukum Islam hanya mempunyai kedudukan sebagaimana ditetapkan
pada masa Belanda.
Kedudukan
hukum Islam tersebut dikukuhkan melalui keberlakuan peraturan perundangan
Belanda. Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 menetapkan `Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini'.
Dengan
ketentuan tersebut, Staatsblad 1882/No.152
yo. Staatsblad 1937/No.116, 610, 638
dan 639 diterapkan.[217] Namun demikian, ada orang yang berpendapat
UUD 1945 mengandung ketentuan baru yang mencabut teori receptio in complex sampai Pasal 134 Ayat (2) Indische Staatsregeling 1929 tidak berlaku melalui Aturan Peralihan
UUD 1945 ini.[218]
Kebijakan
Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1945 dimaksud mencapai kepastian
hukum Islam. Namun demikian, Pemerintah
Republik Indonesia tidak memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan
Agama. Melainkan, Pemerintah Republik
Indonesia ingin mencabut dan membatasi wewenangnya.
Usaha
mencapai kepastian hukum Islam mulai dengan UU No.22/1946. UU tersebut mengatur pencatatan nikah, talak
dan rujuk untuk orang Islam dan mencabut peraturan perundangan Belanda yang
tidak jelas.[219] Selain itu, UU No.22/1946 mengandung jadwal
penyusunan kompilasi hukum Islam.
Kekuasaan
Pengadilan Agama ditolak pada masa awal kemerdekaan. Dengan PP No.5/SD/1946 pertanggung-jawaban
terhadap Pengadilan Agama diserahkan dari Menteri Kehakiman kepada Menteri
Agama.[220] Dengan UU No.19/1948 Tentang Susunan Dan
Kekuasaan Badan Badan Kehakiman Dan Kejaksaan, Pemerintah Republik Indonesia
mencabut wewenang Pengadilan Agama.
Pasal 6 UU No.19/1948 hanya mengakui kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara. Pengadilan dalam lingkungan
tersebut bersifat mandiri.[221]
Selanjutnya,
Pasal 35 Ayat (2) UU No.19/1948 menyatakan, `Perkara perkara perdata antara
orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut
hukum agamanya harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri
atas seorang Hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua orang Hakim ahli
agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama
dengan persetujuan Menteri Kehakiman'.[222]
Bagaimanapun,
UU No.19/1948 tidak pernah dilaksanakan karena Angkatan Militer Belanda kembali
ke Indonesia pada tahun 1948 dan Republik Indonesia Serikat kemudian
dibentukkan.[223]
Wewenang
Pengadilan Agama kemudian diakui secara terbatas. PP No.29/1957 menyangkut Pengadilan Agama di
Aceh. PP No.29/1957 diganti dengan PP
No.45/1957. Pasal 4 Ayat (1) PP
No.45/1957 menetapkan wewenang Pengadilan Agama di luar Jawa dan Maudura. Wewenangnya tercantum perkara kewarisan. Maka, wewenangnya lebih luas daripada
Pengadilan Agama di Jawa dan Maudura yang masih didasarkan Staatsblad 1937/No.116 yo. 610.[224]
Namun
demikian, Pasal 4 Ayat (2) PP No.45/1957 membatasi wewenang Pengadilan Agama di
luar Jawa dan Maudura dengan ketentuan bahwa, `Pengadilan Agama tidak berhak
memeriksa perkara perkara tersebut dalam ayat (1) jika untuk perkara itu
berlaku lain daripada hukum Islam'.[225] Selanjutnya, ketentuan Pemerintah Hindia Belanda
tahun 1830 tentang pengesahan dan pelaksanaan putusan Pengadilan Agama oleh
Pengadilan Negeri masih berlaku.[226]
Usaha
mencapai kepastian hukum Islam berjalan dengan Surat Edaran Biro Peradilan
Agama No.B.1.735/1958. Surat Edaran
tersebut bersumber pada PP No.45/1957.
Huruf b Surat Edaran tersebut mengandung daftar kitab kitab hukum
Islam. Daftar tersebut dimaksud
dipergunakan oleh Pengadilan Agama dan menimbulkan kesatuan hukum Islam.[227]
Sejak
tahun 1957, wewenang Pengadilan Agama diakui sebagai urusan kekuasaan kehakiman
secara terus-menerus. UU No.19/1964
Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman mengganti UU
No.19/1948. Pasal 7 UU No.19/1964
mengakui kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
militer, peradilan administrasi dan peradilaan Agama. Bagaimanapun, pengadilan dalam lingkungan
tersebut tidak bersifat mandiri.
Melainkan, Pasal 19 UU No.19/1964 memperbolehkan Presiden Republik
Indonesia turut campur tangan dalam soal soal Pengadilan.[228]
Oleh
sebabnya, UU No.19/1964 dicabut dan diganti dengan UU No.14/1970 Tentang
Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman.[229] Pasal 10 Ayat (1) UU No.14/1970 juga mengakui
lingkungan peradilan agama. Pengadilan
dalam lingkungan tersebut bersifat mandiri.[230] Namun demikian, Pasal 12 UU tersebut
berbunyi, `Susunan, kekuasaan serta acara dan badan badan Peradilan seperti
tersebut dalam Pasal 10 Ayat (1) diatur dalam Undang Undang tersendiri'. Pada tahun 1974, Undang Undang tentang
Peradilan Agama belum dikeluarkan.
Pemerintah
Republik Indonesia kemudian mengurangi kedudukan Hukum Islam dan Pengadilan
Agama dengan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan.
UU No.1/1974 berlaku bagi semua warga negara Indonesia. UU No.1/1974 beserta peraturan pelaksananya,
PP No.9/1975, mengakui hukum Islam di bidang perkawinan, menerima wewenang
Pengadilan Agama di bidang tersebut dan memuat ketentuan yang menjamin
keberlakuan hukum Islam.[231]
Namun
demikian, Penjelesan Umum UU No.1/1974 masih melakukan teori receptio in complex di bidang
perkawinan.[232] Teori tersebut dicabut untuk hukum Islam di
bidang kewarisan dengan Keputusan Mahkamah Agung Tanggal 13 Pebruari Tahun 1975
No.172/K/Sip./1974.[233] Selain itu, Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974
sebagaimana peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda tersebut
menyatakan, `Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan
Umum'.[234]
Sejak
1974, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan berbagai aturan terhadap
kepastian hukum Islam maupun hukum Acara yang berlaku untuk Pengadilan Agama. Peraturan Menteri Agama No.3/1975 mengatur
hukum Acara untuk peradilan Agama di bidang perkawinan dan kewarisan. Peraturan Mahkamah Agung No.14/1977
menetapkan tata cara permohonan kasasi atas keputusan Pengadilan Agama.[235] PP No.28/1977 mengatur kompilasi hukum Islam
di bidang perwakfan tanah milik.[236] Pada tahun 1982, Keputusan Bersama Mahkamah
Agung dan Departmen Agama menetapkan manajamen dan susunan Pengadilan Agama.[237] Bagaimanapun, masih belum ada Undang Undang
tentang Peradilan Agama yang disebut dalam UU No.14/1970.
4.
Peraturan Perundangan Tentang Hukum Islam Pada Masa Kini
Dengan
peraturan perundangan tentang hukum Islam pada masa kini, wewenang yang luas
diberikan kepada Pengadilan Agama dan kepastian hukum Islam dijamin.
4.1 UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama
UU
No.7/1989 Tentang Peradilan Agama mengatur lingkungan tersebut secara
lengkap. UU No.7/1989 menetapkan
kekuasaan kehakiman dalam lingkungannya berupa Pengadilan Agama pada tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding.[238] Pasal 4 UU No.7/1989 mengatur tempat
kedudukan Pengadilan tersebut.[239]
Bab
II UU No.7/1989 menyangkut Susunan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama. Pasal 9 sampai dengan Pasal 48
menetapkan syarat dan tata cara pengangkatan, pelaksanaan maupun pemberhentian
tugas para pejabat Pengadilan di lingkungan peradilan Agama, yaitu Hakim,
Panitera, Juru Sita, dan Sekretaris.
Kemandirian para hakim tersebut dilindungi.[240]
Bab
III UU No.7/1989 menetapkan ruang lingkup kekuasaan Pengadilan Agama. Pasal 49 Ayat (1) berbunyi wewenang Pengadilan
Agama adalah memecahkan perkara perkara antara orang Islam di bidang a.
perkawinan,[241]
b. kewarisan,[242]
wasiat dan hibah maupun c. wakaf dan shadaqh yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam.[243] Sebagaimana demikian, UU No.7/1989 mencabut
semua peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda beserta PP
No.45/1957. UU No.7/1989 pula mencabut
Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974.[244] Dengan ketentuan ketentuan tersebut, wewenang
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi luas dan sama.
Bab
IV UU No.7/1989 menentukan Hukum Acara Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama. Pasal 54 menyatakan Hukum Acara
yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang telah
berlaku pada Pengadilan Umum kecuali ditetapkan lain dengan UU No.7/1989.[245]
Pasal
58 Ayat (1) mensyaratkan Pengadilan tersebut mengadili menurut hukum dengan
tidak membedakan-bedakan orang. Pasal 61
yo. Pasal 63 menetapkan hak meminta banding dan kasasi kepada putusan
Pengadilan Agama. Pasal 62 menetapkan
putusan Pengadilan Agama dan Pengadilam Tinggi Agama `harus memuat alasan
alasan [dan] dasar-dasarnya dan juga harus memuat pasal pasal tertentu dari
peraturan peraturan yang bersangkutan atau sumber tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili'.[246]
4.2 Kompilasi Hukum Islam
Dalam
rangka putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) menjamin kepastian hukum Islam di Indonesia. KHI berupa ucapan tertulis ketentuan hukum
Islam melalui 229 pasal pasal terhadap bidang perkawinan, kewarisan dan
perwakafan.
KHI
berlandaskan Instruksi Presiden (InPres) No.1/1991. InPres No.1/1991 menguasakan KHI. Konsiderans
menimbang a InPres tersebut menyatakan bahwa, `Ulama Indonesia dalam Loka Karya
yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988 telah
menerima baik tiga rancangan buku
Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Pekawinan, Buku II tentang
Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan' (kursif penulis). Loka Karya Ulama Indonesia tersebut berupa
hasil kerjasama Mahkamah Agung dan Kementerian Agama.[247]
Selanjutnya,
Diktum pertama InPres No.1/1991 memerintah Menteri Agama `menyerbarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang
terdiri dari: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, b. Buku II tentang Hukum Kewarisan; c. Buku III
tentang Perwakafan'. Maka, dengan Diktum
pertama InPres tersebut rancangan buku
KHI dikeluarkan sebagai dan menjadi buku
KHI.
InPres
No.1/1991 pula menggariskan kedudukan KHI sebagai pedoman hukum Islam untuk
lembaga pemerintahan dan masyarakat bersangkutan. Konsiderans menimbang b InPres No.1/1991
menegaskan KHI `dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah
masalah' di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Selanjuynta, Diktum pertama InPres No.1/1991
menjelaskan KHI dimaksud, `untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh
masyarakat yang memerlukannya'.
InPres
No.1/1991 dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama No.154/1991. Keputusan Menteri tersebut menetapkan
kedudukan KHI secara lebih lanjut sebagai pedoman hukum Islam yang perlu
diterapkan sedapat oleh instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk Pengadilan
di lingkungan Peradilan Agama.
Diktum
Pertama Keputusan Menteri tersebut menetapkan, `Seluruh instansi Departemen
Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyerbarluaskan
Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan'. KHI dimaksud `untuk
digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam
menyeleasikan masalah masalah di bidang tersebut'.
Diktum
Kedua Keputusan Menteri Agama No.154/1991 menetapkan, `Seluruh lingkungan
Instansi tersebut dalam diktum pertama dalam menyelesaikan masalah masalah di
bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan
Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan
lain'.
Keputusan
Menteri Agama No.154/1991 disampaikan kepada para pejabat pemerintahan
bersangkutan termasuk Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di
seluruh Indonesia melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Islam
No.3694/EV/HK.003/AZ/91.[248]
Kedudukan
KHI tersebut perlu dibedakan dari kedudukan peraturan perundangan. KHI tidak berupa peraturan perundangan yang
wajib dianut. Yaitu, KHI bukan
kodifikasi hukum Islam dikeluarkan melalui Undang Undang yang memuat setiap hak
atau kewajiban dalam suatu bidang hukum Islam.
Kodifikasi hukum Islam sejenis tersebut telah dilakukan di Sudan dan
Singapura.[249]
Melainkan,
KHI berupa kompilasi hukum Islam yang cuma dikuasakan atau diakui oleh
peraturan perundangan dan pada hakekatnya tidak wajib diterapkan.[250] Sebagaimana dijelaskan, pelaksanaan KHI dalam
Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama mewujudkan kesatuan dan kepastian
hukum Islam di seluruh Indonesia.[251]
5.
Ketentuan Hukum Islam di Bidang Perkawinan
Seorang
wanita yang berperkara dalam Pengadilan Agama sebagaimana diatur UU No.7/1989
menemui ketentuan hukum Islam terhadap perkawinan (Nikah dan Munakahat) yang
belum sesuai dengan CEDAW. Pengertian
perkawinan secara umum diajukan dengan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan. Pasal 1 UU No.1/1974 berbunyi, `Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita'. Pasal 1 sesuai dengan hukum Islam.[252]
Di
bidang tersebut, hukum Islam bersifat luas.
Ketentuannya menggariskan perkawinan dari peminangannya sampai
putusnya. Ketentuannya menyangkut setiap
soal dalam perkawinan seperti hak membuat ikatan perkawinan, tata cara
kelangsungan perkawinan; hak, kewajiban dan harta kekayaan suami isteri;
pemiliharaan anak (hadhonah),
perwalian maupun perceraian.
5.1 Hak Membuat Ikatan Perkawinan
Hukum
Islam memberikan hak membuat ikatan perkawinan secara belum sesuai dengan CEDAW.
Hak membuat ikatan perkawinan bersifat bebas selama syarat persetujuan,
batas usia calon mempelai dan larangan perkawinan dipenuhi. Untuk seorang pria, hak tersebut ditambah
dengan poligami. Untuk seorang wanita,
hak tersebut tidak dikurangi keadaan hamil.
Syarat
persetujuan tersebut ditetapkan UU No.1/1974 selaras dengan CEDAW. UU No.1/1974 menetapkan bahwa ikatan
perkawinan wajib didasarkan persetujuan calon mempelai pria dan calon mempelai
wanita.[253] Maka, seorang wanita berhak memasuki
perkawinan hanya dengan persetujuannya sebagaimana disyaratkan Pasal 16 Ayat
(1) huruf b CEDAW.
Batas
usia calon mempelai sebagaimana ditetapkan UU No.1/1974 melanggar CEDAW. Salah satu calon mempelai yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya atau
orang lain bersangkutan. Kalau orang tua
atau orang lain tidak sependapat, izin tersebut dapat diberikan Pengadilan
Agama.[254] Para orang tersebut atau Pengadilan Agama
hanya boleh memberikan izinnya kalau pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.[255]
Bagaimanapun,
kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita dapat mengajukan permohonan
dispensasi dari ketentuan tersebut kepada Pengadilan Agama.[256] Usia calon mempelai untuk pemberian
dispensasi tersebut tidak ditetapkan.
Melainkan, hanya baliq
disyaratkan, yaitu calon mempelai bersangkutan perlu dianggap cukup dewasa
untuk membangun rumah tangga.[257]
Perbedaan
batas usia calon mempelai pria dan wanita tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1)
huruf a CEDAW. Selain itu, dispensasi
dari batas usia tersebut bertentangan dengan CEDAW. Ada kemungkinan kuat calon mempelai
bersangkutan dipengaruhi orang tuanya sampai perkawinannya berupa pertunangan
seorang anak sebagaimana dilarang Pasal 16 Ayat (2) CEDAW.
Syarat
persetujuan dan batas usia calon mempelai ditambah dengan berbagai larangan
perkawinan yang berdasarkan berbagai hubungan antara calon mempelai, seperti
hubungan darah atau susuan. Pada
kelihatannya larangan tersebut tidak bertentangan dengan CEDAW.[258]
Poligami
diperbolehkan hukum Islam secara tidak sesuai dengan CEDAW. Hukum Islam menetapkan bahwa seorang pria
boleh beristeri lebih dari satu orang.
Poligami dibatasi sampai 4 (empat) orang isteri. Selain itu, poligami hanya diperbolehkan jika
seorang pria tersebut mampu berlaku adil pada para isteri isteri dan
anak-anaknya.[259] Menurut ajaran Islam, poligami dimaksud
melindungi wanita yang ditinggalkan bekas suaminya maupun anak yatim. Poligami pula dimaksud untuk menjauhi
kemungkinan seorang pria buat zina.[260]
Ketentuan
hukum Islam terhadap poligami diubah dengan UU No.1/1974 sebagaimana diakui
KHI. Pasal 3 Ayat (1) UU No.1/1974
menegaskan: `Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami'.
Bagaimanapun, seorang pria boleh melakukan poligami jika dia mengajukan
permohonan pada Pengadilan Agama dan mendapat izinnya.[261] Permohonan tersebut wajib mengandung
persetujuan isterinya atau isteri-isterinya yang telah ada, kepastian bahwa
pemohon bisa menjamin keperluan hidup isteri-isterinya dan anak anak mereka
maupun jaminan suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isterinya dan anak anak mereka.[262]
Pengadilan
Agama bersangkutan hanya akan memberikan ijinnya dalam keadaan bahwa isteri
yang telah ada: (i) tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, atau
(ii) mempunyai cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
(iii) tidak dapat melahirkan keturunan.[263] Untuk memberikan ijinnya, Pengadilan Agama
bersangkutan wajib memanggil dan mendengar isteri tersebut.[264] Poligami yang dilakukan di luar prosedur
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.[265]
Jadi,
seorang pria hanya dapat melakukan poligami selama kepentingan isterinya yang
telah ada maupun yang mendatang dilindungi.
Tetapi seorang wanita dilarang bersuami lebih dari satu orang.[266] Perbedaan itu melanggar persamaan hak
memasuki perkawinan yang disyaratakan Pasal 16 Ayat (1) huruf a CEDAW.
Hak
melakukan ikatan perkawinan tidak dikurangi keadaan hamil secara sesuai dengan
CEDAW. Hukum Islam menetapkan bahwa
seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilnya. Pernikahan itu boleh
dilangsungkan sebelum kelahiran ankanya dan tidak perlu berulang setelah
kelahiran tersebut.[267] Jadi, tidak ada diskriminasi terhadap wanita
berdasarkan kehamilannya sebagaimana disyaratkan Pasal 16 Ayat (1) huruf a
CEDAW.
5.2 Tata Cara Kelangsungan Perkawinan
Hukum
Islam mengatur kelangsungan perkawinan melalui perbedaan antara pria dan wanita
yang pada hakikatnya melanggar CEDAW.
Kelangsungan perkawinan merupakan peminangan (Khitbah), mahar (Maskawin),
akad nikah, perjanjian perkawinan dan pencatatannya.[268]
Tata
cara peminangan dapat dianggap bertentangan dengan CEDAW. Peminangan sebagaimana ditetapkan KHI adalah
`Kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita'.[269] Secara tersurat, pengertian KHI tersebut
berarti peminangan boleh dilakukan oleh kedua jenis kelamin.
Namun
demikian, secara tersirat dan secara praktek peminangan hanya dilakukan seorang
pria terhadap seorang wanita.[270] Wanita yang boleh dipinangkan tercantum
wanita yang masih perawan atau seorang janda yang telah habis masa iddahnya.[271] Tetapi peminangan tidak boleh dilakukan terhadap
seorang wanita yang masih dalam masa iddahnya atau yang sedang dipinang pria
lain.[272]
Kebebasan
kedua pihak untuk memutuskan hubungan peminangan dilindungi.[273] Kebebasan tersebut wajib dilakukan dengan
`tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat'.[274] Bagaimanapun, dalam rangka peminangan yang
dilakukan pihak pria, KHI menetapkan bahwa seorang pria itu dapat memutuskan
untuk putus hubungan pinangan dengan pernyataan atau secara diam melalui
menjauhi dan meninggalkan wanitanya.
Jadi, meskipun kepentingan wanita dilindungi, peminangan berupa kegiatan
dan keputusan pria bersangkutan.
Pada
kelihatannya, hukum Islam terhadap peminangan tidak melanggar ketentuan CEDAW
di bidang perkawinan. Ruang linkup Pasal
16 CEDAW adalah pelaksanaan sampai putusnya perkawinan. Peminangan terjadi sebelum pelaksanaan
perkawinan. Tetapi pada hakikatnya,
peminangan bertentangan dengan Pasal 5 butir a CEDAW. Pasal 5 butir a CEDAW menetapkan kebiasaan
yang memberikan kedudukan kepada wanita yang lebih rendah dari kedudukan pria
perlu dihapuskan. Peminangan dalam hukum
Islam berupa kebiasaan yang mengurangi kedudukan wanita sepanjang haknya untuk
meminang sendiri tidak diperbolehkan.
Tentu
saja pelanggaran CEDAW tersebut hanya bersifat prosedural dan tidak bersifat
berat. Namun di muka hukum internasional
CEDAW wajib dilaksanakan sepenuhnya.
Jadi, pelanggaran CEDAW wajib diatasi baik jika berat atau tidak.
Kebiasaan
mahar tidak sesuai dengan CEDAW. Mahar
adalah suatu pemberian dari calon mempelai pria pada calon mempelai wanita
sebagai tanda kesetiaannya.[275] Mahar berupa kewajiban calon mempelai pria
bersangkutan.[276] Bagaimanapun, mahar tidak berupa rukun dalam
perkawinan. Maka, kelalaian terhadap
mahar tidak menyebabkan batalnya perkawinan dan tidak mengurangi sahnya.[277]
Mahar
diberikan kepada calon mempelai wanita secara langsung dan menjadi hak miliknya
sendiri.[278] Mahar boleh berbentuk barang, uang atau jasa;
meskipun KHI menetapkan bahwa mahar perlu diserahkan melalui tunai secara
diperbolehkan calon mempelai wanita.[279] Besarnya tidak dibatasi. Namun demikian, mahar harus didasarkan `asas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam'.[280] Selanjutnya, hukum Islam mengandung asas ma'ruf yang berarti bahwa mahar wajib
diberikan sesuai dengan kemampuan dan kedudukan calon mempelai pria
bersangkutan.[281]
Tentu
saja mahar tidak bersifat diskriminatif sebagaimana dilarang Pasal 2 butir f
CEDAW. Yaitu, mahar tidak dimaksud untuk
mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang
apapun berdasarkan persamaan antara pria dan wanita.[282] Melainkan, mahar berupa kebaikan calon
mempelai wanita. Selanjutnya,
sebagaimana peminangan mahar dilakukan di luar ruang lingkup Pasal 16 CEDAW.
Namun
demikian, mahar tidak sesuai dengan Pasal 5 butir a CEDAW. Di belakang mahar terdapat dugaan bahwa
peranan pria adalah pemberi sedang peranan wanita hanya penerima. Jadi, mahar dapat dianggap pelanggaran CEDAW
meskipun berupa kebaikan seorang wanita bersangkutan.
Akad
Nikah tidak melanggar CEDAW. Akad Nikah
berupa pernyataan (shighat).[283] Pernyataan tersebut dapat dibagi antara
pernyataan calon isteri (ijab) dan
pernyataan calon suami (kabul). Ijab
diucapkan wali nikah. Wali nikah ialah
wakil calon isteri dalam akad nikah.
Biasanya wali nikah terdiri atas saudara laki laki calon isteri.[284] Wali nikah dianggap rukun perkawinan. Jadi, perkawinan yang dilakukan tanpa wali
nikah tidak sah.[285] Kabul diucapkan
calon suami secara pribadi.[286] Ijab dan
kabul wajib diucapkan di hadapan dua
orang saksi. Orang saksi beragama Islam
dan dianggap rukun perkawinan sebagaimana wali nikah.[287]
Telah
jelas kedudukan pria dan wanita dalam akad nikah tidak sama. Seorang pria mengucapkan pernyataannya
sendiri sedang seorang wanita harus diwakili.
Namun, akad nikah hanya bersifat prosedural atau hanya berfungsi sebagai
tanda. Akad nikah tidak boleh dilakukan
tanpa persetujuan calon isteri.[288] Akad nikah dapat dibandingkan dengan perayaan
pernikahan orang beragama Kristen yang mana calon isteri diantar bapaknya ke
depan gereja agar diterima uaminya.
Maka, akad nikah tidak bersifat diskriminatif sebagaimana dilarang Pasal
2 butir f CEDAW dan tidak dimaksud untuk mengurangi kedudukan wanita
sebagaimana dilarang Pasal 5 butir a CEDAW.
Perjanjian
perkawinan tidak melanggar CEDAW.
Perjanjian perkawinan dibuat pada masa akad nikah.[289] Perjanjian perkawinan boleh menyangkut taklik
talak.[290] Taklik talak berupa janji seorang suami untuk
menceraikan isterinya dalam keadaan tertentu seperti suami tersebut
meninggalkan isterinya atau tidak melakukan kewajibannya.[291]
Seorang isteri berhak mengajukan gugatan perceraian berdasarkan pelanggaran
taklik talak.[292]
Selain
itu, perjanjian perkawinan boleh menyangkut harta kekayaan dalam perkawinan.[293] Perjanjian perkawinan dimaksud untuk
melindungi kepentingan pihak wanita atau kedua suami dan isteri. Jadi, perjanjian perkawinan tidak
bertentangan dengan Pasal 2 butir f, Pasal 5 butir a atau Pasal 16 CEDAW.
5.3 Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Hak
dan kewajiban suami isteri menurut hukum Islam tidak sesuai dengan CEDAW. Hak dan kewajiban tersebut merupakan
kewajiban suami isteri bersaling, kedudukan suami isteri, kewajiban suami
sendiri, kewajiban isteri sendiri dan penegakannya.
Kewajiban
suami isteri bersaling ditetapkan selaras dengan CEDAW. Suami isteri wajib menegakkan rumah tangga
yang `sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat'.[294] Rumah tangga tersebut perlu dicapai dalam
tempat kediaman yang tetap dan dipilih suami isteri bersama.[295] Selanjutnya, suami isteri wajib `saling cinta
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu
kepada yang lain'.[296] Akhirnya, suami isteri wajib `mengasuh dan
memlihara anak anak maupun memelihara kehormatannya'.[297]
Kewajiban
suami isteri bersaling sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW mensyaratkan
hak dan tanggung jawab yang sama dalam perkawinan. Dalam hukum Islam, persamaan tersebut
terdapat dalam kewajiban suami isteri bersaling yang dilaksanakan bersama dan
tanpa perbedaan antara kedudukan mereka.
Kedudukan
suami isteri maupun kewajibannya sendiri melanggar CEDAW. Kedudukan suami isteri digariskan UU
No.1/1974 beserta KHI. Suami adalah
kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.[298] Namun demikian, hak dan kedudukan suami
isteri seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.[299] Kedua pihak masih berhak untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri.[300]
Dengan
ketentuan tersebut, hukum Islam menegaskan bahwa suami dan isteri sederajat
meskipun mereka mempunyai kedudukan yang beda.
Perbedaan antara kedudukan mereka tersebut tidak didasarkan diskriminasi
dan tidak dimaksud untuk mengurangi kedudukan isteri. Melainkan, perbedaan tersebut adalah
pembagian tugas antara suami isteri berdasarkan sifatnya masing masing.[301] Ny. Soemiyati menjelaskan sifat
tersebut. Pria lebih rasional dan lebih
kuat. Selanjutnya, pria `tidak mudah
terpengaruh segala macam yang datang dari luar dan juga mempunyai daya berjuang
untuk hidup'.[302]
Sedangkan
wanita `dipengaruhi sifat emosional yang dapat dipakai sebagai modal untuk
melaksanakan tugas yang menuntu ketabahan dan melakukan mpemilharaan yang susah
puyah'.[303] Wanita pula bersifat `penuh kesabaran ketelitian,
perasaan yang halus dan sifat sifat inilah yang dibutuhkan merawat dan
membesarkan anak mulai dari lahir sampai menjadi manusia'.[304]
Kewajiban
suami sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.[305] Suami pula wajib memberi pendidikan pada
isterinya baik terhadap agama atau pengetahuan lain.[306] Selanjutnya, suami menanggung nafkah, kiswan
dan tempat kediaman bagi isteri. Suami
pula menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan maupun biaya pengobatan
bagi isteri dan anak.[307]
Akhirnya,
suami bertanggung jawab terhadap tempat kediaman keluarganya. Tempat kediaman itu disediakan `untuk
melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain sehingga mereka
merasa aman dan tenteram'.[308] Tempat kediaman tersebut pula `berfungsi
sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat
alat rumah tangga'.[309] Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban
terhadap dirinya tersebut.[310] Suami yang beristeri lebih dari seorang harus
melakukan kewajibannya terhadap masing masing isterinya secara sama.[311] Dengan persetujuan para isterinya, suami
boleh menempatkan para isterinya dalam satu tempat kediaman.[312]
Kewajiban
isteri sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai ibu rumah tangga. Kewajiban isteri adalah `berbakti lahir dan
batin kepada suami di dalam batas batas yang dibenarkan oleh hukum Islam'.[313] Selanjutnya, isteri `menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya'.[314] Kewajiban suami dan isteri sendiri tersebut
berdasarkan pandangan bahwa suami bertanggung jawab membayar kehidupan keluarga
sedangkan isteri hanya perlu menerima pembayaran suaminya.[315]
Kedudukan
suami isteri maupun kewajibannya sendiri melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c
CEDAW. Persamaan tanggung jawab tersebut berarti bahwa setiap
tugas dalam perkawinan boleh dilakukan baik oleh suami atau isteri menurut
pemilihannya. Misalnya, kalau seorang
suami merasa kuat dan rasional dan seorang isteri merasa emosional, suami
tersebut boleh memilihi tugas memberi keperluan hidup keluarga dan seorang
isteri boleh memilihi tugas rumah tangga.
Sebaliknya,
kalau seorang isteri merasa kuat dan rasional dan seorang suami merasa
emosional, isteri tersebut boleh memlihi tugas memberi keperluan hidup keluarga
dan suami tersebut boleh memilihi tugas rumah tangga. Ketentuan hukum Islam tidak menjamin
persamaan tersebut. Bahkan, hukum Islam
membedakan tanggung jawab suami isteri dalam perkawinan berdasarkan stereotip
terhadap sifat pria dan sifat wanita.
Penegakan
kewajiban suami dan isteri sendiri melanggar CEDAW. Kedua pihak perkawinan dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama jika salah satu pihak melalakan kewajibannya.[316] Gugatan tersebut dapat diajukan sendiri atau
dapat diajukan sebagai alasan untuk perceraian.[317]
Selain
itu, KHI menetapkan bahwa seorang suami dapat menegakan kewajiban isterinya
melalui nusyuz. Dalam keadaan bahwa
seorang isteri melalaikan kewajibannya, dia dapat dianggap nusyuz.[318] Selama dia nusyuz, seorang suami tidak wajib
memberikan nafkah, kiswan tempat kediaman maupun biaya umah tangga, biaya
perawatan dan pengobatan bagi isterinya.[319] Ketentuan seorang suami terhadap adanya
nusyuz wajib didasarkan bukti yang sah.[320]
Namun
demikian, Drs. Sudarsono berpendapat bahwa kedua pihak perkawinan boleh
dianggap nusyuz. Kalau seorang suami
dianggap nusyuz, isterinya berhak membuat perjanjian yang dimaksud untuk
memperbaiki hubungannya dengan suaminya.
Kalau seorang isteri dianggap nusyuz, suaminya wajib bertindak sebagai
berikut. Pertama, seorang suami menasehat isterinya dengan baik. Kedua,
jika isteri tersebut tidak memperhatikan suaminya, mereka harus berpisah
tidur. Ketiga, jika isteri tersebut masih tidak meperhatikan suaminya, dia
boleh memukul isterinya dengan pukulan yang tidak berat.[321]
Jadi,
baik dalam pandangan KHI maupun Drs. Sudarsono, penegakan kewajiban suami dan
isteri sendiri tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Menurut KHI, kewajiban kedua pihak perkawinan
dapat ditegakkan melalui Pengadilan Agama sedang hanya kewajiban isteri dapat
ditegakkan dengan nusyuz. Menurut Drs.
Sudarson, kewajiban suami dan kewajiban isteri dapat ditegakkan dengan
nusyuz. Namun demikian, akibat nusyuz
yang datang dari suami beda dari nusyuz yang datang dari isteri. Bagaimanapun juga, persamaan antara suami dan
isteri tidak dijamin.
Ruang
lingkup pelanggaran CEDAW tersebut tidak jelas.
Hak dan kewajiban suami isteri jarang ditegakkan dalam Pengadilan Agama
atau melalui nusyuz.[322] Ada kemungkinan alasan untuk kejarangan
tersebut adalah hak dan kewajiban suami isteri tidak sering dilakukan, tidak
dianggap penting dan maka tidak perlu ditegakkan. Dalam kemungkinan itu, pelanggaran CEDAW
dengan hak dan kewajiban suami isteri hanya berada secara hukum dan tidak
berada secara praktek.
Namun
demikian, ada kemungkinan lain hak dan kewajiban suami isteri dilakukan
sepenuhnya dan karena itu tidak perlu ditegakkan. Dalam kemungkinan itu, pelanggaran CEDAW
berada secara hukum dan juga berada secara praktek. Bagaimanapun juga, dalam rangka pelaksanaan
CEDAW sepenuhnya, pelanggaran CEDAW wajib diatasi baik kalau berupa pelanggaran
secara hukum atau pelanggaran secara praktek.
5.4 Harta Kekayaan Dalam Perkawinan
Harta
kekayaan dalam perkawinan telah sesuai dengan CEDAW. Di bidang tersebut, hukum Islam tidak
bersumber pada al-Quran atau Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. melainkan
bersumber pada ijtihad.[323] Ijtihad
hukum Islam ditambah dengan UU No.1/1974.
Ajaran dan peraturan perundangan tersebut menetapkan bahwa perkawinan
pada dasarnya tidak menimbulkan percampuran antara harta suami dan harta
isteri.[324]
Dengan
perkataan lain, harta suami atau
harta isteri yang telah ada pada masa
kelangsungan perkawinan tetap menjadi hak suami atau isteri dan dikuasai penuh
olehnya.[325] Selanjutnya, harta bawaan dari suami atau isteri dalam keadaan perkawinan di
bawah penguasaan masing masing.
Akhirnya, harta diperoleh
suami atau isteri sebagai hadiah atau warisah dalam keadaan perkawinan juga di
bawah penguasaan masing masing.[326] Atas semua bentuk harta tersebut suami dan
isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.[327] Suami isteri masih berhak mengubah ketentuan
tersebut melalui perjanjian perkawinan.[328]
Harta
suami isteri masing masing tersebut tidak menutup keberadaan harta bersama.[329] Harta bersama diperbolehkan dalam berbagai
bentuk.[330] Hak suami dan hak isteri terhadap harta
bersama dilindungi. Yaitu, seorang suami
atau isteri tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama tanpa
persetujuan pihak lain.[331] Lagi pula, harta bersama hanya boleh menjadi
barang jaminan untuk salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.[332] Harta bersama dibagi pada masa putusnya
perkawinan.[333] Kedua pihak perkawinan bertanggung jawab
sendiri maupun bersama untuk menjaga harta masing masing maupun harta bersama.[334]
Ketentuan
hukum Islam maupun peraturan perundangan tersebut tidak melanggar CEDAW.[335]
Pasal 16 Ayat (1) huruf f mensyaratkan hak yang sama untuk kedua suami dan
isteri bertalian dengan harta benda.
Persamaan suami isteri tersebut dijamin hukum Islam. Suami dan isteri berhak mempunyai harta
sendiri dan harta bersama dan wajib menjaga harta tersebut tanpa perbedaan
antara kedudukan mereka.
5.5 Pemiliharaan Anak dalam Perwalian
Ketentuan
hukum Islam terhadap pemiliharaan anak bertentangan dengan CEDAW. Di bidang tersebut, ketentuan hukum Islam
merupakan syarat untuk dianggap sebagai seorang anak, kekuasaan atau kewajiban
ayah ibu terhadap anaknya dan kedudukan anak dalam keadaan perceraian.
Syarat
untuk dianggap sebagai seorang anak melanggar CEDAW. Syarat tersebut merupakan batas usia, sahnya
seorang anak maupun penegakan sahnya.
Batas usia seorang anak untuk berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua
puluh satu) tahun.[336] Batas usia tersebut gugur jika seorang anak
tidak bercacad fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.[337]
Anak
yang sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah.[338] Anak yang sah pula tercantum anak yang hasil
pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan isteri tersebut.[339] Anak yang tidak sah adalah anak yang lahir di
luar perkawinan. Anak tersebut hanya
mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[340] Aturan itu mengurangi kedudukan wanita dan
tidak bersifat adil.[341]
Sahnya
seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau putusan
Pengadilan Agama.[342] Sahnya dapat diingkari ayahnya melalui
Pengadilan Agama.[343] Selanjutnya, sahnya dapat diangkari ayahnya
melalui li'an. Li'an bersumber pada al-Quran.[344] Li'an dilakukan dalam keadaan bahwa seorang
suami mengingkari sahnya anak sedang isteri tidak menyangkalnya.[345] Li'an berupa pernyataan suami di hadapan
sidang Pengadilan Agama yang berbunyi isteri berbuat zina dan telah mengandung
atau melahirkan anak. Pernyataan
tersebut diikuti penolakan tuduhan isteri.
Li'an menimbulkan putusnya perkawinan selama-lamanya.[346]
Sahnya
seorang anak maupun penegakannya bertentangan dengan CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) huruf d mensyaratkan hak
dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status kawin
mereka, dalam urusan yang berhubungan
dengan anak mereka. Namun demikian,
dalam semua kasus, kepentingan anak akan diutamakan.
Dalam
hukum Islam, tanggung jawab sebagai orang tua dibedakan menurut status kawin
mereka. Sebagaimana dijelaskan, jika
orang tua tersebut telah kawin, anaknya dianggap sah dan mempunyai hubungan
nasab dengan kedua orang tuanya. Jika
orang tua tersebut belum kawin, anak itu dianggap tidak sah dan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan isterinya.
Selanjutnya, dalam penegakan sahnya seorang anak, orang tua tidak
mempunyai hak yang sama. Sahnya seorang
anak dapat diingkari ayahnya baik melalui Pengadilan Agama atau li'an sedangkan
tidak dapat diingkari ibunya.
Kewajiban
dan kekuasaan ayah ibu terhadap anaknya secara umum telah sesuai dengan CEDAW.[347] Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anaknya sebaik-baiknya.[348] Kewajiban tersebut berlaku sampai anaknya
kawin atau dewasa dan masih berlaku setelah putusnya perkawinan.[349] Kedua orang tua wajib merawat dan
mengembangkan harta anaknya. Kedua orang
tua tidak boleh memindahkan harta anaknya kecualai dalam keadaan digariskan UU
No.1/1974.[350] Kedua orang tua harus ganti rugi ditimbulkan
kelalaian mereka terhadap kewajiban tersebut.[351]
Selain
itu, kedua orang tua berkuasa untuk mewakili anaknya mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan.[352] Ayah bertanggung jawab atas biaya penyusuan
anaknya.[353]
Ketentuan tersebut telah sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf d CEDAW. Secara umum, kewajiban dan kekuasaan kedua
orang tua tidak dibedakan.
Kedudukan
anak dalam keadaan perceraian telah sesuai dengan CEDAW. Setelah putusnya perkawinan, pemeliharaan
anak dibagi antara kedua bekas pihak perkawinan sebagai berikut. Pemeliharaan anak yang belum berumur 12 (dua
belas) tahun atau dianggap mumayyiz
menjadi hak ibunya. Pemiliharaan anak
yang telah berumur 12 tahun atau sudah mumayyiz
menjadi pemilihan anak bersangkutan sendiri. Biaya pemeliharaannya masih ditanggung
ayahnya.[354]
Ketentuan
tersebut telah sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf d CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) huruf d CEDAW mensyaratkan
kepentingan anak wajib diutamakan. Dalam
keadaan putusnya perkawinan, kepentingan seorang anak yang belum berumur 12
tahun dilindungi jika pemeliharannya menjadi hak ibunya. Selanjutnya, kepentingan seorang anak yang
telah berumur 12 tahun dilindungi jika dia boleh memilihi pemeliharaan ayahnya
atau ibunya dalam rangka biaya keperluan hidup yang dijamin.
Ketentuan
hukum Islam terhadap perwalian telah sesuai dengan CEDAW. UU No.1/1974 beserta KHI menetapkan setiap
soal terhadap perwalian dalam rangka persamaan antara pria dan wanita secara
sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf f CEDAW.[355]
5.6 Putusnya Perkawinan
Ketentuan
hukum Islam tentang putusnya perkawinan melalui cerai hidup melanggar
CEDAW. Di bidang tersebut, hukum Islam
berdasarkan ajaran Islam sebagaimana diubah UU No.1/1974, PP No.9/1975, UU No.7/1989 beserta KHI.
Perceraian
dalam ajaran Islam tidak sesuai dengan CEDAW.
Menurut ajaran Islam, perkawinan adalah ikatan yang bersifat
selama-lamanya. Maka, perceraian
dilarang dan menjadi sesuatu yang paling dimarahi Tuhan. Namun demikian, Islam masih menyadari
kenyataan bahwa perkawinan dapat gagal dan menjadi tidak bisa diteruskan. Oleh sebabnya, ajaran Islam memberi
kesempatan untuk perceraian dalam keadaan dan melalui acara tertentu.[356]
Seorang
suami boleh menceraikan isterinya melalui suatu ucapan atau sumpah didasarkan
alasan yang bersifat umum (talak[357]
dan ila'[358]).
Seorang suami tersebut pula boleh menceraikan isterinya dengan sumpah atau
anggapan didasarkan alasan yang berupa suatu tindak isterinya (zhihar,[359]
fahisah,[360]
nusyuz, li'an).
Sebaliknya,
seorang isteri hanya dapat menceraikan suaminya dengan persetujuannya (khuluk)[361]
atau berdasarkan perjanjian perkawinan (talik
talak). Selain itu, ajaran Islam
memperbolehkan perceraian didasarkan persetujuan kedua pihak perkawinan baik
untuk alasan umum (mubaaro'ah)[362]
maupun suatu tindak salah satu pihak perkawinan (murtad[363]
dan fasakh[364]).
Jalan
perceraian ajaran Islam melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW mensyaratkan
hak dan tanggung jawab yang sama pada putusnya perkawinan. Ajaran Islam tersebut membedakan kedudukan
suami dan isteri dan tidak menjamin persamaannya.
Jalan
perceraian ajaran Islam tersebut diubah peraturan perundangan secara sesuai
dengan CEDAW. UU No.1/1974 menetapkan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan pihak
bersangkutan.[365]
PP
No.9/1975 menetapkan perceraian baik diminta suami atau isteri hanya dapat
dilakukan untuk alasan sebagai berikut: Pertama,
salah satu pihak perkawinan berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.[366]
Kedua, salah satu
pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut turut tanpa ijian
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.[367]
Ketiga, salah
satu pihak mendapat hukuman penjara atau pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.[368]
Keempat, salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.[369]
Kelima, salah
satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.[370]
Keenam, antara
suami isteri terus menerus terjadi perseilishan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dlaam rumah tangga.[371]
Alasan
PP No.9/1975 ditambah alasan KHI. KHI
menetapkan perceraian boleh didadasarkan alasan bahwa seorang suami melanggar
taklik talak atau peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.[372]
Alasan
PP No.9/1975 beserta alasan KHI diajukan dalam rangka tata cara
perceraian. Tata cara perceraian
tersebut ditetapkan PP No.9/1975 beserta UU No.7/1989. Tata cara perceraian suami berupa permohonan
talak sedangkan untuk isteri berupa gugatan perceraian. Dahulu, prosedur talak suami diatur PP
No.9/1975 dan merupakan permohonan yang diajukan seorang suami dan dikabulkan
dengan Surat Keterengan yang dibuat Pengadilan Agama.[373] Prosedur talak tersebut jauh lebih mudah dari
prosedur gugatan perceraian isteri.[374] Oleh sebabnya, prosedur talak suami diubah UU
No.7/1989.
UU
No.7/1989 menetapkan bahwa prosedur talak suami merupakan permohonan yang
diajukan seorang suami pada Pengadilan Agama bersangkutan.[375] Permohonan tersebut wajib didasarkan alasan
PP No.9/1975 atau alasan KHI tersebut.[376] Permohonan tersebut kemudian diperiksa
Pengadilan Agama dalam rangka usaha perdamaian kedua pihak bersangkutan.[377]
Setelah
disimpulkan bahwa ada alasan untuk perceraian dan kedua pihak tidak mungkin
didamaikan, Pengadilan Agama dapat menetapkan permohonan dikabulkan.[378] Isteri bersangkutan dapat memintakan banding
maupun kasasi terhadap penetapan Pengadilan Agama. Setelah itu, cerai talak diselesaikan dengan
ucapan ikrar dan pencatatannya.[379]
Gugatan
perceraian diajukan isteri pada Pengadilan Agama bersangkutan didasarkan alasan
PP No.9/1975 beserta alasan KHI. Dahulu,
PP No.9/1975 menetapkan bahwa Pengadilan Agama tersebut adalah yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.[380] PP No.9/1975 diubah UU No.7/1989. Pengadilan Agama bersangkutan menjadi yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.[381] Perubahan tersebut dimaksud untuk melindungi
pihak wanita.[382]
Gugatan
perceraian diperiksa Pengadilan Agama.[383]
Pengadilan Agama berkuasa panggil kedua
pihak perkawinan, wakilnya maupun orang lain bersangkutan.[384] Selanjutnya, Pengadilan Agama berkuasa pada
permohonan pihak berperkara untuk menetapkan tempat kediaman suami isteri,
nafkah ditanggung suami maupun harta kekayaan suami isteri.[385]
Dalam
pemeriksaan tersebut, Pengadilan Agama berusaha mendamaikan kedua pihak
perkawinan.[386] Apabila terjadi perdamaian, `maka tidak dapat
diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan alasan yang aa
sebelum perdamaian dan telah diketahu olen penggugat pada waktu dicapainya
perdamaian'.[387] Apabila tidak terjadi perdamaian, perkara
perceraian diputuskan.[388]
Suami
bersangkutan dapat meminta banding atau kasasi pada putusan tersebut.[389] Putusan tersebut kemudian diumumkan dan dalam
keadaan gugatan perceraian dikabulkan, putusnya perkawinan dicatat.[390] Alasan maupun tata cara perceraian tersebut
telah sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Kedudukan suami isteri tidak dibedakan dan
persamaannya dijamin.
Bagaimanapun,
peraturan perundangan tersebut masih memperbolehkan jalan perceraian lain yang
melanggar CEDAW. Suami masih boleh
mencerakan isterinya melalui li'an
sebagaimana telah dijelaskan.[391] Sebaliknya, isteri tidak boleh menceraikan
suaminya melalui li'an. Dia hanya boleh mencari putusnya perkawinan
melalui gugatan perceraian biasa. Selain
itu, isteri boleh menceraikan suaminya melalui khuluk[392] dan kedua
pihak perkawinan boleh melakukan perceraian melalui fasakh.[393]
Li'an bertentangan dengan Pasal 16
Ayat (1) huruf c CEDAW.
Jalan
perceraian peraturan perundangan tersebut mengandung akibat yang melanggar
CEDAW. Pasal 41 UU No.1/1974 menetapkan
akibat putusnya perkawinan baik melalui talak atau gugatan perceraian. Akibat tersebut berupa kewajiban kedua bekas
pihak perkawinan terhadap anaknya,[394]
kewajiban bekas suami terhadap biaya pemeliharaan dan pendidikan anak itu
maupun kewajiban bekas isteri dalam keadaan suaminya melalalikan kewajiban
tersebut[395]
dan kewajiban bekas suami terhadap biaya penghidupan bekas isterinya.[396] Secara umum, ketentuan UU No.1/1974 tidak
bertentangan dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW.
Ketentuan
UU No.1/1974 ditambah KHI. KHI
menetapkan pemeliharaan anak pada putusnya perkawinan sebagaimana tersebut.[397] Selanjutnya, KHI menetapkan bekas isteri
wajib mengikuti masa iddah. Masa iddah
adalah waktu tunggu yang berlaku setelah baru putusnya perkawinan. Bekas isteri selama dalam masa iddah tidak
boleh menerima pinangan atau menikah dengan pria lain.[398] Ruang lingkup masa iddah tergantung pada
jalan putusnya perkawinan.[399]
Akhirnya,
KHI menetapkan akibat khusus putusnya perkawinan melalui permohonan talak
suami. Akibat tersebut merupakan
kewajiban dan hak bekas suami. Bekas
suami wajib memberikan mut'ah atau
setengah mahar yang telah ditentukan pada bekas isterinya.[400] Bekas suami pula wajib memberi nafkah, maskan
dan kiswah pada bekas isterinya.
Kewajiban tersebut gugur apabila talak telah terjadi tiga kali (talak ba'in kubraah), didasarkan
kehendak bekas isterinya (talak ba'in
shughraa) atau bekas isterinya telah dianggap nusyuz.[401] Bagaimanapun juga, bekas suami wajib memberi
biaya hadhanah untuk anak-anakynya yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun.[402]
Bekas
suami tersebut berhak melakukan rujuk selama isterinya dalam masa iddahnya.[403] Rujuk dilakukan bekas suami tersebut di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Pada
masa hadapan itu, bekas isteri boleh mengucapkan keberatannya tentang rujuk. Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan isteri
boleh dinyastakan tidak sah oleh Pengadilan Agama.[404]
Rujuk
tidak boleh dilakukan terhadap talak bain
shughraa tetapi bekas isteri bersangkutan boleh melakukan akad nikah baru
dengan bekas suaminya.[405] Rujuk tidak boleh dilakukan terhadap talak bain kubraah dan bekas isteri
bersangkutan tidak boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya
kecuali jika telah menikah dan telah menceraiakan seorang pria lain.[406]
Ketentuan
KHI tentang akibat putusnya perkawinan melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c
CEDAW. Kedudukan bekas suami dan bekas
isteri dibedakan. Masa iddah wajib
diikuti bekas isteri bukan bekas suaminya.
Rujuk boleh dilakukan bekas suami terhadap bekas isterinya tetapi tidak
boleh dilakukan sebaliknya.
6.
Ketentuan Hukum Islam di Bidang Kewarisan
Seorang
wanita yang berperkara dalam Pengadilan Agama menemui ketentuan hukum Islam
terhadap kewarisan yang melanggar CEDAW. Di bidang tersebut, ketentuan hukum
Islam bersumber pada al Quran, Sunnah beserta sumber akal manusia.[407] Sumber tersebut ditambah peraturan
perundangan. Hukum kewarisan Islam tidak
diatur peraturan perundangan secara lanjut sebagaimana perkawinan. Bahkan, hukum kewarisan Islam belum tersusun
dengan satu Undang Undang yang berlaku bagi semua warga negara seperti UU
No.1/1974.[408]
Selanjutnya,
ketentuan UU No.7/1989 tentang memperinci kewarisan sebagaimana ketentuannya
terhadap perkawinan. Pasal 49 Ayat (1)
UU No.7/1989 memberikan pada Pengadilan Agama wewenang di bidang
kewarisan. Pasal 49 Ayat (3) UU
No.7/1989 menegaskan wewenang kewarisan tersebut berupa `penentuan siapa siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut'.[409]
Sebagaimana
demikian, Pasal 54 UU No.7/1989 menetapkan bahwa hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan Negeri pula berlaku pada Pengadilan Agama `kecuali yang
telah diatur secara khusus' dengan UU No.7/1989. Ketentuan khusus tersebut hanya menyangkut
perkawinan.[410] Yaitu, tidak ada ketentuan khusus terhadap
kewarisan.[411] Akhirnya, KHI mengatur kewarisan secara
garis garis besar dalam bidang itu.[412]
Ketentuan
hukum kewarisan Islam menyangkut tiga kelompok orang: pewaris, orang yang dapat
menerima pemberian harta peninggalannya maupun orang yang berhak mendapat
bagian harta peninggalannya.[413]
Seorang
dapat menerima pemberian harta peninggalan pewaris melalui wasiat dan hibah. Wasiat adalah pemberian kepada seorang atau
lembaga yang dimaksud berlaku setelah pewaris bersangkutan meninggal dunia.[414] Pewaris hanya berhak memberikan wasiat
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli
waris menyetujui.[415] Orang yang dapat menerima wasiat tidak
dibatasi menurut jenis kelaminnya.
Bagaimanapun, seorang ahli waris tidak boleh menjadi penerima wasiat
kecuali dengan persetujuan para ahli waris.[416]
Hibah
adalah pemberian suatu benda, `secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain atau lembaga yang masih hidup untuk dimiliki'.[417] Pewaris boleh menghibahkan sebanyak-banyaknya
sepertiga harta bendanya.[418] Biasanya, hibah dilakukan dengan persetujuan
para ahli waris.[419] Suatu benda yang dihibahkan orang tua kepada
anaknya apat diperhitungkan sebagai warisannya.[420]
Orang
yang berhak mendapat bagian harta peninggalan pewaris dikenal dengan istilah
ahli waris. Ahli waris merupakan orang
yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris.[421] Kelompok ahli waris laki laki merupakan
golongan laki laki yang terdiri atas ayah, anak laki laki, saudara laki laki,
paman, kakek dan duda pewaris.[422] Kelompok ahli waris perempuan terdiri atas
ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan janda pewaris.[423] Dalam keadaan ada semua ahli wais tersebut,
maka yang berhak mendapat bagian harta peninggalan hanya anak, ayah, ibu, janda
atau duda.[424]
Besarnya
bagian ahli waris bersumber pada al Quran
dan ditetapkan menurut jenis
kelaminnya.[425] Apabila pewaris cuma mempunyai satu anak dan
anaknya perempuan, dia mendapat separoh bagian.
Apabila pewaris tersebut mempunyai dua anak perempuan atau lebih mereka
secara bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Namun demikian, apabila anak perempuan
tersebut bersama-sama dengan anak laki laki, maka bagian anak laki laki adalah
dua berbanding satu dengan anak perempuan.[426] Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan saling mewaris dengan ubunya dan keluarga dari pihak ibunya.[427]
Orang
tua pewaris pula berhak mendapat warisan.
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak.[428] Sebaliknya, ibu hanya mendapat sepertiga
bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan, selanjutnya, pewaris tidak
mempunyai dua orang saudara atau lebih.[429] Bila ada anak pewaris, ayah mendapat
seperenam bagian.[430] Bila ada anak atau dua orang saudara
perempuan pewaris atau lebih, ibu mendapat sepernam bagian.[431] Selain itu, ayah dan ibu pewaris bersama-sama
mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil janda atau duda.[432]
Bila
pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, seorang saudara laki
laki maupun seorang saudara perempuan pewaris masing masing mendapat seperenam
bagian. Bila ada dua orang saudara laki
laki atau dua orang saudara perempuan atau lebih, maka mereka bersama sama
mendapat sepertiga bagian.[433]
Bagaimanapun,
bila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah melainkan dia
meninggalkan seorang saudara perempuan kandung atau seayah, saudara tersebut
mendapat separoh bagian. Bila saudara
tersebut lebih dari satu orang, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga
bagian. Bila saudara tersebut bersama
dengan saudara laki laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki laki
tersebut adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.[434]
Duda
atau janda berhak mendapat bagian pewaris.
Duda mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Duda hanya mendapat seperempat bagian bila
pewaris memang meninggalkan anak.[435] Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris
tidak meninggalkan anak dan hany0a mendapat seperdelapan bagian bila pewaris
memang meninggalkan anak.[436] Bagi pewaris yang beristeri lebih dari stau orang,
para jandanya berhak mendapat bagian atas gonogini dari rumah tangga dengan
suaminya.[437] Selanjutnya, para isteri mendapat sepermpat
atau seprdelapan bagian yang kemundian dibagi antara mereka masing masing.[438]
Alasan
untuk perbedaan jenis kelamin dalam hukum kewarisan Islam diajukan Sajuti
Thalib, SH. Menurut dia, perbedaan
tersebut perlu dilihat dalam rangka kewajiban laki laki terhadap isterinya dan
anaknya. Kalau seorang laki laki menjadi
ahli waris, bagiannya akan dipakai sebagai pemberian kepada isterinya dan
anaknya. Sebaliknya, kalau seorang
perempuan menjadi ahli waris, bagiannya akan dipakai sendiri dalam rangka
penerimaan dari suaminya atau ayahnya. Maka, ahli waris laki laki tersebut
perlu mendapat bagian yang lebih besar daripada ahli waris perempuan.[439]
Hukum
kewarisan Islam tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) CEDAW. Pasal 16 Ayat (1)
menyatakan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap hak dan tanggung
jawab dalam hubungan kekeluargaan. Telah
jelas hukum kewarisan Islam mengurangi kedudukan wanita dan bersifat
diskriminatif.
7.
Hukum Islam dan CEDAW
Hubungan
hukum Islam dan CEDAW belum diputuskan baik dalam peraturan perundangan maupun
kebijakan Parpol dan masyarkat Indonesia.
Persoalan hukum Islam dan CEDAW dapat dibagi dengan kemampuan dan kemauan
mengubah hukum Islam agar menghapuskan diskiminasi terhadap wanita dan
melindungi haknya.
Kemampuan
mengubah hukum Islam pada dasarnya
tergantung sumbernya. Dalam keberadaan
suatu ketentuan hukum Islam bersumber pada al-Quran,
Sunnah Mutawatir atau Sunnah Masyur yang telah jelas,
ketentuan tersebut tidak boleh diubah baik jika bersifat diskriminatif,
melanggar hak wanita atau tidak.
Namun
demikian, kalau suatu ketentuan hukum Islam yang diturunkan Allah tidak jelas dan telah ditafsirkan secara
diskriminatif dan melanggar hak wanita, penafsiran baru dapat dilakukan dan
ketentuan tersebut disesuakian dengan CEDAW.
Selain itu, ketentuan hukum Islam yang berlandaskan sumber akal manusia
juga boleh diubah selaras dengan CEDAW.
Peraturan
perundangan nasional pada kelihatannya dapat mengubah ketentuan hukum
Islam. Waktu UUD 1945 berancang, Prof.
Muhammad Yamin mengajukan usulan bahwa Mahkamah Agung berhak menguji peraturan
perundangan terhadap UUD 1945, hukum Adat dan hukum Islam dan mencabut
peraturan perundangan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sistem hukum
tersebut. Jadi, peraturan perundangan
tidak boleh dikeluarkan secara tidak sesuai dengan sistem hukum Islam. Sebaliknya, ketentuan hukum Islam tidak boleh
diubah melalui peraturan perundangan nasional.
Saran
Prof. Muhammad Yamin ditolak. Tetapi
sarannya ditolak berdasarkan keberatan terhadap ruang lingkup wewenang Mahkamah
Agung. Kemampuan atau ketidakmampuan
mengubah Islam tidak disebut dan bahkan tidak ditetapkan dengan UUD 1945.[440]
Dalam
masa keberlakuan UUD 1945, peraturan perundangan nasional telah mengubah
ketentuan hukum Islam. Sebagaimana
dijelaskan, UU No.1/1974, PP No.9/1975 beserta UU No.7/1989 mengubah ketentuan
hukum Islam terhadap putusnya perkawinain dengan tujuan meningkatkan persamaan
antara pria dan wanita. Maka, ada
kemungkinan bahwa peraturan perundangan nasional dapat mengubah hukum Islam
secara sesuai dengan CEDAW.
Kemampuan
tersebut perlu ditambah dengan kemauan mengubah hukum Islam. Dalam peraturan perundangan yang telah
dikeluarkan, sikap pemerintah Indonesia terhadap perubahan hukum Islam selaras
dengan CEDAW tidak yakin. UU No.7/1984
menolak perubahan hukum Islam berdasarkan CEDAW. Penjelasannya menyatakan, `Ketentuan dalam
Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan nasional'.[441]
Selain
itu, Penjelasan UU No.7/1984 berpendapat bahwa `dalam pelaksanaannya, ketentuan
dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang
meluputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang
masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia'.[442]
Namun,
perlu diingat bahwa UU No.7/1984 dikeluarkan pada masa Orde Baru. Dalam Era Reformasi, Undang Undang tentang
pengesahan suatu Konvensi biasanya menyatakan peraturan perundangan nasional
akan disesuaikan dengan Konvensi bersangkutan.
Tetapi Undang Undang tersebut tidak menjelaskan jika harmonisasinya
berupa peraturan perundangan nasional saja atau tercantum sistem hukum yang
berlaku di bawah peraturan perundangan nasional seperti hukum Islam.[443]
UU
No.7/1984 ditambah RANHAM yang tidak menegaskan kedudukan hukum Islam dalam
pelaksanaan CEDAW. Sebagaimana tersebut,
RANHAM menyatakan wawasan HAM di Indonesia.
Satu prinsip dalam wawasan tersebut adalah pengakuan atas kondisi
nasional. Prinsip ini berarti bahwa
dalam pelaksanaan HAM pemerintah Indonesia akan memperhatikan sepenuh `keanekaragaman
tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem politik, tingkat pertumbaan sosial dan
ekonomi serta faktor faktor lain'.[444] Istilah `faktor lain' kalau dibandingkan
dengan ketentuan peraturan perundangan lain mungkin termasuk agama.[445]
Selanjutnya,
Pasal 1 Ayat (2) KepPres No.129/1998 menyatakan kemajuan dan perlindungan HAM akan
dilakukan dengan `mempertimbangkan nilai nilai adat istiadat, budaya dan agama
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945'. Ketentuan
ketentuan RANHAM tersebut tidak menetapkan ruang lingkup perhatiannya
dan pertimbangannya. Yaitu, ketentuan
RANHAM tidak mengatakan hubungan antara faktor dan nilai tersebut dan HAM dan
memang tidak mengatakan yang mana gugur dalam keadaan bahwa faktor dan nilai
tersebut bertentangan dengan HAM.
Selain
itu, RANHAM menetapkan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan
CEDAW akan dilakukan.[446] Tetapi sebagaimana Undang Undang tentang
pengesahan suatu Konvensi tersebut, RANHAM tidak menjelaskan kalau peraturan
perundangan nasional tercantum hukum yang berlaku di bawah peraturan perundangan
seperti hukum Islam.
UU
No.39/1999 secara tersirat mengandung kemauan mengubah hukum Islam secara
sesuai dengan CEDAW. Pertama, ada kemungkinan UU No.39/1999
memerintah pemerintah untuk melaksanakan HAM di bidang agama. Bab V UU No.39/1999 menyangkut kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah terhadap HAM.
Pasal 71 menyatakan pemerintah
harus `menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia'.
Pasal
72 menetapkan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut `meliputi langkah
implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan keamanan negara dan bidang lain'.
Sebagaimana RANHAM, istilah `bidang lain' mungkin termasuk bidang agama.[447]
Kedua, UU
no.39/1999 secara tersirat menetapkan ketentuan hukum Islam di bidang
perkawinan perlu disesuaikan dengan CEDAW.
Sebagaimana tersebut, Pasal 50 yo. Pasal 51 UU No.39/1999 menggariksan
hak wanita berdasarkan CEDAW. Pasal 50
menetapkan seorang wanita yang telah dewasa atau telah kawin `berhak untuk
melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali
ditentukan lain oleh hukum agamanya'.
Pasal
51 memberikan hak dan tanggung jawab kepada seorang isteri yang sama dengan
suaminya selama dalam maupun pada putusnya perkawinan. Pasal 51 tidak mengandung pengecualian hukum
agama sebagaimana Pasal 50. Jadi, Pasal
51 secara tersirat menetapkan persamaan seorang isteri dengan suaminya dijamin baik kalau ditentukan lain oleh hukum
agamanya atau tidak.
Ketentuan
UU No.39/1999 terhadap hukum Islam tersebut dapat dibandingkan dengan
ketentuannya terhadap hukum Adat. UU
No.39/1999 menentukan hukum adat akan dihormati hanya sepanjang tidak
bertentangan dengan HAM. Pasal 6 Ayat
(1) menetapkan dalam rangka penegakan HAM, hukum adata harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah.[448]
Selanjutnya,
Pasal 6 Ayat (2) menetapkan, `Identitatas budaya masyarakat hukum adat,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan
zaman'. Penjelasan Atas UU No.39/1999
menetapkan Pasal 6 Ayat (2) berarti bawah hukum adat tetap dihormati sepanjang
tidak bertentangan dengan `asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan
kesejahteraan rakyat'. Dapat disimpulkan
bahwa asas asas tersebut tercantum HAM.[449]
UU
No.39/1999 tidak mengajukan alasan untuk perbedaan antara hubungan hukum Islam
dan hukum Adat dengan HAM. Ada
kemungkinan hukum Adat dapat dibatasi secara tersebut karena pada hakekatnya
hukum Adat berkembang selaras dengan HAM.
Hukum Adat berlandaskan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Kebiasaan tersebut dipengaruhi pendidikan
maupun advokasi dan mobilisasi sosial.
RANHAM menetapkan bahwa pendidikan, advokasi dan mobilisasi tersebut
akan didasarkan HAM. Jadi, hukum Adat
akan menjadi sesuai dengan HAM.
Sebaliknya,
ada kemungkinan lain hukum Islam tidak dibatasi seperti hukum Adat karena telah
mengandung ketentuan yang bertentangan dengan CEDAW dan, selama pada dasarnya,
mungkin tidak boleh diubah.
TAP
MPR No.IV/MPR/1999 Tentang Garis Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004
mengandung kemauan untuk melakukan harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW yang
cukup jelas. Di bidang hukum, Arah
Kebijakan GBHN ingin `menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu
dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui
[] hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender'.[450] Perkataan tersebut dapat berupa ketentuan
ahwa hukum nasional sebagaimana tercantum hukum Islam perlu diubah dengan
tujuan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap wanita.
Kebijakan
Parpol Indonesia belum sependapat mengenai hukum Islam dan CEDAW. Partai PDI dan Golkar berpendapat bahwa hukum
Islam telah bertentangan dan perlu disesuaikan dengan HAM melalui peraturan
perundangan nasional.[451]
Partai
PPP merasa hukum Islam selalu melindungi hak hak wanita. Namun demikian, kalau memang ada hukum Islam
yang bertentangan dengan HAM ketentuannya perlu `tidak diterapkan dalam
pelaksanaan dilakukan fleksibel'.[452]
Partai
PKB menyatakan hukum Islam telah melindungi persamaan antara pria dan wanita
dan tidak perlu diubah.[453] ABRI ada pemahaman bahwa hukum Islam yang
berlaku telah dikompilasi sampai tidak bertentangan dengan HAM dan tidak perlu
diubah.[454]
Perbedaan
pendapat mengenai hukum Islam dan CEDAW hidup dalam masyarakat Indonesia
juga. Ibu Nursyahbani Katjasungkana
ialah pejabat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK.
Dia berpendapat bahwa hukum Islam pada prinsipnya tidak bertentangan
dengan CEDAW. Namun demikian, penafsiran
dari hukum Islam yang telah dikeluarkan memang bertentangan dengan CEDAW. Jadi, tidak perlu mengubah atau mencabut
hukum Islam. Melainkan, penafsiran hukum
Islam baru yang selaras dengan CEDAW perlu dibuat.[455]
Drs.
Haji Suharto M, ialah Hakim Tinggi Agama dari Pengadilan Tinggi Agama,
DIY. Dia mempunyai pemahaman bahwa hukum
Islam telah melindungi persamaan antara pria dan wanita. Tentu saja hukum Islam mengandung perbedaan
antara pria dan wanita tetapi perbedaan tersebut tidak bersifat diskriminatif. Melainkan, perbedaan tersebut berupa pembagian
tanggung jawab rumah tangga atau cuma job
description yang beda. Jadi, hukum
Islam tidak perlu disesuaikan dengan CEDAW.[456]
Drs.
Sudjana, SH, ialah seorang pengacara, ketua Parpol PSII 1905 dan penulis buku
tentang hukum Islam dan Adat. Dia merasa
hukum Islam tidak bersifat dan bahkan melarang diskriminasi terhadap
wanita. Sebagaimana demikian, hukum
Islam tidak jauh dari CEDAW.
Bagaimanapun juga, hukum Islam diciptakan Allah. HAM tidak diterima sepenuhnya dalam hukum
Islam. Jadi, kecuali ketentuannya yang
telah ada, hukum Islam tidak harus disesuaikan dengan CEDAW.[457]
BAB V – KESIMPULAN
Seorang
wanita yang mencari penghapusan diskriminasi atau perlindungan haknya
sebagaimana diggariskan CEDAW boleh menyimpulkan bahwa hukum Indonesia perlu
diubah. Dalam sistem hukum negara,
seorang wanita tersebut menemui pengakuan ketentuan CEDAW yang telah
lengkap. Pengakuannya terdapat dalam UUD
1945 maupun Pancasila secara perlu diperbaiki maupun TAP MPR No.XVII/MPR/1998
sebagaimana dilaksanakan UU No.39/1999 secara cukup bagus.
Bagaimanapun,
pengakuan hak dan penghapusan diskriminasi buat seorang wanita tersebut
dikurangi mekanisme penegakannya.
Mekanisme pengekannya perlu diubah dengan penetapan keberlakuan CEDAW
dalam hukum negara, pengukuhan hak menguji dalam lingkungan peradilan umum
maupun peradilan TUN dan peningkatan wewenang lembaga eksekutif seperti Komnas
HAM.
Hubungan
antara CEDAW dan hukum negara di Indonesia perlu ditetapkan. Hubungan tersebut sangat tidak jelas. Ada kemungkinan bahwa ketentuan CEDAW
sebagaimana disahkan UU No.7/1984 berlaku dalam hukum negara secara langsung
dan dapat ditegakkan sepenuhnya. Ada
kemungkinan lain ketentuan CEDAW tidak berlaku kecuali selama peraturan
pelaksana UU No.7/1984 dapat diundangkan.
Mudah-mudahan keberlakuan CEDAW ditegaskan secara sesuai dengan
kemungkinan pertama tersebut.
Hak
menguji dalam lingkungan peradilan umum maupun peradilan TUN perlu
dikukuhkan. Hak menguji sebagaimana
telah ditetapkan mengandung akibat bahwa mayoritas peraturan perundangan maupun
Keputusan TUN di Indonesia tidak dapat diuji terhadap HAM (termasuk penghapusan
diskriminasi terhadap wanita maupun perlindungan haknya). Hak menguji perlu diubah segala bentuk
peraturan perundangan dapat diuji terhadap HAM dalam bentuk tersebut.
Wewenang
lembaga eksekutif seperti Komnas HAM perlu diluaskan. Sekarang, wewenang tersebut berarti bahwa
Komnas HAM maupun KNKP tidak dapat mengikat pihak bersangkutan. Sebagaimana demikian, pelanggaran HAM tidak
dapat diatasi Komnas HAM atau KNKP dan dapat berjalan apapun pendapatnya. Wewenang Komnas HAM dan KNKP perlu tercantum
hak memaksakan pihak tersebut.
Tetapi
seorang wanita tersebut tidak perlu khawatir.
Perubahan untuk sistem hukum negara secara sesuai dengan CEDAW telah
dijamin oleh RANHAM, Ketentuan UU No.39/1999 terhadap Pengadilan HAM maupun
kebijakan Parpol yang lengkap.
Dalam
sistem hukum Islam, seorang wanita yang berperkara melalui Pengadilan Agama
menemui aturan yang bertentangan dengan CEDAW.
Di bidang perkawinan, seorang wanita
menemui aturan hukum Islam yang telah sesuai dengan CEDAW. Aturan tersebut adalah syarat persetujuan
untuk perkawinan, akad nikah maupun perjanjian perkawinan, kewajiban suami
isteri bersaling, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak dan perwalian.
Namun
demikian, seorang wanita masih menemui aturan hukum Islam terhadap perkawinan
yang melanggar CEDAW seperti poligami, peminangan, mahar, kedudukan maupun
kewajiban suami isteri, sahnya dan penegakan sahnya anak mereka maupun jalan putusnya
perkawinan. Di bidang kewarisan, seorang
wanita menemui aturan hukum Islam yang bertentangan dengan CEDAW
sepenuhnya.
Bagaimanapun
juga, hubungan antara hukum Islam dan CEDAW tidak diputuskan. Di muka hukum internasional, CEDAW wajib
dilaksanakan. Kalau ketentuan hukum
nasional baik dalam sistem hukum negara, Islam atau Adat mengurangi
pelaksanaaan CEDAW, ketentuan tersebut wajib diubah.
Sikap
Republik Indonesia terhadap syarat hukum internasional tersebut tidak
jelas. Peraturan perundangan yang telah
dikeluarkan, kebijakan Parpol maupun orang Indonesia tidak sependapat terhadap
harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW.
Ada kemungkinan bahwa hukum Islam dianggap perlu disesuaikan dengan
CEDAW. Namun demikian, masih ada orang
yang berpendapat bahwa hukum Islam dan kedudukan wanita di dalamnya bersifat
beda dari CEDAW dan tidak perlu disesuaikan.
Maka,
seorang wanita tersebut memang perlu khawatir tentang hukum Islam. Dia menemui aturan hukum Islam yang melanggar
CEDAW dan, selanjutnya, dia akan menemui pelanggaran CEDAW secara terus sampai
sikap Indonesia terhadap perubahan hukum Islam ditetapkan.
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang
Undang Dasar 1945
Perubahan
Pertama UUD 1945.
Konstitusi
RIS 1950
UUDS
1950.
TAP
MPRS No.XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
TAP
MPRS No.XXXIII/MPRS/1966 Tentang Pencabutan Mandataris MPRS dari Presiden
Sukarno.
TAP
MPR No.XLIV/MPRS/1968 Tentang Pengankatan Pejabat Presiden Republik Indonesia
TAP
MPR No.V/MPR/1973
TAP
MPR No.VII/MPR/1973 Tentang Keadaan Presiden Dan / Atau Wakil Presiden Republik
Indonesia Berhalangan,
TAP
MPR Nomor III/MPR/1978 Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga
Tertinggi Negara Dengan / Atau Antar Lembaga Lembaga Tinggi Negara
TAP
MPR No. IX/MPR/1978.
TAP
MPR No. VII/MPR/1998 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas TAP MPR No.I/MPR/1983
Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diuban dan Ditambah Terakhir Dengan TAP MPR No.
1/1998
TAP
MPR No.X/MPR/1998 Tentang Pokok Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka
Penyelamatan Dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara
TAP
MPR No.XIII/MPR/1998 Tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia.
TAP
MPR No.XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia
TAP
MPR No.XVIII/MPR/1998 Tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan Dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) Dan Penetapan Tentang Penegasan
Pancasila Sebagai Dasar Negara.
TAP
MPR No.I/MPR/1999 Tentang Perubahan Kelima Atas TAP MPR RI No.I/MPR/1983
Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyyawaratan Rakyat Republik
Indonesia
TAP
MPR No.II/MPR/1999 Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia.
TAP
MPR No.IV/MPR/1999 Tentang Garis Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.
TAP
MPR No.VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia.
TAP
MPR No.VII/MPR/1999 Tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia
TAP
MPR No.VIII/MPR/1999 Tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republic Indonesia.
TAP
MPR No.IX/MPR/1999 Tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Untuk Melanjutkan Perubahan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU
No.19/1948 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
UU
No.7/1950.
UU
No.32/1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
UU
No.14/1970 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
UU
No.1/1974 Tentang Perkawinan.
UU
No.5/1974 tentang Pokok Pokok Pemerintah di Daerah
UU
No.5/1979 Tentang Pemerintahan Desa
UU
No.7/1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention
on the Elimination of All Forms of Discirmination Against Women).
UU
No.14/1985 Tentang Mahkamah Agung
UU
No.5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
UU
No.7/1989 Tentang Peradilan Agama.
UU
No.10/1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
UU
No.20/1992 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama
UU
No.5/1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman
Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
UU
No.2/1999 tentang Partai Politik
UU
No.3/1999 Tentang Pemilihan Umum
UU
No.4/1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD
UU
No.19/1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No.105 Concerning the Abolution of Forced Labour (Konvensi ILO
Mengenai Penghapusan Kerja Paksa),
UU
No.20/1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No.138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi
ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja),
UU
No.21/1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No.111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and
Occupation (Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan
Jabatan).
UU
No.22/1999 tentang Pemerintah di Daerah
UU
No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
UU
No.26/1999 Tentang Pencabutan UU/11/PNPS/1963 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Subversi
UU
No.29/1999 Tentang Pengesahan International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi
Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965).
UU
No.35/1999 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
UU
No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia
KepPres
No.48/1950.
KepPres
No.52/1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara;
KepPres
No.16/1992 Tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Bandung, di
Semarang dan di Padang.
KepPres
No.50/1993 Tentang Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
KepPres
No.129/1998 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Hak Asasi Manusia,
KepPres
No.181/1998 Tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekarasan Terhadap
Perempuan.
KepPres
No.l88/1998 Tentang Tata Cara Mepersiapkan Rancangan Undang Undang
KepPres
No.44/1999 Tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Dan Bentuk
Rancangan Undang Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Dan Rancangan Keputusan
Presiden.
PP
No.9/1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan
PP
No.28/1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
PP
No.7/1991 Tentang Penerapan UU No.5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
PP
No.43/1991 Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaskanaanya Pada Peradilan Tata
Usaha Negara
InPres
No.1/1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.6/1977 Tentang Tata pendaftaran Tanah Mengenai
Perwakafan Tanah Milik,
Peraturan
Menteri Agama Nomor 1/1978
Peraturan
Menteri No.SE-04/Men/1988
Keputusan
Menteri Agama No.154/1991 Tentang Pelaksanaan InPres No.1/1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam.
PERMA
No.1/1993.
Surat
Presiden No.2826/HK/1960.
Rancangan
Keputusan Pimpinan MPRS No.: A3/1/Ad Hoc B/MPRS/1966 Tentang Piagam Hak Hak
Asasi Manusia dan Hak Hak Serta Kewajiban Warga Negara.
DAFTAR PUSTAKA
H.
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam,
Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Amrullah
Ahmad (ed.), Dimensi Hukum Islam Dalam
Sistem Hukum Nasional, Gema Insani
Press, Jakarta, 1998.
Mohammad
Daud Ali, SH, Hukum Islam: Pengantar Ilmu
Hukum Dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Gratindo Persada, Jakarta,
1998.
J
N D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern,
Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994.
Chairul
Anwar, Hukum Internasional: Pengantar
Hukum Bangsa Bangsa, Djambatan, Jakarta, 1989.
Prof.
Dr. Busthanul Arifin, SH, Pelembagaan
Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Gema
Insani Press, Jakarta, 1996.
Muhammad
Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut
Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Drs.
Saafroedin Bahar, Hak Asasi Manusia:
Analisis Komnas HAM Dan Jajaran HANKAM / ABRI, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1997.
H.
Ahmad Azhar Basyir MA, Hukum Waris Islam,
Bagian Penerbitan Fakulas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,
1998.
Drs.
Cik Hasran Bisri, Peradilan Agama di
Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998.
Drs.
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam
Tatanan Masyarakat Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997.
A.
Rachmad Budiono, SH, MH, Pembaruan Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Dr.
Lance Castles (Pengantar), Tujuh Mesin
Pendulang Suara, Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999, Jakarta, 1999.
Dr.
Lance Castles, "The Program of the Partai Amanat Nasional",
unpublished, 1999.
Dr.
H. Chuzaimah dan Dr. T. Yanggo, Problematika
Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.
Drs.
Rojikin Daman, Pancasila Dasar Falsafah
Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Prof.
Darji Darmodiharjo dkk., Santiaji
Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1990.
R.
Abdul Djamali, SH, Hukum Islam,
Mandar Maju, Bandung, 1997.
Saekan
Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Arkola Surabaya, Surabaya, 1997.
A.
Malik Fadjar dkk., Pancasila: Dasar,
Filsafat Negara, UMM Press, Malang, 1992.
Ahmad
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,
Bulan Bintang, Jakarta, 1986.
Ni'matul
Huda, Hukum Tata Negara: Kajian Teoritis
dan Yurdis Terhadap Konstitusi Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999.
Mohammad
Farid (ed.), Perisai Perempuan:
Kesepakatan Internasional Untuk Perlindungan Perempuan, LBH APIK, Jakarta,
1999.
Andi
Tahir Hamid, SH, Beberapa Hal Baru
Tentang Pengadilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, Jakarta, 1997.
Drs.
Ahrun Hoerundin, SH, Pengadilan Agama:
Bahsan Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara dan Keweangan Pengadilan Agama
Setelah Berlakunya Undang Undang No.7/1989 Tentang Peradilan Agama, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Drs.
Ismauan, Tinjauan Pancasila, Carya
Remadja, Bandung, 1991.
Prof.
Dr. F. Sugeng Istanto, SH, Hukum
Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1998.
O
C Kaligis, SH, Praktek Pratkek Peradilan
Tata Usaha Negara Di Indonesia: Buku Pertama, Alumbi, Bandung, 1999.
R
G Kartasapoetra, SH, Sistematika Hukum
Tata Negara, Bina Asara, Jakarta, 1987.
Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Pengantar
Hukum Internasional, Putrabardin, Bandung,
1999.
Alex
Lanur (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi
Terbuka, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Suhrawardi
K Lubis, SH; Komis Simanjuntak, SH, Hukum
Waris Islam: Lengkap dan Praktis, Sinar Grafika, Jakarta, 1999.
Ratno
Lukito, Pergumalan Antara Hukum Islam dan
Adat di Indonesia INIS, Jakarta, 1998..
Prof.
Dr. Muchsan, SH, "Penggantian UUD 1945 Menuju Indonesia Baru Yang
Demokratis" Makalah Seminar "Amandmen UUD 1945", Fakultas
FISIPOL, Universitas Gadjah Mada (UGM), Tanggal 18 September Tahun 1999
Dr.
Suwarmaal Muchtar, SH, Peradilan Tata
Usaha Negara, Epsilon Grup, Bandung, 1999.
B
J Nasution dan S Warjiati, Hukum Perdata
Islam: Kompetensi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah,
Wakaf dan Shodaqah, Mandar Maju, Bandung, 1997.
Y.
Sri Pudyatmoko, SH dan W. Riawan Tjandra, SH, Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol
Pemerintah, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1996.
Mohd.
Iris Ramulyo, SH, MH, Hukum Perkawinan
Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.
Prof.
Dr. A. Gunawan Setiardja, Hak Hak Asasi
Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogkayarta, 1993.
Prof.
Mr. Herman Sihombing, Hukum Tata Negara
Darurat di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996.
Soehino,
SH, Hukum Tata Negara: Negara Kesatuan
Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 Adalah
Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985.
Soehino
SH, Hukum Tata Negara: Sejarah
Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992.
Soehino
SH, Perkembangan Pemerintah di Daerah,
Liberty, Yogyakarta, 1995.
Soehino
SH, Hukum Tata Negara: Teknik
Perundang-undangan, Liberty, Yogyakarta, 1996.
Prof.
Dr. H. R. Sri Soemantri, M, SH, Hak Uji
Material di Indonesia, Alumni, Bandung,. 1997.
Ny.
Soemiyati, SH, Hukum Perkawinan Islam dan
Undang Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1997.
Prof.
R Subekti SH, Kekuasaan Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Alumni, Bandung, 1980.
Drs.
Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam,
Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
Bambang
Sunggono, SH, MS dan Aries Harianto, SH, Bantuan
Hukum dan HAM, Mandar Maju, Bandung, 1994.
Edy
Suryono SH, Praktek Ratifikasi Perjanjian
Internasionl di Indonesia, Remadja Karya, Bandung, 1988.
Sudirman
Tebba (ed.), Perkembangan Mutakhir Hukum
Islam di Asia Tenggara, Mizan, Bandung, 1993.
Sajuti
Thalib, SH, Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Tim
Alumni (ed.), Kasus Pencabutan SIUPP
Majalah Tempo: Suatu Yurisprudensi dalam Bidang Hukum Nasional Indonesia,
Alumni, Bandung, 1998.
Samsul
Wahidin, SH, Hak Menguji Materiil Menurut
UUD 1945, Cendana Press, Jakarta, 1984.
H.
Abdullah Zaini, SH, Pengantar Hukum Tata
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991.
0 Response to "SKRIPSI HUKUM TATA NEGARA `KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUM ISLAM DI REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL’ "
Post a Comment