Pendahuluan
Disadari bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke adalah negara besar yang kaya akan sumberdaya, baik sumber daya alam maupun manusia. Kekayaan sumber daya manusia mencakup aneka-ragam suku bangsa, adat-istiadat dan budaya. Letak Indonesia secara ekonomi juga sangat strategis dalam lalu-lintas dunia, percaturan ekonomi dan politik internasional.
Sebuah wilayah yang kaya akan sumberdaya alam, tidaklah dengan sendirinya memberikan kemakmuran bagi warga masyarakatnya, jika sumberdaya manusia yang ada tidak mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi guna memanfaatkan sumber alamnya. Sebaliknya, sebuah wilayah yang miskin sumber alam, namun cakap dalam mengembangkan teknologi, ternyata lebih cepat berkembang dibandingkan wilayah lainnya yang tidak cukup mempunyai sumberdaya alam dan manusia yang unggul. Hal ini berarti bahwa sumberdaya manusia ternyata memiliki peran penting dalam proses pemakmuran sebuah wilayah. Sumber daya manusia berperan ganda, baik sebagai obyek namun sekaligus sebagai subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, SDM merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan, dan sebagai subyek, SDM berperan sebagai pelaku pembangunan yang sangat menentukan kemajuan.
Kawasan Timur Indonesia(KTI), diakui mempunyai sumberdaya alam (SDA) yang sangat melimpah. Wilayah ini sesungguhnya sangat potensial untuk menjadi kekuatan ekonomi baik pada tingkat nasional, regional, maupun internasional. Sayangnya, sumberdaya manusia yang tersedia di kawasan ini sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kemampuan masyarakat lokal masih sangat rendah dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah. Sedangkan kebijakan pembangunan di KTI masih belum sepenuhnya menempatkan SDM sebagai target dan basis pembangunan. Konsep pembangunan di KTI masih belum sepenuhnya berciri human development (pembangunan manusia), yaitu sebuah pembangunan yang berorientasi pada manusia (people center development), di mana manusia dipandang sebagai sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan. Sebaliknya, kebijakan pembangunan KTI masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan penggalakan investasi besar-besaran.
Kondisi Demografis KTI
Pada tahun 2005, Penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai jumlah 225,2 juta jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 13% berada di KTI. Jika dilihat dari persebarannya, tampak tidak merata. Sebagian besar (60%) tinggal di P. Jawa, 20% di Sumatera, 7% di Sulawesi, 5,5% di Kalimantan, 1% di Irian Jaya, dan sisanya (6,5%) tinggal di pulau-pulau lainnya. Padatnya penduduk di P. Jawa ini karena banyaknya penduduk dari luar pulau Jawa yang bermigrasi masuk ke pulau Jawa.
Pada tahun 1999 KTI memiliki jumlah penduduk 35.326.300 jiwa dengan tingkat pertumbuhan pen-duduk 2,15 persen per tahun. Dari jumlah tersebut, 68 persen (17.032.877 jiwa) merupakan pen-duduk berusia diatas 15 tahun (merupakan angkatan kerja), sedang sisanya (8.128.238 jiwa) bukan angkatan kerja. Tingkat keter-gantungan (dependency ratio) penduduk (rasio antara jumlah penduduk terhadap penduduk usia kerja) di KTI adalah 1,52. Hal ini berarti bahwa setiap orang pekerja harus menanggung beban hidup 1,52 orang.
Kesejahteraan sumber daya manusia di KTI dapat dilihat dari angka indeks pembangunan manusia (IPM), di mana semakin tinggi angka IPM suatu wilayah, semakin baik kondisi kesejahteraan masyara-kat di wilayah tersebut. Rata-rata IPM di KTI adalah 65,8 (BPS, 2000). Sedang laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 1999 adalah –0,54 persen, sedang secara nasional pertumbuhan ekonomi adalah 1,09 persen. Untuk itu, dalam upaya meningkatkan perekonomian KTI, yang juga merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan memanfaatkan sumberdaya alam setempat, diperlukan peningkatan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia melalui berbagai upaya peningkatan di bidang pendidikan, kesehatan dan ketrampilan agar masyarakat KTI mampu mengolah sumberdaya alamnya secara optimal.
Secara keseluruhan pola kelompok umur SDM di KTI tidak jauh berbeda dengan pola SDM di Indonesia, yaitu sebagian besar terkonsentrasi pada kelompok usia muda antara 15-40 tahun. Sedang apabila dilihat dari jenis kelamin, maka baik angkatan kerja laki-laki maupun perempuan mempunyai pola pengelompokkan umur yang relatif sama dengan pola Indonesia seperti halnya terlihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1.
Penduduk 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kelamin
Dan Kelompok
Umur Di KTI dan Indonesia Tahun 1999 (%)
Kelompok
Umur
|
K T I
|
Indonesia
|
||||
Laki
|
Prmp
|
Total
|
Laki
|
Prmp
|
Total
|
|
15 – 19
|
8,25
|
7,99
|
16,24
|
7,89
|
7,38
|
15,27
|
20 – 14
|
6,16
|
6,86
|
13,03
|
6,01
|
5,46
|
12,47
|
25 – 29
|
5,78
|
6,83
|
12,62
|
5,78
|
6,54
|
12,31
|
30 – 34
|
5,29
|
5,85
|
11,14
|
5,37
|
5,77
|
11,14
|
35 – 39
|
5,35
|
5,62
|
10,97
|
5,53
|
5,80
|
11,33
|
40 – 44
|
4,75
|
4,38
|
9,13
|
4,75
|
4,34
|
9,09
|
45 – 49
|
3,80
|
3,75
|
7,55
|
3,99
|
3,72
|
7,71
|
50 – 54
|
2,93
|
2,86
|
5,79
|
2,92
|
2,85
|
5,77
|
55 – 59
|
2,21
|
2,12
|
4,33
|
2,29
|
2,30
|
4,59
|
60 – 64
|
1,84
|
1,87
|
3,71
|
1,99
|
2,06
|
4,05
|
65 – 69
|
1,14
|
1,28
|
2,42
|
1,31
|
1,43
|
2,74
|
70 – 74
|
0,71
|
0,81
|
1,52
|
0,96
|
0,98
|
1,94
|
75 +
|
0,74
|
0,81
|
1,55
|
0,75
|
0,83
|
1,58
|
Total
|
48,95
|
51,05
|
100,00
|
49,56
|
50,44
|
100,00
|
Sumber : BPS, Sakernas 1999 (diolah)
Untuk melihat
kualitas sumberdaya manusia di Indonesia
, dan KTI pada khususnya, dapat
didekati dengan acuan utama ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Terdapat
tiga komponen utama dalam menetapkan IPM, yaitu pendidikan yang dijabarkan dalam
rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan; kesehatan yang ditunjukkan dengan angka kematian bayi atau
rata-rata harapan hidup, dan ketenagakerjaan yang mempengaruhi akses terhadap
sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pembangunan
sumberdaya manusia di Indonesia
yang didasarkan pada ketiga
parameter tersebut (pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan), belum merata
antar berbagai kawasan karena pembangunannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
geografis dan sosial budaya setempat. Hal ini terjadi pula di Kawasan Timur
Indonesia (KTI) yang hingga kini sedang dilakukan langkah-langkah strategis
oleh pemerintah serta masyarakatnya. Upaya ini selain untuk mengejar
ketinggalan dengan kawasan lain, juga untuk meningkatkan jumlah sumberdaya
manusia yang lebih berkualitas dan berefek ganda, yaitu disatu pihak memiliki
daya saing tinggi menghadapi pasar global, juga mampu mengolah sumberdaya
alamnya guna menciptakan kemandirian dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan
salah satu sarana untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia. Dengan pendidikan
dapat ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang selanjutnya akan berdampak
pada peningkatan produktivitas.
Pendidikan dapat
pula dilihat sebagai investasi sumberdaya manusia dan hasilnya akan diperoleh
beberapa tahun kemudian (Tjiptoherijanto P, 1996). Walaupun saat ini ada
kecenderungan bahwa sarjana lulusan perguruan tinggi lebih banyak yang
menganggur daripada bekerja. Hal, ini terutama disebabkan terbatasnya lapangan
pekerjaan yang tersedia, padahal penduduk yang lulus perguruan tinggi setiap
tahunnya selalu bertambah. Sebagai akibatnya banyak diantara para sarjana yang
bekerja pada bidang yang bukan keahliannya. Hal ini terpaksa dilakukannya
dengan pertimbangan daripada menganggur.
Secara nasional
kebijakan di bidang pendidikan sebenarnya telah meningkatkan pendidikan
angkatan kerja hampir di semua wilayah termasuk KTI, khususnya terlihat pada
tingkat pendidikan menengah (SLTP keatas). Kualitas sarana dan prasarana
pendidikan di KTI cukup meningkat, namun kebanyakan terkonsentrasi
didaerah-daerah tertentu, terutama di ibukota provinsi. Sedang sekolah-sekolah
kejuruan serta pelatihan-pelatihan BLK yang sesuai dengan potensi lokal dirasa
masih kurang. Pencapaian pendidikan dibeberapa wilayah di KTI cukup menonjol,
khususnya di Provinsi Sulawesi mengingat sudah berdirinya perguruan tinggi
negeri dan beberapa perguruan tinggi swasta. Dalam perspektif geografis, ada ketimpangan
fasilitas dan akses pendidikan di daerah perkotaan dan daerah pedesaan
(terutama daerah terpencil), yang mengakibatkan pencapaian pen-didikan angkatan
kerja diperkotaan lebih tinggi daripada pedesaan.
Faktor-faktor yang
ber-pengaruh di bidang pendidikan antara lain adalah isu keterbatasan dan
pemerataan sarana dan prasarana (sekolah, peralatan, buku dan guru). Disamping
itu pertumbuhan ekonomi KTI yang nol, sangat berpengaruh terhadap kecukupan
tenaga pengajar dan kesejahteraan guru yang akan berpengaruh terhadap kualitas
pendidikan. Kendala geografis dan faktor sosial yang ada di KTI juga
berpengaruh terhadap pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. Hal ini mengingat
adanya penilaian bahwa anak tidak lebih sebagai tenaga kerja daripada sebagai
investasi sumberdaya manusia di bidang pendidikan.
Secara umum tingkat
pendidikan penduduk khususnya angkatan kerja di KTI mayoritas masih didominasi
oleh penduduk yang memiliki pendidikan SD kebawah, dan sekitar 38 % mempunyai
pendidikan yang dikelompokkan sebagai pendidikan menengah (SMTP, SMTA dan
Diploma 1 dan 2), sedangkan sisanya hanya sekitar 2% mempunyai tingkat
pendidikan relatif tinggi (Akademi dan Perguruan Tinggi). Gambaran ini dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2
Kualitas Sumberdaya Manusia Menurut Pendidikan di KTI dan Indonesia , 1999
Tk Pendidikan
|
KTI
|
Indonesia
|
||||
Lk
|
Prp
|
Total
|
Lk
|
Prp
|
Total
|
|
Tdk Sek
|
4.10
|
6.67
|
10.77
|
2.79
|
6.16
|
8.95
|
Tdk tmt Sd
|
7.18
|
8.08
|
15.26
|
7.08
|
8.65
|
15.73
|
SD
|
15.37
|
17.64
|
33.00
|
17.24
|
17.63
|
34.87
|
SMTP-U
|
8.93
|
8.19
|
17.12
|
8.89
|
7.74
|
16.63
|
SMTP-K
|
0.95
|
0.84
|
1.79
|
1.09
|
1.00
|
2.08
|
SMTA-U
|
7.60
|
5.77
|
13.36
|
7.11
|
5.28
|
12.39
|
SMTA-K
|
3.03
|
2.55
|
5.58
|
3.33
|
2.49
|
5.81
|
Dipl 1 /2
|
0.34
|
0.31
|
0.65
|
0.31
|
0.36
|
0.67
|
Dipl 3/Ak
|
0.40
|
0.31
|
0.71
|
0.55
|
0.45
|
0.99
|
PT
|
1.10
|
0.64
|
1.74
|
1.16
|
0.70
|
1.86
|
Total
|
49.00
|
51.00
|
100.00
|
49.56
|
50.44
|
100.00
|
Sumber: BPS, Sakernas 1999 (diolah)
Rendahnya tingkat
pendidikan angkatan kerja di KTI juga telah mengakibatkan rendahnya parti-sipasi
penduduk dalam kegiatan pembangunan. Hal ini mengingat banyak diantara mereka
yang tidak dapat memasuki pasaran kerja terutama yang memerlukan ketrampilan
khusus. Oleh karena itu banyak sektor pasar kerja tertentu diisi oleh pendatang
(migran) dari luar KTI. Adanya kompetisi dalam memasuki pasar kerja tersebut
merupakan salah satu pemicu munculnya konflik antara pendatang (migran) dengan
bukan pendatang (non migran). Konflik tersebut kadang-kadang dikaitkan pula
dengan isu-isu SARA yang dapat menimbulkan kerusuhan sosial.
Dari gambaran diatas
terlihat bahwa kondisi pendidikan di KTI perlu mendapat perhatian khusus. Salah
satu strategi yang dapat dikembangkan dalam rangka peningkatan bidang
pendidikan di KTI adalah dengan peningkatan partisipasi sekolah terutama
sekolah dasar, sekolah menengah dan pendidikan sejenis yang setara, pendirian
sekolah-sekolah kejuruan yang sesuai dengan potensi sumberdaya setempat,
peningkatan mutu perguruan tinggi dan peningkatan akses untuk mengikuti
Pendidikan Tinggi (di dalam negeri dan di luar negeri)
Tingkat Kesehatan
Derajat kesehatan
masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, perilaku kesehatan,
pelayanan kesehatan dan kependudukan. Angka kematian bayi merupakan salah satu
indikator untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat. Meskipun angka kematian
bayi di Indonesia menunjukkan penurunan yang sangat signifikan sebagai dampak
pelaksanaan pembangunan di segala bidang, termasuk intervensi program kesehatan
yang sangat intensif dilaksanakan di seluruh pelosok tanah air, namun dengan
terjadinya krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan tahun 1997 dapat
dipastikan bahwa angka kematian bayi dapat meningkat kembali sejalan dengan
meningkatnya prevelensi balita kekurangan energi dan protein. Pembangunan di bidang
kesehatan merupakan bagian dari investasi yang perlu diperhatikan dan
keberhasilan di bidang tersebut akan memberikan andil dalam mempercepat
pembangunan di kawasan timur Indonesia (KTI).
Data Susenas, 2000
memberikan gambaran perbedaan atau perbandingan kematian antar daerah, dimana
untuk KTI angka kematian kelompok umur 0-14 tahun lebih tinggi dari angka
rata-rata nasional. Gambaran tentang angka kematian ini dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 3.
Angka Kematian Umur 0-14 Tahun Menurut Kawasan
Kawasan
|
Perkotaan
|
Pedesaan
|
K + D
|
Kawasan Timur Indonesia
Kalimantan
Sulawesi
NTB/NTT/Irja
|
2,6
1,9
3,1
3,1
|
4,4
3,0
4,5
5,6
|
4,0
2,7
4,2
5,0
|
Sumatera
Jawa-Bali
|
3,0
2,2
|
2,7
3,1
|
2,8
2,7
|
INDONESIA
|
2,4
|
3,3
|
3,0
|
Sumber: Susenas, 2000
Kelangsungan hidup
anak dapat diindikasikan dari rasio anak yang masih hidup terhadap anak lahir
hidup yang dilahirkan ibu usia subur. Data Susenas, 2001 melaporkan rata-rata
anak lahir hidup per wanita usia subur di KTI adalah 3,40 anak. Di pedesaan
(3,50) lebih tinggi daripada di perkotaan (3,16). Dari anak lahir hidup
tersebut 95% dilaporkan masih hidup atau 15% meninggal. Persentase yang
meninggal dilaporkan lebih tinggi dipedesaan (16%) daripada diperkotaan (12%).
Disamping itu pola kematian perkotaan lebih rendah dari pedesaan.
Tingginya angka
kematian di Kawasan Timur Indonesia
ini mengingat fasilitas layanan
kesehatan di KTI masih jauh tertinggal dibandingkan kawasan lainnya, demikian
pula di KTI sendiri fasilitas layanan kesehatan antar region sangat
memprihatinkan. Perbedaan mencolok kesulitan akses ke fasilitas layanan
terlihat antar perkotaan dan pedesaan. Diantara region di KTI, kesulitan akses
ke fasilitas layanan kesehatan di kepulauan NTB, NTT, Maluku dan Irja terlihat
paling tinggi diikuti oleh Kalimantan
dan Sulawesi
.
Melalui survai
Potensi Desa (Podes) tahun 2000, BPS meng-identifikasi desa-desa yang
di-nyatakan sulit memperoleh akses terhadap fasilitas layanan kesehatan. Di KTI
adalah sulitnya akses ke fasilitas RS (62%), RSB (72%), dokter (50%), dan
apotik (62%). Gambaran ini menunjukkan betapa terbatasnya jumlah fasilitas
kesehatan yang dapat di capai di tingkat desa yang ada di KTI.
Tingginya tingkat
kesulitan untuk mendapatkan fasilitas layanan kesehatan di KTI menyebabkan
banyaknya masyarakat melakukan pengobatan sendiri tanpa datang ke fasilitas
kesehatan atau memanggil dokter/petugas kesehatan untuk menyembuhkan atau
meringankan keluhan kesehatan. Cara pengobatan meliputi pemakaian obat modern,
obat tradisional dan lainnya (misal bahan makanan suplemen/ pelengkap alami,
kerokan dan pijat). Di samping sulitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan
karena kurangnya fasilitas yang ada, juga kurang mampunya masyarakat
menggunakan fasilitas layanan kesehatan di KTI ini dilatarbelakangi oleh
keadaan sosial ekonomi di masyarakat. Kondisi sosial ekonomi yang ditandai
banyaknya masyarakat miskin merupakan ciri ketertinggalan di KTI khususnya di
daerah kepulauan lain (NTB, NTT, Maluku dan Irja). Hasil survei Podes
memberikan gambaran persentase desa yang dinilai miskin dan sangat miskin
seperti terlihat pada tabel dibawah. Tabel tersebut menggambarkan
keterbelakangan KTI dengan persentase desa miskin atau sangat miskin yang cukup
tinggi terutama di kepulauan lain (NTB/NTT/Irja).
Tabel. 4
Persentase Desa Miskin atau Sangat Miskin Menurut Kawasan
Kawasan
|
Perkotaan
|
Pedesaan
|
K + D
|
Kawasan Timur Indonesia
Kalimantan
Sulawesi
NTB/NTT/Irja
|
11,1
4,9
10,5
17,6
|
49,1
39,4
39,3
66,3
|
46,9
37,9
37,1
64,2
|
Sumatra
Jawa-Bali
|
10,4
4,1
|
48,3
19,8
|
45,2
17,1
|
INDONESIA
|
6,8
|
38,8
|
35,3
|
Sumber : Podes 2000
Selain kondisi
sosial ekonomi masyarakat di KTI, faktor geografis dan transportasi juga
merupakan salah satu permasalahan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan.
Terbatasnya penyediaan sarana kesehatan yang berupa tenaga medis, peralatan
medis, obat-obatan, vaksin dan sebagainya serta kelangkaan sarana transportasi,
jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya tempuh merupakan faktor-faktor penyebab
rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, dan menyebabkan
rendahnya penggunaan sarana pelayanan kesehatan yang ada oleh masyarakat.
Secara kuantitatif rasio antara jumlah penduduk per Puskesmas memang rendah.
Hal ini mengingat letak puskesmas banyak yang jauh dari masyarakat pengguna,
sehingga pemanfaatannya juga menjadi rendah.
Dalam upaya
meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan diperlukan tenaga dokter
yang cukup. Jumlah tenaga dokter yang bekerja di Puskesmas, Rumah Sakit Depkes,
RS Pemda yang memberikan pelayanan kesehatan per 100.000 penduduk masih berada
dibawah angka rata-rata yaitu 10,62 orang (Depkes, Profil Kesehatan Indonesia,
1999:76). Untuk itu perlu dilakukan upaya dalam rangka mengatasi masalah tenaga
kesehatan diantaranya dengan program dokter pegawai tidak tetap (PTT) dan bidan
PTT terutama bagi daerah-daerah terpencil dan pedesaan.
Untuk
terselenggaranya pe-layanan yang bermutu, maka SDM yang ada harus didukung oleh
penerapan pelbagai kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran. Disamping itu untuk
menetapkan kemandirian masyarakat dalam pola hidup sehat perlu digalang
peranserta masyarakat yang seluas-luasnya.
Ketenagakerjaan
Pertumbuhan angkatan
kerja yang relatif tinggi di KTI saat ini tidak dapat dipisahkan dari laju
pertumbuhan penduduk di masa lalu. Meskipun laju pertumbuhan penduduk mulai
menurun, pertumbuhan angkatan kerja di KTI masih relatif tinggi karena adanya
angkatan kerja baru, yaitu penduduk usia 10 tahun ke atas.
Masalah yang krusial
yang dihadapi KTI adalah masalah yang berkaitan dengan pasar kerja yaitu
semakin banyaknya jumlah penganggur. Masalah ini timbul sebagai akibat adanya
ketidak-seimbangan antara persediaan tenaga kerja dengan kebutuhan tenaga
kerja. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya ketidak-seimbangan
pasar kerja tersebut adalah ketidak cocokan keinginan atau kebutuhan antara
pasar kerja dengan pengguna tenaga kerja. Disamping itu seringkali dijumpai
ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki pencari kerja kurang sesuai dengan
persyaratan yang diminta, sedang pengguna tenaga kerja umumnya mensyaratkan
kualifikasi yang dibutuhkan harus sesuai dengan bidang pekerjaan yang
ditawarkan baik dilihat dari tingkat pendidikan, ketrampilan, keahlian dan
pengalaman kerja.
Berdasarkan data
yang disajikan pada tabel berikut ini terlihat bahwa lapangan kerja yang ada di
KTI belum dapat sepenuhnya menyerap tenaga kerja. Secara keseluruhan terdapat
7.92% tingkat pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran terbuka untuk tenaga
kerja perempuan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran
laki-laki. Tingkat pengangguran terbuka perempuan mencapai lebih dari dua kali
lipat tingkat pengangguran terbuka laki-laki yaitu 11,20% bagi perempuan
dibandingkan dengan 5,36% bagi laki-laki. Pola ini agak berbeda dengan pola
yang terjadi di tingkat nasional, dimana tingkat pengang-guran terbuka
laki-laki relatif hampir sama dibandingkan dengan tingkat penganggur terbuka
perempuan.
Tingginya tingkat
pengang-guran penduduk perempuan tersebut dapat dimaklumi karena secara alam
kebanyakan diantara mereka masih terikat oleh kultur yang secara tidak langsung
mengekang partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Untuk memperlancar
aktivitas pembangunan, seyogyanya perem-puan diberi kesempatan yang
sebesar-besarnya dalam memasuki pasar kerja. Apabila penduduk perempuan yang
terdidik tersebut dibiarkan menganggur tentunya merupakan pemborosan sumberdaya
manusia yang besar pula.
Sebaliknya penduduk
di KTI yang berpendidikan SD kebawah ternyata tingkat penganggurannya lebih
rendah daripada penduduk yang berpendidikan lebih tinggi (SLTA keatas).
Fenomena tersebut juga terlihat di KBI. Rendahnya tingkat pengangguran
dikalangan penduduk yang berpendidikan rendah karena mereka mau melaksanakan
pekerjaan apa saja tanpa ada perasaan malu. Pekerjaan yang mereka lakukan
biasanya berkaitan dengan pekerjaan kasar seperti buruh pertanian, buruh
bangunan, tukang becak, calo dan sopir. Semua pekerjaan tersebut jarang atau
tidak mungkin dilakukan oleh penduduk yang berpendidikan tinggi, jika tidak
terpaksa sekali.
Gambaran ini
menunjukkan bahwa penduduk yang berpendidikan rendah mempunyai partisipasi yang
cukup tinggi dalam kegiatan perekonomian di KTI. Hal ini tercermin dari
rendahnya tingkat pengangguran di kalangan ini. Selain itu, banyak pula
penduduk di KTI yang bekerja sebagai tenaga usaha penjualan, seperti usaha
perdagangan, baik dalam skala besar maupun skala kecil. Pekerjaan
berdagang/berjualan merupakan pekerjaan yang ringan dan resiko yang dihadapi
relatif kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penduduk yang
berpendidikan lebih tinggi, lebih senang menganggur daripada bekerja pada
bidang yang bukan keahliannya. Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak dapat
secara langsung terserap dalam pasar kerja. Hal ini apabila tidak ditanggulangi
secara seksama tentunya merupakan pemborosan sumberdaya manusia mengingat biaya
yang dikeluarkan untuk keperluan pendidikan cukup besar.
Tabel 5
Kegiatan Tenaga Kerja di Pasar Kerja KTI dan Indonesia (%)
Kegiatan
|
KTI
|
Indonesia
|
||||
Lk
|
Prp
|
Total
|
Lk
|
Prp
|
Total
|
|
Angkatan kerja
|
100.00
|
100.00
|
100.00
|
100.00
|
100.00
|
100.00
|
Bekerja
|
94.64
|
88.80
|
92.08
|
93.97
|
93.12
|
93.64
|
Cari kerja
|
5.36
|
11.20
|
7.92
|
6.03
|
6.88
|
6.36
|
Pernah kerja
|
28.08
|
16.12
|
20.66
|
38.30
|
27.98
|
34.01
|
Tdk Pernah kerja
|
71.92
|
83.88
|
79.34
|
61.70
|
72.02
|
65.99
|
Bukan Angkatan
kerja
|
100.00
|
100.00
|
100.00
|
100.00
|
100.00
|
100.00
|
Sekolah
|
49.94
|
13.95
|
21.28
|
49.67
|
15.04
|
23.64
|
Mengurus RT
|
5.59
|
73.63
|
59.77
|
5.47
|
72.58
|
55.91
|
Lainnya
|
44.47
|
12.42
|
18.95
|
44.85
|
12.38
|
20.45
|
Sumber : BPS, Sakernas 1999 (diolah)
Gambaran di atas
menunjukkan indikasi adanya ketidak sepadanan antara peluang kerja yang
tersedia dengan jumlah pencari kerja. Sementara sulit bagi investor untuk
mendapatkan tenaga kerja lokal yang siap pakai dan sesuai dengan kualifikasi
yang diinginkan sehingga kadangkala peluang kerja yang ada di KTI diisi oleh
tenaga kerja dari luar KTI. Persaingan kesempatan kerja di sektor informal
banyak dijumpai di KTI. Dominasi para pendatang di KTI dalam pasar kerja,
memberikan petunjuk bahwa penduduk di daerah tersebut cenderung sebagai pihak
yang kalah dalam memperebutkan pasar kerja. Rendahnya kualitas penduduk,
terutama dari pendidikan dan ketrampilan merupakan salah satu penyebab banyaknya
penduduk KTI yang menganggur disamping karena faktor sosial budaya.
Dalam hal ini, yang
perlu mendapat perhatian adalah bahwa dengan terjadinya arus migran yang tinggi
ke beberapa provinsi di KTI diperlukan keseimbangan dan keserasian dalam
kehidupan sehari-hari antara pendatang dan penduduk setempat, terutama dalam
hubungannya dengan kebutuhan untuk mengisi peluang kerja. Dengan demikian,
persaingan antara penduduk asli yang kurang berpengalaman dengan pendatang yang
lebih siap pakai tidak menimbulkan potensi terjadinya disintegrasi antar etnis.
Dari kondisi ketenagakerjaan yang terdapat di KTI dapat disimpulkan bahwa
terdapat permasalahan pokok dalam hal ini yaitu rendahnya kualitas tenaga kerja
dan pencari kerja serta adanya ketidak sepadanan peluang kerja yang tersedia
dengan keahlian pencari kerja. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya
adalah:
1. Sarana
dan prasarana pendidikan dan pelatihan yang tersedia belum sesuai dengan
kebutuhan dan potensi perekonomian wilayah setempat
2. Belum
adanya upaya atau program terpadu dari pemerintah yang mengkaitkan antara
potensi yang dimiliki daerah dengan para investor dan pencari kerja
3. Kurangnya
alokasi dana dari pusat dalam upaya mengembangkan KTI
4. Sikap
mental dan nilai budaya dari penduduk khususnya tenaga kerja tidak mendukung
dalam upaya membentuk tenaga kerja yang berkualitas, dan secara umum menjadi
kendala dalam pembangunan ekonomi Indonesia secara menyeluruh.
Dalam rangka
mengantisipasi keadaan ketenagakerjaan yang lebih buruk lagi, maka pemerintah
harus segera turun tangan dalam mengantasi hal ini diantaranya dengan melakukan
perubahan orientasi pendidikan dan pelatihan kerja yang semula bertumpu pada
pemerintah, dirubah untuk lebih bertumpu pada masyarakat, utamanya para
pengusaha sebagai pengguna jasa tenaga kerja. Sementara dari segi program harus
lebih dikembangkan lagi program pelatihan yang bersifat multi ketrampilan serta
mempunyai standar ataupun kualifikasi nasional dan internasional sehingga mampu
bersaing dengan tenaga kerja dari manca negara. Sampai saat ini program
pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun swasta
sebenarnya sudah cukup banyak, baik yang bersifat untuk membekali ketrampilan
kepada pencari kerja maupun peningkatan ketrampilan bagi yang sudah bekerja.
Namun demikian banyak dari materi yang diajarkan tidak sesuai dengan
kualifikasi pekerjaan yang ada atau tenaga kerja itu sendiri yang tidak mampu
mengembangkan ketram-pilan yang sudah didapatnya.
Berkaitan dengan hal
tersebut, maka upaya membangun dan memberdayakan SDM di KTI tidak hanya
terbatas pada peningkatan mutu pelayanan pemerintah, baik dalam bentuk
kebijakan maupun program-program pemerintah, namun yang paling penting adalah
mengubah dan menyesuaikan sikap mental tenaga kerja di KTI agar mempunyai
ketrampilan dan etos kerja yang tinggi, profesional, yang pada saatnya mereka
mampu bersaing secara global.
Kesimpulan
Untuk mengatasi
ketimpangan KTI dari segi SDMnya diperlukan langkah-langkah strategis. Dalam
bidang pendidikan harus memiliki pendidikan formal yang cukup, memiliki
ketrampilan dan keahlian yang disesuaikan dengan SDA setempat, memiliki etos
kerja yang tinggi dan produktif, sehingga memiliki daya saing dalam memenuhi
pasar kerja.
Di bidang kesehatan,
berupa peningkatan kesehatan untuk masyarakat, untuk itu perlu memberikan
pendidikan dan pelatihan baik kualitas maupun kuantitas dibidang kesehatan,
agar mampu melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat setempat.
Dibidang ketenaga
kerjaan, diupayakan pembukaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya baik dibidang
pertanian, industri dan jasa, untuk memperluas lapangan kerja baru. Selain itu
juga perlu reorientasi pembangunan industri yang bahan bakunya berasal dari KTI
sebaiknya dapat diproduksi di KTI, sehingga diharapkan dapat menyerap tenaga
kerja di KTI disamping dapat meningkatkan efisiensi modal produksi. Disamping
itu perlu diadakan pelatihan yang bernuansa kemandirian guna meningkatkan
kreativitas dan produktivitas masyarakat KTI serta mampu memecahkan berbagai
permasalahan yang berkembang didaerahnya.
Daftar Pustaka
Badan Pusat
Statistik (2000). Sensus Penduduk 2000. Statistik Potensi Desa Indonesia
. Jakarta :BPS
BPS, 2000. Indeks
Pembangunan Manusia Daerah Tingkat II Tahun 1990-1996. Jakarta
BPS, 2000. Statistik
Indonesia
1999. Jakarta
Departemen Kesehatan
RI. (1999). Profil Kesehatan Indonesia
. Jakarta : Depkes
RI
Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (2000). Situasi Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja di
Indonesia. Jakarta
Sulistianingsih
Endang, (2002). Pemberdayaan Tenaga Kerja Lokal untuk Pengembangan KTI, dalam
Memihak Indonesia Timur. Jakarta
Tjiptoherijanto P.
(1996). Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan Nasional (Human Resources
in the Development). Jakarta.
University of Indonesia
Yulfita Raharjo,
dkk, (1996). Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia, dalam Seminar
Kependudukan dan Pembangunan. LIPI Jakarta
.
0 Response to "DOWNLOAD JURNAL PENDIDIKAN LENGKAP POTRET KETERTINGGALAN SUMBER DAYA MANUSIA DI KAWASAN TIMUR INDONESIA "
Post a Comment