Pendahuluan
Jepang merupakan
negara pertama yang memberlakukan pengajaran BIPA (1925) setelah secara serentak bahasa
Indonesia diajarkan dengan bahasa Turki,
Persia, dan Arab di sebuah institut bahasa di Prancis sejak 1795 (Mulyana,
2000:17). Pada tahun-tahun berikutnya BIPA berkembang di berbagai negara
seperti: Cina, Amerika, Australia, Italia, Korea Selatan, Inggris, dan Selandia
Baru (Alwi, 1996). KIP-BIPA III di Bandung tahun 1999 lalu menampilkan beberapa
pembicara mengenai pengajaran BIPA di Thailand dan Rusia. Berdasarkan deskripsi
singkat ihwal pengajaran BIPA tersebut dapat disimpulkan betapa bahasa
Indonesia telah menjadi primadona yang senantiasa dilirik dan diminati bangsa
lain dengan maksud dan tujuan beragam.
Sebagai salah satu bahasa asing yang
diminati di mancanegara, pengembangan program pengajaran bahasa Indonesia sudah
selayaknya ditingkatkan. KIP-BIPA yang sudah tiga kali diselenggarakan, selalu
menampilkan topik pengembangan materi ajar dan metodologi pengajaran
mengindikasikan bahwa topik tersebut berperan penting dalam pengajaran bahasa
dan masih perlu untuk terus dikembangkan sehingga dapat dimanfaatkan oleh pengajar
BIPA.
Bertitik-tolak dari tema konferensi, menggabungkan dua hal penting
dalam BIPA: pengajaran bahasa dan budaya, makalah ini mencoba memaparkan paham
budaya dan mahir berbahasa dengan cara
mengapresiasi karya sastra. Teori untuk mengapresiasi adalah Reader Response Strategy (Strategi Respons Pembaca - SRP) yang
dikemukakan oleh Beach
dan Marshall, 1990. Model pengajaran ini ditujukan kepada penutur asing
tingkat lanjut dan karya sastra yang dikedepankan terbatas pada prosa atau
fiksi termasuk didalamnya short story
(cerita pendek - cerpen). Pendekatan komunikatif dan terpadu sangat mendukung
model pengajaran ini. Dengan kata lain, pendekatan komunikatif dan terpadu
dapat mensosialisasikan teori/SRP yang diterapkan dalam mengapresiasi karya sastra.
Keterpaduan pendekatan ini akan
mempermudah penutur asing
dalam mempelajari bahasa
Indonesia (Ansari, 1999). Dengan mengapresiasi cerpen, penutur asing dapat
mengetahui dan memahami budaya serta mengembangkan keterampilan berbahasa Indonesia terutama
berbicara dan menulis. Seperti yang menjadi harapan panitia KIPBIPA, diharapkan
makalah ini dapat menjadi satu kontribusi yang bermanfaat sehingga program BIPA
dapat lebih bermakna karena pengajaran bahasa yang dikemas di dalamnya
diimbangi dengan pengenalan budaya Indonesia.
Makalah
ini membahas hal-hal pokok berikut: 1) penutur asing dan karya sastra dan 2)
paham budaya dan mahir berbahasa Indonesia. Pokok bahasan kedua mencakup
strategi respons pembaca, bahan ajar, dan metode pengajaran.
Penutur Asing dan Karya Sastra
Pembelajaran BIPA tingkat lanjut
dengan cara mengapresiasi karya sastra ini terinspirasi berdasarkan hasil
observasi dan wawancara sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail (2000) tentang
sejumlah karya sastra yang wajib dibaca siswa SMU di mancanegara. Negara-negara
yang mewajibkan siswa SMU membaca karya sastra tersebut bukan bertujuan untuk
menjadikan mereka sastrawan. Elvira Karimova Vernon, pelajar SMU Ufa Rusia,
menjadi insinyur yang tetap melahap karya-karya sastra. Sementara itu, Anda
Joehana Wiradikarta, seorang insinyur sipil, putra penyair terkenal Aki Joehana
menyatakan bahwa makna dari bacaan sastra merupakan udara segar bagi akal sehat
dan jiwa (Ismail, 2000). Tabel berikut menunjukkan jumlah karya sastra yang
dibaca siswa SMU di berbagai negara.
Di Inggris, menurut Alwasilah (2001) insinyur bangunan, pilot,
politisi, pengacara, konglomerat sangat akrab dengan karya-karya Shakespeare.
Kedekatan mereka dengan karya-karya sastra menjadi indikator manusia beradab
dan berbudaya dalam konteks negara maju. Dengan demikian, kebudayaan suatu
bangsa dapat dipotret dari karya-karya sastra yang dihasilkan dan diapresiasi
oleh masyarakatnya. Cox dan Many (1992:28) mencontohkan anak berusia 11 tahun
dapat mengapresiasi buku A Proud forScarlet and Miniver. Ia memulai apresiasinya dengan cara menceritakan
kembali isi dari buku yang dibacanya dan menunjukkan bagaimana perasaannya
tentang kisah tersebut. Kemudian ia hubungkan buku lain yang pernah dibacanya
atau film yang pernah ditontonnya. Ia mengakhiri apresiasinya dengan menuliskan
apa yang ia yakini sebagai hasil membaca.
Berdasarkan deskripsi di atas, dapat
disimpulkan bahwa penutur asing sudah terbiasa membaca dan mengapresiasi karya
sastra. Kebiasaan membaca dan mengapresiasi yang telah dipupuk sejak kecil
dapat membantu mereka membaca karya sastra asing karena menurut Ansari
(1999:13) kelengkapan berpikir divergen telah dimiliki oleh penutur asing
dewasa. Hal ini dipertegas lagi oleh Mulyono (1999) yang dikutip dari Brown
bahwa pada tingkat lanjut (advanced),
pembelajar asing seharusnya memiliki kemampuan membaca narasi dan deskripsi
dengan penanda-penanda hubungan antarkalimat dan antarparagraf dan berbicara
dengan struktur yang bervariasi.
Dalam kaitannya dengan pengajaran
BIPA, apresiasi karya sastra (novel, prosa, dan puisi) turut memperkaya metode
pengajaran yang telah ada. Mulyana (2000:19), mengutip pendapat Collie dan
Slater, mengemukakan bahwa salah satu keuntungan belajar sastra adalah untuk
kepentingan pengayaan budaya (culture
enrichment). Namun, ia menegaskan bahwa perbedaan budaya dapat menjadi
kendala dalam pembelajaran BIPA.
Sementara itu, Alwi (1999:3)
mengungkapkan sebagai berikut.
“Faktor lain yang juga signifikan ialah bahwa pengajaran BIPA
hendaknya memperlihatkan keterkaitan dengan konteks budayanya. Dengan
mempertimbangkan faktor itu, maka kurikulum pengajaran BIPA didesain dengan
niat bukan saja untuk memberikan kemampuan dan keterampilan menggunakan bahasa
Indonesia secara tertulis dan lisan, melainkan juga untuk membekali para
pembelajar dengan pemahaman terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat
Indonesia pada umumnya. Mereka perlu memiliki wawasan dan pandangan yang
memadai tentang konsep “Bhinneka Tunggal Ika” yang dikaitkan antara lain dengan
aspek kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia itu”.
Reznich dalam Bundhowi
(1999:2) menekankan, “Language isinseparable from culture as cultural values are reflected in language.”
Pernyataan-pernyataan tersebut sangat memprioritaskan culture sebagai sebuah komponen penting yang mutlak dibutuhkan
pembelajar bahasa, meskipun pada akhirnya budaya itu sendiri menjadi kendala
bagi pembelajar bahasa.
Paham Budaya dan Mahir Berbahasa Indonesia
1.Strategi Respons Pembaca
Banyak strategi/teori, atau pendekatan
yang dapat dipakai untuk mengapresiasi karya sastra. Makalah ini hanya membahas
satu teori SRP. Beach dan Marshall (1991:28) merinci tujuh strategi dalam
mengapresiasi sastra sebagai berikut:
a)
Engaging (mengikutsertakan)
berarti pembelajar/penutur asing selalu melibatkan perasaannya terhadap cerita
yang sedang dibacanya. Namun, sering mereka terhambat pada saat mengekspresikan
strategi ini karena kurang memahami caranya.
b)
Describing (menjelaskan) berarti
pembaca mulai merinci cerita yang dibacanya dengan cara mengungkapkan kembali
informasi yang tersurat. Fungsi dari strategi ini adalah untuk membangun makna.
c)
Conceiving (memahami), strategi
yang diperlukan pembaca ketika mereka telah memahami karakter, latar, dan
bahasa. Setelah memahami ketiga komponen ini, pembaca mulai membuat pernyataan
tentang arti dari ketiga komponen tersebut.
d) Explaining (menerangkan),
pembaca menerangkan kelakuan atau tindak-tanduk para tokoh cerita dan
memberikan alasan tentang perbuatan mereka. Tindak-tanduk karakter cerita boleh
dikelompokkan ke dalam beberapa komponen, seperti: kehidupan sosial,
kebudayaan, isu agamis, dll. Hal ini dilakukan agar inti dari penjelasan
mencakup perspektif yang lebih luas.
e)
Connecting (menghubungkan),
strategi yang paling mudah diterapkan karena pembaca hanya menghubungkan
pengalaman hidupnya dengan apa yang dialami oleh tokoh cerita.
f)
Interpreting (menafsirkan) artinya
dalam menafsirkan arti suatu teks sastra, pembaca harus mendiskusikan dahulu
apa yang dikatakan teks sastra tersebut. Makna simbolis, tema, atau peristiwa
spesifik di dalam teks pasti terlibat dalam kegiatan menafsirkan isi cerita.
Dengan kata lain, makna yang akan ditafsirkan terimplisit dalam teks.
g)
Judging (menilai) artinya
pembaca dapat menilai perilaku para tokoh cerita (baik/jahat, normal/abnormal,
pantas/tidak pantas, rasional/tidak rasional).
Penutur asing tidak
harus menjadi bingung atau merasa sulit menerapkan ke tujuh strategi ini ketika
mengapresiasi sebuah karya sastra. Strategi-strategi ini tidak harus muncul
dalam suatu kegiatan apresiasi apalagi berurutan dari strategi menjelaskan hingga menilai. Bisa saja hanya strategi mengikutsertakan dan menghubungkan
yang tampak dalam mengapresiasi karya sastra. Semakin banyak strategi yang
dilibatkan, semakin tinggi pencapaian kualitas merespons atau mengapresiasi
(Mulyana, 2000:63).
Ada dua alasan yang
perlu dikemukakan sehubungan dengan dipilihnya SRP untuk mengapresiasi karya
sastra. Pertama, berdasarkan hasil penelitian Mulyana (2000) terhadap mahasiswa
Bahasa Indonesia, FPBS UPI, SRP lebih efektif dari strategi lainnya sehingga
hasil belajar yang dicapai mahasiswa menjadi lebih tinggi dan kualitas proses
belajar-mengajar pengkajian puisi termasuk dalam kategori baik.
Kedua, penelitian yang
dilakukan Rudy (2001) terhadap mahasiswa Bahasa Inggris, FPBS UPI tentang
pengajaran sastra Inggris yang terfokus pada bagaimana mengembangkan apresiasi
sastra dan keterampilan berbahasa mahasiswa dapat disimpulkan bahwa
keterampilan berbicara dan menulis mahasiswa dapat dikembangkan karena dosen
memiliki kemampuan mengajarkan sastra Inggris cukup baik, membangun orientasi
belajar, serta mampu menciptakan pola mengajar sastra yang khas. Penulis
berasumsi bila pembelajar Indonesia mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa
asing mampu mengapresiasi karya sastra asing, kemungkinan besar penutur asing
bahasa Indonesia juga memiliki kemampuan yang sama untuk itu, apalagi mereka
telah terbiasa membaca dan mengapresiasi karya sastra.
2.
Materi/Bahan Ajar
Materi/bahan ajar BIPA sangat
beragam, namun yang memiliki keterkaitan langsung dengan latar sosial budaya
masih kurang. Menurut Alwi (1999:3), “… muatan sosial-budaya secara bertahap
diintegrasikan ke dalam teks/bacaan.” Bahan ajar yang sarat muatan
sosial-budaya jarang terdapat dalam wacana-wacana biasa. Karya sastra kaya akan
muatan tersebut. Meskipun demikian, tidak semua karya sastra dapat
memfasilitasi para penutur asing. Karya sastra yang terlalu banyak mengandung
makna konotatif akan menyulitkan mereka. Pembaca Indonesia sendiri mengalami
kesulitan dalam memahami karya sastra seperti hikayat dan novel-novel lama.
Penutur
asing dapat memahami budaya dan mahir berbahasa Indonesia dengan mempelajari
karya-karya sastra seperti cerpen atau cerita fiksi lainnya. Namun, bila cerpen
atau fiksi yang diajarkan cukup sulit dalam hal kosakata, maka penutur asing
tidak akan menyukainya. Hasil penelitian Wahyana (1999:15) mengindikasikan
bahwa penutur asing sering menghadapi kesulitan memahami makna sebuah cerpen
atau puisi yang bermakna konotatif.
3.
Metode Pengajaran
Seperti yang telah dikemukakan
terdahulu, ada dua hal yang ingin dicapai melalui pengajaran sastra, yaitu:
penutur asing mengetahui dan memahami budaya masyarakat Indonesia dan penutur
asing mahir berbahasa Indonesia, terutama berbicara dan menulis. Kedua tujuan
tersebut dikemas secara terpadu dan komunikatif untuk memunculkan apresiasi
sastra pembelajar secara jelas. Oleh karena itu, karakter (tokoh cerita), plot
(alur cerita), dan situasi cerita dapat menjadi daya tarik yang perlu dikembangkan
sebagai rambu-rambu pengembangan keterampilan terpadu (Ansari, 1999).
Ansari
(1999:8) menyarankan sembilan pola mengajarkan BIPA secara terpadu. Model
pengajaran dengan karya sastra ini menerapkan Pola B.4 yaitu
membaca-menulis-berbicara-mendengarkan-menulis. Sebelum mengajar, guru harus
menjelaskan ke tujuh SRP. Untuk mengembangkan keterampilan berbicara, guru
perlu menyampaikan ungkapan-ungkapan lisan yang diperlukan dalam
mengimplementasikan strategi yang sedang diajarkan seperti:
a)
Menurut
saya/pendapat saya …
b)
Saya
rasa/kira …
c)
Bila
saya menjadi dia (tokoh cerita), saya akan …
d)
Dalam
kebudayaan/tradisi/kebiasaan di negara saya, hal itu …
e)
Bila
dibandingkan dengan kebudayaan/tradisi/kebiasaan di negara saya, hal itu …
f)
Saya
suka pada tokoh cerita (sebut namanya) karena …
g)
Cerita
ini sangat …. Pada kenyataannya, …
h)
Saya
dapat memahami mengapa tokoh cerita (sebut namanya) melakukan hal itu.
i)
Cerita
ini menyajikan nilai-nilai kehidupan yang penting, seperti: …, …, dll.
j)
Cerita
ini mengisahkan tentang …
k)
Setelah
membaca cerita ini, saya merasa bahwa …
Selanjutnya, guru membagikan cerpen yang
harus dibaca. Akan lebih baik dan tepat bila cerpen ini telah dibagikan pada
pertemuan sebelumnya sehingga penutur asing dapat membaca dan menuliskan
apresiasi mereka. Mereka mulai mengimplementasikan ungkapan-ungkapan
komunikatif yang telah diajarkan sebelumnya ke dalam catatan mereka. Apresiasi
tersebut dapat dilakukan perorangan dan diskusi kelompok. Kegiatan ini
dipersiapkan untuk didiskusikan di dalam kelas. Apresiasi setiap orang/kelompok
akan sangat beragam sehingga keanekaragaman pendapat akan mewarnai diskusi
tersebut. Ketika seseorang/kelompok sedang menyampaikan hasil apresiasinya,
kelompok lain harus mendengarkannya agar bila pendapat orang/kelompok itu
berbeda dengan kelompok lain dapat menjadi bahan untuk diskusi. Setelah
diskusi, mereka dapat menuliskan kembali hasil dari diskusi sebagai bentuk
apresiasi penutur asing terhadap karya sastra Indonesia.
Dengan
demikian, meskipun tujuan mengajarkan sastra kepada penutur asing adalah untuk
mengembangkan keterampilan berbahasa dan mengenalkan budaya Indonesia, metode
mengajar ini sudah dapat dikategorikan sebagai pengajaran sastra yang benar
karena seperti yang ditegaskan Rudy (2000:4),” … students can appreciate literary works emotionally by pervading
through the students’ experiencing, thinking, and feeling.” Dengan kata
lain, karya sastra yang dijadikan media
untuk dua tujuan tadi betul-betul melibatkan pengalaman, pikiran, dan perasaan
siswa.
Penutup
Bahasa Inggris telah
lama menjadi bahasa asing yang harus diajarkan di Indonesia. Namun, pembelajar
Indonesia tidak menghadapi kesulitan yang berarti ketika mengapresiasi karya
sastra asing karena strategi yang diterapkan dalam kegiatan itu sangat
mendukung dan membantu mereka. Dengan strategi yang sama, SRP, penutur asing
bahasa Indonesia tingkat lanjut dapat merespons karya sastra Indonesia.
Karya-karya sastra Indonesia diharapkan mampu menjembatani/menjadi media bagi
penutur asing untuk mahir berbahasa dan memahami budaya Indonesia mengingat
mereka telah akrab dan terbiasa membaca dan merespons karya-karya sastra sejak
kecil.
Dengan strategi respons pembaca, penutur asing dapat
mengikutsertakan emosi dirinya dengan emosi tokoh cerita, memahami perasaan
tokoh cerita dan latar budaya Indonesia, menjelaskan mengapa tokoh cerita
melakukan suatu tindakan serta mengaitkan dan membandingkan pengalaman hidup,
kebudayaan, dan kehidupan sosial mereka dengan apa yang secara eksplisit dan
implisit tertuang dalam sebuah teks sastra. Melalui silang budaya, aspek-aspek
seperti kebudayaan, tradisi, dan kehidupan sosial suatu daerah di Indonesia
dapat dikaitkan, dihubungkan, dan dibandingkan dengan aspek-aspek dalam
kehidupan nyata penutur asing.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. 2001. Meluruskan Pengajaran Sastra. Media Indonesia. Sabtu,30 Juni 2001.
Alwi, Hasan. 1996. BIPA: Hari Ini dan Esok. Penegasan
Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing. Depok: Fakultas Sastra UI.
Alwi, Hasan. 1999. Kebijakan Pengajaran BIPA. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Makalah yang disajikan dalam KIP-BIPA III
UPI Bandung, 11-13 Oktober 1999.
Ansari, Khairil. 1999. Pengembangan Keterampilan
Terpadu dalam Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. Makalah yang
disajikan dalam KIP-BIPA III UPI Bandung, 11-13 Oktober 1999. FPBS IKIP Medan.
Beach, Richard dan J.D. Marshall. 1991. Teaching Literature in the Secondary School.
New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Bundhowi, M. 999. Komik Strip dan Kartun: Upaya untuk
Memadukan Unsur Kesigapan dan Kepekaan Budaya yang Tinggi pada pengajaran BIPA.
Makalah yang disajikan dalam KIP-BIPA III UPI Bandung, 11-13 Oktober 1999. IALF
Bali.
Collie, J. dan S. Slater. 1987. Dalam Mulyana, 2000b,
Menata Model Mengajar Bahasa Indonesia sebagai Bahasa yang Mendunia. Mimbar Pendidikan. Bandung: University
Press, UPI.
Cox, Carole dan J.C. Many. 1992. Toward an
Understanding of the Aesthetic Response to Literature. Language Arts, vol. 69 (Januari, 1992).
Ismail, Taufiq. 2000. Pengajaran Sastra yang Efektif
dan Efisien di SLTA. Widyaparwa/No.
54/Maret 2000. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas. Balai Bahasa
Jogyakarta.
Mulyana, Yoyo. 2000a.
Model Pengajaran Kajian Puisi
Respons Pembaca dalam Pengajaran Sastra: Studi Eksperimen pada Mahasiswa JPBS
FPBS IKIP Bandung. (Disertasi).
Bandung: UPI Bandung.
___________. 2000b. Menata Model Mengajar Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa yang Mendunia. Mimbar
Pendidikan. Bandung: University Press, UPI.
Mulyono, Iyo. 1999. Struktur Pasif Persona: Bahan Ajar
Keterampilan Berbicara bagi Pembelajar Penutur Asing Level lanjut (Advanced).
Makalah yang disajikan dalam KIP-BIPA III UPI Bandung, 11-13 Oktober 1999.
Bandung: UPI Bandung.
Rudy, Rita I. 2000. Responding through Visual Symbols:
How Literature Instruction Survives in the Great Big World of Tests. Makalah
yang dipresentasikan pada The 3rd
National Conference, Testing and
Evaluation in the Context of Undergraduate English Language Teaching in
Indonesia di ITB Bandung, 22th-24th February 2000.
_________,
2001. Literature Instruction in EFL Classrooms: An Ethnographic Study of
Promoting Students’ Literary Appreciation and Language Skills at English
Department of UPI Bandung. Tesis.
Bandung: UPI Bandung.
Wahyana, Anton. 1999. Persepsi Pembelajar Dewasa
Tingkat Lanjut terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing.
Makalah yang disajikan dalam KIP-BIPA III UPI Bandung, 11-13 Oktober 1999.
Universitas Kristen Satyawacana.
0 Response to "SKRIPSI DAN MAKALAH SASTRA INGGRIS PAHAM BUDAYA DAN MAHIR BERBAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING TINGKAT LANJUT)* "
Post a Comment