Latest Updates

SKRIPSI HUKUM PIDANA DEFINISI DAN CIRI PAJAK



II.1.1  Definisi dan Ciri Pajak

Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang  dapat  ditunjuk  secara  langsung  (dapat  dipaksakan dengan  tiada  mendapat  jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum).
Sedangkan pengertian pajak menurut beberapa ahli seperti pendapat Prof Dr Adriani yang dikutip kembali oleh buku karangan Brotodihardjo (2001), definisi pajak adalah: “Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terhutang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan yang tidak mendapat prestasi kembali, dapat langsung ditunjuk dan gunanya untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan” (h.2).
Dan menurut Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH, yang dikutip dari buku karangan Mardiasmo (2008), pajak didefinisikan sebagai berikut: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (h.1).
Berdasarkan beberapa pengertian pajak di atas, maka dapat disimpulkan ciri-ciri pajak sebagai berikut:

1.   Iuran / pungutan

Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara, yang dipungut baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
2.   Pajak dipungut berdasarkan undang-undang

Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang".
3.   Pajak dapat dipaksakan

Undang-undang memberikan wewenang kepada fiskus untuk memaksa WP agar mematuhi dan melaksanakan kewajiban perpajakannya. Karena menurut undang undang dan sanksi pidana fiskal serta sanksi administratif  yang khususnya diatur oleh Undang-Undang No 19 Tahun 2000, adalah termasuk wewenang dari perpajakan untuk mengadakan penyitaan terhadap harta bergerak/ tetap wajib pajak, apabila Wajib Pajak tidak melunasi hutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hukum pajak Indonesia dikenal lembaga sandera yaitu wajib pajak yang pada dasarnya mampu membayar pajak namun selalu menghindari pembayaran pajak dengan berbagai dalih, maka fiskus dapat menyandera WP dengan memasukkannya ke dalam penjara.
4.   Tidak menerima kontra prestasi

Ciri khas pajak dibanding dengan jenis pungutan lainnya adalah wajib pajak (tax payer) tidak menerima jasa timbal yang dapat ditunjuk secara langsung dari pemerintah.

5.   Untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah

Pajak yang dipungut tidak pernah ditujukan untuk biaya khusus, dipandang dari segi hukum maka pajak akan terutang apabila memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif .
Syarat objektif adalah syarat yang berhubungan dengan objek pajak misalnya adanya penghasilan atau penyerahan barang kena pajak. Sedangkan syarat subjektif adalah syarat yang berhubungan dengan subjek pajak , apakah orang pribadi atau badan.



II.1.2  Fungsi Pajak

Fungsi pajak terdiri dari :

1.   Fungsi anggaran (budgetair)

Fungsi anggaran merupakan fungsi utama pajak dimana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Yang dimaksud dengan memasukkan dana secara optimal adalah sebagai berikut:
a.   Jangan sampai ada wajib pajak/subjek pajak yang tidak membayar kewajiban pajaknya.
b.   Jangan sampai wajib pajak tidak melaporkan objek pajak kepada fiskus.

c.   Jangan sampai ada objek pajak dari pengamatan dan perhitungan fiskus yang terlepas.
Dengan demikian maka optimalisasi pemasukan dana ke kas negara tercipta atas usaha wajib pajak dan fiskus.

2.   Fungsi mengatur (regulerend)

Fungsi mengatur dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, dan sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak dipakai sebagai alat kebijakan, misalnya pajak atas minuman keras ditinggikan untuk mengurangi konsumsi minuman keras tersebut.



II.1.3  Pengelompokkan Pajak

Waluyo,  (2006),  mengemukakan  bahwa  pajak  dapat  dikelompokkan  menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1.   Berdasarkan pihak yang menarik pajak :

a.   Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (dalam hal ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak) guna membiayai rumah tangga pemerintahan pusat dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besaran pajak pusat ditetapkan melalui undang-undang dan PP/Perpu.
Jenis-Jenis Pajak Pusat :

-     Pajak Penghasilan (PPh).

-     Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

-     Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

-     Dll.

b.   Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (dalam hal ini dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah / Dispenda) yang digunakan untuk  membiayai  rumah  tangga  pemerintah  daerah  dan  tercantum  dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Besaran dan bentuk pajak daerah ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda).
Contoh Pajak Daerah:

-     Pajak Kendaraan Bermotor.

-     Bea Balik Nama atas Kendaraan Bermotor.

-     Pajak Restoran.

-     Pajak Hotel.

-     Dll.

2.   Berdasarkan cara pembebanan pajak :

a.   Pajak  langsung  adalah  pajak  yang  dikenakan kepada  wajib  pajak  setelah muncul atau terbit Surat Pemberitahuan / SPT Pajak yang dikenakan berulang- ulang kali dalam jangka waktu tertentu. Contoh dari pajak langsung adalah pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penerangan jalan, pajak kendaraan bermotor, dan lain sebagainya.
b.   Pajak tidak langsung adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak pada saat tertentu / terjadi suatu peristiwa kena pajak seperti misalnya pajak pertambahan  nilai   (PPN),   pajak   bea   balik   nama   kendaraan   bermotor (BBNKB), dan lain-lain.
3.   Menurut sifatnya :

a.  Pajak subjektif, yaitu pajak yang bersumber pada subjeknya, dalam arti memperhatikan subjek diri wajib pajak.
b.   Pajak objektif, yaitu pajak yang tidak memperhatikan diri wajib pajak atau bersumber pada keadaan objek tertentu.

II.1.4  Asas Pemungutan Pajak

Mardiasmo, (2008), mengemukakan bahwa salah satu asas pemungutan pajak adalah asas domisili, yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara   tempat   Wajib   Pajak   bertempat   tinggal   atau   berkedudukan  lebih   berhak mengenakan pajak atas hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar negeri.
Selain asas domilisi, terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh 1984 dan diterima secara global, yaitu asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan kepada dua unsur, yaitu menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.
Menurut   asas   sumber,   negara   tempat   sumber   itu   terletak,   lebih   berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan pajak). Siapapun, orang pribadi atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari usaha (active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4) UU PPh
1984.




II.1.5  Sistem Pemungutan Pajak

Sistem Pemungutan Pajak menurut Mardiasmo (2008), dibedakan menjadi:

1.   Self Assessment System

Adalah suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal 5M, yakni mendaftarkan diri di KPP untuk mendapatkan  NPWP,  menghitung  dan  atau  memperhitungkan sendiri  jumlah pajak yang terutang, menyetor pajak tersebut ke bank persepsi/kantor giro pos dan melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak, serta terutama menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT dengan baik dan benar.
2.   Official assessment system

Suatu sistem perpajakan yang mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus. Dalam sistem ini, fiskuslah yang aktif sejak dari  mencari  wajib  pajak  untuk  diberikan  NPWP,  sampai  kepada  penetapan jumlah pajak yang terutang melalui penerbitan SKP.
3.   Witholding Tax System

Suatu sistem perpajakan dimana pihak tertentu (pihak ketiga) mendapat tugas dan kepercayaan dari undang-undang perpajakan untuk memotong atau memungut suatu prosentase tertentu (misalnya 20%, 10% atau 5%) terhadap jumlah pembayaran atau transaksi yang dilakukannya dengan penerima penghasilan.

II.1.6  Tax Avoidance dan  Tax Evasion

Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, suatu perusahaan domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara.
1.  Tax Avoidance, adalah Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak dengan cara menuruti  aturan  pajak  yang  berlaku  (sifatnya  legal  dan  diperbolehkan).  Tax avoidance biasanya diartikan sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan  beban  pajak  dengan  memanfaatkan  kelemahan-  kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara. Sedangkan tax planning adalah upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara wajib pajak dengan otoritas pajak.
2. Tax Evasion, adalah Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak dengan cara melanggar Undang-Undang Perpajakan sehingga penerimaan negara dirugikan. Dalam hal ini WP telah melakukan penyelundupan atau pelanggaran pajak yang tentunya sudah tidak diperkenankan oleh negara (sifatnya ilegal). Tax evasion sendiri diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (ilegal) denganb cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.



II.2      Pajak Penghasilan Pasal 25

II.2.1  Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25

Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Mengacu pada pendapat Mardiasmo (2001) pengertian Pajak Penghasilan Pasal

25 dapat dikemukakan sebagai pelunasan atau angsuran pajak tentang perhitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan.



II.2.2  Subjek Pajak dan Objek Pajak

Mengacu pada Mulyono (2007), pengertian Subjek Pajak adalah orang pribadi, warisan, atau badan termasuk bentuk usaha tetap (BUT) baik yang berada di dalam negeri maupun berada di luar negeri yang mempunyai atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi:

1.   Subjek Pajak dalam negeri, adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau yang bertempat kedudukan di dalam Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia atau luar Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri dan juga warisan yang belum terbagi.
Subjek Pajak dalam negeri terdiri dari:

a.   Orang Pribadi, yang terbagi atas:

-     Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia.
-     Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada  saat  ia  meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b.   Badan

Adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Kewajiban pajak subjektif badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dimulai pada saat badan didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
c.   Warisan Yang Belum Terbagi

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti. Adapun pihak yang digantikan adalah mereka yang berhak,

yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti bukannya tanpa alasan. Hal ini dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dilaksanakan.
Warisan menjadi subjek pajak dalam negeri apabila warisan yang ditinggalkan oleh subjek pajak dalam negeri tersebut belum terbagi dan menggantikan kewajiban pewaris sampai warisan tersebut dibagi.
2.   Subjek Pajak luar negeri

Adalah  orang  pribadi  atau  badan  yang  bertempat  tinggal  atau  bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT). Subjek pajak luar negeri terdiri dari :
a.   Orang pribadi bukan BUT

b.   Badan bukan BUT

c.   BUT, adalah suatu tempat usaha di mana seluruh atau sebagian usaha dari suatu perusahaan dijalankan oleh subjek pajak luar negeri. BUT adalah suatu sarana bagi nonresident taxpayer untuk melakukan bisnis di negara lain, yang berupa agen, perwakilan dagang, cabang atau anak perusahaan. BUT dapat berupa orang pribadi atau badan usaha. BUT  sebagai subjek pajak luar negeri dapat berbentuk seperti :
-     Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari.
-    Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Keduanya yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap. BUT termasuk subjek pajak luar negeri yang tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan berciri seperti berikut ini :
-    Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia.

-    Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Sebagai Subjek Pajak, orang pribadi, badan, warisan belum terbagi dan BUT sudah mempunyai kewajiban dalam pemenuhan perpajakan. Kewajiban ini lebih dikenal sebagai kewajiban subjektif, atau kewajiban perpajakan terkait dengan Subjek Pajak tersebut. Kewajiban perpajakan tersebut antara lain menghitung dan memperhitungkan, memotong, memungut, membayar dan membayarkan serta melapor dan melaporkan pajak yang terhutang padanya atau yang terhutang pihak lain yang harus dipotong atau dipungut.
Selain jenis-jenis subjek pajak diatas, maka yang tidak termasuk subjek pajak adalah badan perwakilan negara asing dan pejabat perwakilan diplomatik serta organisasi internasional lainnya.
Mengacu pada Mulyono (2007), Objek Pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Pengenaan PPh tidak semuanya dikenakan dari Objek Pajak yang sudah berupa penghasilan, tetapi dengan berbagai alasan seperti kemudahan, kepraktisan atau alasan

adanya kemampuan maka pengenaan PPh dapat dikenakan pada saat terjadinya transaksi penjualan bahkan pada saat terjadinya transaksi pembelian.



II.2.3  Tarif Pajak Penghasilan Badan

Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif umum pajak tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Berdasarkan  Undang-undang  No.17  Tahun  2000  tentang  perubahan  ketiga

Undang-undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001.









Dan sebagaimana telah dirubah pada UU No.36 Tahun 2008 mengenai tarif PPh, yaitu pada PPh Badan:
1.   Pasal 17(1b)

Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen).
2.   Pasal 17(2)

Tarif tertinggi tersebut diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan PP yang mulai berlaku sejak tahun 2010.
3.   Pasal 17(2b)

WP badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit

40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif 5%  (lima persen) lebih rendah daripada tarif diatas.



II.2.4  Pelunasan Atas PPh Terhutang

Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Undang-undang Pajak Penghasilan menentukan pelunasan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :
1.   Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.

Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui  pemotongan  atau  pemungutan  pajak  oleh  pihak  lain  dan  melalui

pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan tersebut merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
2.   Pelunasan Pajak Penghasilan pada akhir tahun pajak.

Pelunasan   Pajak   Penghasilan   pada   akhir   tahun   pajak   dilakukan   melalui mekanisme penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan yang merupakan penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang, yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain maupun yang telah dibayar sendiri, dan jumlah Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pelunasan pajak melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain dan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri pada hakekatnya merupakan dua cara pemenuhan kewajiban pembayaran yang berjalan bersama dan saling melengkapi.



II.2.5  Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.

Pajak Penghasilan yang dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan pelunasan/pembayaran atas perkiraan Pajak Penghasilan yang akan terutang dalam suatu tahun pajak. Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain maupun pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri
Pelunasan pajak dalam tahun berjalan terdiri atas :

1.   Pelunasan melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain yang dapat terdiri atas PPh Pasal 4 ayat (2) Final, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 24 serta dalam hal-hal tertentu PPh Pasal 26.
2.   Pelunasan dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dapat berupa Cicilan PPh Pasal 25, STP PPh Pasal 25. Fiskal Luar Negeri, dan Pajak atas Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Mekanisme  pelunasan  ini  dimaksudkan  agar  pelunasan  pajak  dalam  tahun berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terhutang untuk tahun yang bersangkutan. Pada  dasarnya  pelunasan  pajak  dalam  tahun  berjalan  dilakukan  untuk  setiap  bulan, namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti dilakukannya transaksi atau saat diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.  Dengan  pertimbangan kemudahan,  kesederhanaan, kepastian,  pengenaan  pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka Undang-undang Pajak Penghasilan menentukan bahwa pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan dapat bersifat final untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.

II.2.6  Pelunasan Pajak Penghasilan Pada Akhir Tahun.

Pada akhir tahun pajak, atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh

Wajib Pajak selama tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung Pajak Penghasilan

yang terutang. Pajak Penghasilan yang harus dilunasi pada akhir tahun pajak dihitung dengan cara : Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan (yang merupakan objek pajak) selama tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan Kredit Pajak yaitu Pajak Penghasilan yang dilunasi dalam tahun pajak berjalan baik yang dibayar sendiri maupun yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain.
Hasil   penghitungan   Pajak   Penghasilan   pada   akhir   tahun   tersebut,   dapat mengakibatkan kurang bayar atau lebih bayar, sebagai berikut :
1.   Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak (Pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.
2.   Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar dari kredit pajak (Pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan disampaikan.



II.2.7  Pajak Yang Dipotong dan Dipungut Pihak Lain.

Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain mempunyai 2 (dua) macam sifat, yaitu :
1.   Pajak Penghasilan yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain merupakan kredit pajak, artinya dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang

untuk tahun pajak yang bersangkutan, yaitu tahun pajak yang sama dengan tahun yang tercantum dalam bukti pemotongan atau pemungutan.
2.   Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain bersifat final, artinya tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang.
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain pada dasarnya mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu :
1.   Mengamankan penerimaan negara berupa Pajak Penghasilan atas jenis-jenis penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan PPh berdasarkan ketentuan Pasal 22, Pasal 23, Undang-undang Pajak Penghasilan.
2.   Untuk memperoleh informasi/data yang berhubungan dengan Wajib Pajak, dalam rangka menciptakan sistem informasi perpajakan yang memadai, guna mengawasi pelaksanaan “self asessment system sesuai dengan ketentuan perundang- undangan perpajakan.

II.3      Laporan Keuangan

Laporan keuangan adalah  catatan  informasi keuangan suatu  perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut. Laporan keuangan adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi :
     Laporan neraca

     Laporan laba/rugi

     Laporan Perubahan Ekuitas

     Laporan perubahan posisi keuangan yang dapat disajikan berupa Laporan arus kas atau Laporan arus dana

     Catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan
Unsur yang berkaitan secara langsung dengan pengukuran posisi keuangan adalah aktiva, kewajiban,dan ekuitas. Sedangkan unsur yang berkaitan dengan pengukuran kinereja dalam laporan laba rugi adalah penghasilan dan beban. Laporan posisi keuangan biasanya mencerminkan berbagai unsur laporan laba rugi dan perubahan dalam berbagai unsur neraca.
Laporan keuangan yang pada umumnya terdiri dari 2 macam, yaitu Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal. Pada laporan keuangan komersial biaya boleh dibebankan  tanpa ada batasan sepanjang sesuai dengan prinsip akuntansi. Sedangkan  pada  laporan  keuangan  fiskal  disamping  harus  sesuai  dengan  prinsip akuntansi juga harus sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.



II.3.1  Laporan Keuangan Komersial

Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang menyajikan informasi tentang keadaan yang terjadi selama periode tertentu bagi manajemen atau pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan tujuan menilai kondisi dan kinerja perusahaan yang disusun dan disajikan berdasarkan SAK.



II.3.2  Laporan Keuangan Fiskal

Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan perhitungan pajak. Undang-Undang Pajak

tidak  mengatur  secara  khusus  bentuk  dari  laporan  keuangan,  hanya  memberikan pembatasan untuk hal-hal tertentu, baik dalam pengakuan penghasilan maupun biaya.



II.3.3  Biaya Dan Pengurangan

Pengeluaran-pengeluaran yang  dilakukan  Oleh  Wajib  Pajak  dapat  dibedakan antara pengeluaran yang boleh dibebankan sebagai biaya (deductible expense) dan pengeluaran yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya (non-deductible expense). Biaya yang boleh dikurangkan pada dasarnya adalah biaya yang berhubungan dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kecuali penghasilan yang bersifat final dan penghasilan yang bukan objek pajak. Selain itu pengeluaran dan biaya yang tidak dapat dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak menurut PP No.138/2000 atau ditentukan lain dalam peraturan perpajakan.



II.3.4  Biaya  Yang Dapat Dikurangkan

1.   Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.
2.  Penyusutan atas pengeluaran memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A.

3.   Iuran  kepada  dana  pensiun  yang  pendiriannya  telah  disahkan  oleh  Menteri

Keuangan.

4.  Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
5.   Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.

6.   Biaya penelitian dan pengembengan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.

7.   Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.

8.   Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:

a.   Telah dibebankan sebagai biaya dalam Laporan Laba Rugi Komersial.

b.   Wajib  Pajak  harus  menyerahkan  daftar  piutang  yang  tidak  dapat  ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.
c.   Telah  diserahkan  perkara  penagihannya  kepada  Pengadilan  Negeri  atau Instansi Pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang / pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penertiban umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
Syarat  sebagaimana dimaksud  pada  point  ke  3(tiga)  tidak  berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf k. Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

9.   Harta  yang  dihibahkan,  bantuan  atau  sumbangan  yang  antara  pemberi  dan penerimanya memiliki hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan.
10. Zakat atas penghasilan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
11. Biaya sesuai dengan Kep. Dirjen Pajak No 220/PJ/2002 :

a.   50% dari biaya pemakaian telepon seluler yang meliputi beban penyusutan, biaya berlangganan/pengisian ulang pulsa dan biaya lainnya sehubungan dengan pengeluaran atas pemakainan telepon seluler.
b.   50% dari biaya pemakaian kendaraan sedan, yang meliputi beban penyusutan dan biaya pemeliharaan / perbaikan rutin.
Tambahan biaya yang dapat dikurangkan Pada UU No.36 Tahun 2008 :

1.   Pasal 6 ayat (1) huruf i

Sumbangan  dalam  rangka  penanggulangan bencana  nasional  yang  ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2.   Pasal 6 ayat (1) huruf j

Sumbangan  dalam  rangka  penelitian  dan  pengembangan  yang  dilakukan  di

Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3.   Pasal 6 ayat (1) huruf k

Biaya  pembangunan  infrastruktur  sosial  yang  ketentuannya  diatur  dengan

Peraturan Pemerintah.

4.   Pasal 6 ayat (1) huruf l

Sumbangan  fasilitas  pendidikan  yang  ketentuannya  diatur  dengan  Peraturan

Pemerintah.

5.   Pasal 6 ayat (1) huruf m

Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah.




II.3.5  Biaya Yang Tidak Dapat Dikurangkan

1.   Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2.  Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
3.   Pembentukan  atau  pemupukan  dana  cadangan  kecuali  cadangan  piutang  tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
4.   Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
5.   Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

6.   Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan  yang  nyata-nyata  dibayarkan  oleh  Wajib  Pajak  orang  pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amal zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
8.   Pajak Penghasilan

9.   Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
10. Gaji  yang  dibayarkan  kepada  anggota  persukutuan,  firma,  atau  perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan.
12. Biaya – biaya sesuai dengan PP No.138 Tahun 2000 :

a.   Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (8) huruf f dan g UU PPN sepanjang tidak dapat dibuktikan benar telah dibayar.

b.   Pajak Masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak sebagaimana pasal 9 (1) UU PPh.
c.   PPh yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali : PPh Pasal 26, tetapi tidak    termasuk   dividen,   sepanjang   PPh   tersebut   ditambahkan   dalam perhitungan dasar untuk pemotongan pajak.
d.   Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak
e.   Nilai sisa buku harta yang dialihkan kepada pegawainya.

f.    SE Dirjen Pajak No 20/PJ.42/1994 : Bunga pinjaman selama masa konstruksi yang tidak dikapitalisir menjadi komponen harga pokok atau harga perolehan asset.
g. SE Dirjen Pajak N0 27/PJ.42/1986 : Biaya entertainment / jamuan dan sejenisnya sepanjang tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha WP dan tidak dibuatkan daftar nominatifnya dan dilampirkan pada SPT tahunan PPh.
h.   SE Dirjen Pajak No. 46/PJ.45/1995 : Biaya bunga pinjaman yang tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai pengurang penghasilan neto. Hal ini disebabkan karena Wajib Pajak pada saat meminjam uang kepada pihak lain, ternyata uang dari hasil pinjaman tadi tidak digunakan sepenuhnya untuk kegiatan usaha, tetapi ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan.
Tambahan biaya yang tidak dapat dikurangkan Pada UU PPh No. 36 Tahun 2008 sebagai berikut:

1.   Pasal 9 ayat (1) huruf c

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :

a.   Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan   kredit,   sewa   guna   usaha   dengan   hak   opsi,   perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
b.   Cadangan  untuk  usaha  asuransi  termasuk  cadangan  bantuan  sosial  yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
c.   Cadangan penjamin untuk Lembaga Penjamin Simpanan. d.   Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
e.   Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.

f.    Cadangan  biaya  penutupan  dan  pemelihara  tempat  pembuangan  limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri untuk usaha pengolahan industri.



II.4      Penyusutan Dan Amortisasi

II.4.1  Pengantar

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2004) memberikan penjelasan mengenai penyusutan adalah : Alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Penyusutan untuk periode akuntansi dibebankan kependapatan baik secara langsung maupun tidak langsung.”
Undang-Undang No.7 Tahun 1983 jo UU No.14 Tahun 1994 jo UU No.17 Tahun

2000 Pasal 9 ayat (2) menetapkan bahwa : Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun

tidak boleh untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan memalalui penyusutuan atau amortisasi.”



II.4.2  Penyusutan

Untuk pembebanan atas pengeluaran yang masa manfaatnya lebih dari 1 (satu) tahun yang berkaitan dengan pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan aktiva tetap berwujud yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai.
Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat labih dari satu tahun.
Penentuan harga perolehan disamping nilai pembelian dimasukkan juga biaya- biaya perolehan : bea impor, Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, setiap biaya yang dapat diatribusikan secara langsung sampai aktiva siap digunakan, termasuk : Initial delivery, installation cost, biaya persiapan tempat, biaya professional (arsitek, insinyur, dsb), sedang potongan harga atau rabat mengurangi harga perolehan.



II.4.3  Harta Berwujud Yang Tidak Dapat Disusutkan

Harta berwujud yang menurut akuntansi dapat disusutkan, tetapi menurut PPh tidak dapat disusutkan adalah :

1.   Aktiva yang merupakan natura dan  kenikmatan bagi pegawai (rumah dinas), kecuali :
    Hand Phone dan sedan (dinas) bisa disusutkan dengan pengakuan 50% dari harga perolehannya.
     Kendaraan untuk antar jemput pegawai.

2.   Aktiva yang masih status SGU (leasing) dengan Hak Opsi.

3.   Harta yang dimiliki WP  yang tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan obyek PPh.
Pengeluaran pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali (termasuk pengurusan  hak-hak  tersebut  dari  instansi  yang  berwenang)  tidak  dapat  disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan untuk perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh  penghasilan  dengan  syarat  nilai  tanah  tersebut  berkurang  maka  tanah tersebut dapat disusutkan, misalnya tanah yang dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.
Perlakuan penyusutan untuk tanah ini sama dengan perlakuan untuk akuntansi komersial. Sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai tidak dihitung penyusutannya tetapi diamortasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.



II.4.4  Metode Penyusutan

Metode penyusutan yang diperbolehkan secara fiskal adalah :

1.   Metode Garis Lurus (Straight Line Method)

Metode ini menghitung penyusutan dilakukan dengan mengitung besaran % (persentase) yang sama pada masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta atau aktiva tersebut.
2.   Metode Saldo Menurun (Double Declining Balance Method)

Penyusutan  atas  pengeluaran  harta  berwujud  selain  bangunan,  dapat  juga dilakukan  dalam  bagian-bagian  yang  menurun  selama  masa  manfaat,  yang dihitung dengan  cara  mengalikan besaran  %  (persentase) penyusutan dengan saldo nilai buku aktiva tersebut, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku di susutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.


II.4.5  Saat Dimulainya Penyusutan

Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang  masih  dalam proses  pengerjaan, penyusutannya dimulai pada  bulan  selesainya

pengerjaan harta tersebut. Sehingga Penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro rata.
Dengan   persetujuan   Direktur   Jendral   Pajak,   Wajib   Pajak   diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan (yang dimaksud mulai menghasilkan adalah saat digunakan untuk produksi).
Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 UU PPh, maka dasar penyusutan atas aktiva adalah nilai setelah dilakukan revaluasi aktiva tersebut.



II.4.6  Amortisasi

Pada dasarnya amortisasi sama dengan penyusutan, tetapi beban amortisasi dilakukan terhadap pengurangan nilai terhadap aktiva tidak berwujud yang digunakan untuk kegiatan usaha. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara Penghasilan.
Untuk  menghitung amortisasi, Wajib Pajak dapat menggunakan metode garis lurus dan saldo menurun. Apabila menggunakan saldo menurun, maka ditahun terakhir dari masa manfaat akan diamortisasi sekaligus.

II.5      Rekonsiliasi Fiskal

II.5.1  Pengertian

Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersil yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan netto/laba yang sesuai dengan ketentuan pajak.
Rekonsiliasi fiskal pada hakikatnya adalah merupakan proses untuk mendapatkan angka laba fiskal atau laba kena pajak dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap laba komersial atau laporan rugi laba. Proses rekonsiliasi fiskal ini umumnya dilakukan oleh Wajib Pajak yang berbentuk perusahaan.
Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara akuntansi komersil yang mendasarkan laba pada konsep dasar akuntansi yaitu penandingan antara pendapatan dengan biaya-biaya, sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya adalah penerimaan negara.
Dalam penyusunan laporan keuangang fiskal, Wajib Pajak harus mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang dibuat berdasarkan

SAK harus disesuaikan atau dibuat koreksi fiskalnya terlebih dahulu sebelum menghitung besarnya penghasilan kena pajak.



II.5.2  Beda Waktu dan Beda Tetap

Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu perbedaan waktu dan perbedaan tetap/permanen.
1.  Beda Waktu, merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya, secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun  perpajakan sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasi setiap tahunnya. Beda Waktu adalah perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan beban tertentu menurut  akuntansi  (ekonomi  perusahaan)  dengan  ketentuan  perpajakan. Perbedaan ini mengakibatkan penggeseran pengakuan penghasilan dan biaya antara satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya.
Beda waktu biasanya timbuk karena perbedaan metode yang dipakai antara pajak dengan akuntansi dalam hal:
a.   Akrual dan realisasi.

b.   Penyusutan dan amortisasi. c.   Penilaian persediaan.
d.   Kompensasi kerugian fiskal.

Contoh-contoh yang dapat menimbulkan beda waktu adalah

a.   Perbedaan cara penyusutan atas harta yang sama menghasilkan perbedaan besarnya penyusutan.
b.   Metode pengakuan terhadap piutang usaha.

c.   Metode pengakuan terhadap persediaan.

d.   Metode pengakuan terhadap pengakuan penghasilan dan biaya atas proyek jangka panjang.
e.   Metode pengakuan terhadap efek.

f.    Metode pengakuan terhadap biaya sebelum produksi komersial.

2.   Beda Tetap/Permanen, terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya menurut akuntansi dengan menurut pajak, yaitu adanya penghasilan dan biaya  yang  diakui menurut akuntansi komersial namun  tidak  diakui  menurut fiskal, atau sebaliknya. Beda tetap mengakibatkan laba/rugi menurut akuntansi (pre tax income) berbeda secara tetap dengan laba kena pajak menurut fiskal (taxable income).
a.   Beda Tetap Penghasilan

-     Penerimaan menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) merupakan penghasilan tetapi menurut UU PPh bukan merupakan penghasilan.
-     Penerimaan yang menurut SAK bukan merupakan penghasilan, tetapi menurut UU PPh merupakan penghasilan.
-     Menurut SAK, penghasilan yang dikenakan pemungutan pajak bersifat final diperhitungkan dalam laporan penghasilan, sedangkan menurut UU PPh tidak masuk dalam laporan penghasilan.
b.   Beda Tetap Biaya

-     Pengeluaran yang menurut SAK merupakan beban tetapi menurut UU PPh tidak boleh dikurangi dari penghasilan bruto.
-     Beda Tetap Murni.

-     Beda tetap yang disebabkan tidak dipenuhi syarat-syarat khusus.

-     Beda  tetap  yang  disebabkan  praktek-praktek akuntansi  yang  tidak sehat.
Beda tetap biasanya timbul karena peraturan perpajakan mengharuskan hal-hal berikut dikeluarkan dari perhitungan Penghasilan Kena Pajak:
a.   Penghasilan yang telah dikenakan PPh final (Pasal 4 ayat 2 UU PPh). b.   Penghasilan yang bukan objek pajak (Pasal 4 ayat 3 UU PPh).
c.   Pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yaitu mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan serta pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau jumlahnya melebihi kewajaran. (Pasal 9 ayat 1 UU PPh).



II.5.3  Koreksi Positif dan Negatif

Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) yang pembukuannya menggunakan pendekatan akuntansi komersial, yang bertujuan mempermudah mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh, dan menyusun laporan keuangan fiskal yang harus dilampirkan pada saat menyampaikan SPT Tahunan PPh.
Koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan negatif. Koreksi positif terjadi apabila pendapatan menurut fiskal bertambah. Koreksi positif biasanya dilakukan akibat adanya:
1.   Beban yang tidak diakui oleh pajak (non-deductible expense).

2.   Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiskal.

3.   Amortisasi komersial lebih besar dari amortisasi fiskal.

4.   Penyesuaian fiskal positif lainnya.

Koreksi negatif terjadi apabila pendapatan menurut fiskal berkurang. Koreksi negatif biasanya dilakukan akibat adanya:
1.   Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.

2.   Penghasilan yang dikenakan PPh final.

3.   Penyusutan komersial lebih kecil daripada penyusutan fiskal.

4.   Amortisasi komersial lebih kecil daripada amortisasi fiskal.

5.   Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.

6.   Penyesuaian fiskal negatif lainnya.




II.6      Surat Pemberitahuan Tahunan PPh

II.6.1  Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT)

Pengertian dari Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.



II.6.2  Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)

Sebagai sarana bagi Wajib Pajak PPh untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak terutang yang sebenarnya termasuk perhitungan atas :
     Pembayaran  atau  pelunasan  pajak  yang  telah  dilaksanakan  sendiri  dan  atau melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain dalam 1 tahun pajak atau bagian tahun pajak.

     Penghasilan yang merupakan obyek pajak dan atau bukan obyek pajak.

     Harta dan kewajiban.




II.6.3  Jenis Surat Pemberitahuan (SPT)

1.  SPT Tahunan PPh yaitu surat yang digunakan oleh Wajib Pajak (WP) untuk memberitahukan pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak.
2. SPT Masa PPh yaitu surat yang digunakan oleh Wajib Pajak (WP) untuk memberitahukan pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat.
Selain itu juga SPT dapat dibedakan atas :

    SPT PPh Pasal 21

    SPT PPh Pasal 23

    SPT PPh Pasal 25

    SPT PPh Pasal 26




II.7      Pengertian Jasa Konstruksi

Jasa  Konstruksi  adalah layanan jasa  konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan  konstruksi.  Sedangkan  pekerjaan  konstruksi  adalah  keseluruhan  atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup  pekerjaan  arsitektural,  sipil,  mekanikal,  elektrikal,  dan  tata  lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

II.7.1  Tarif Jasa Konstruksi

Ketentuan perpajakan mengenai tarif jasa konstruksi pada tahun 2001 mengikuti ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 140 Tahun 2000. Kemudian pada tanggal 20 Juli
2008 Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008, yang merupakan pengganti PP Nomor 140 Tahun 2000. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai tarif jasa konstruksi pada tahun 2001 dan 2008.



II.7.2  Tarif Jasa Konstruksi pada Tahun 2001 (PP Nomor 140 Tahun 2000)

1.   Bersifat Tidak Final

Wajib  Pajak  dalam  negeri  dan  Bentuk  Usaha  Tetap  (BUT)  yang  menerima penghasilan dari usaha di bidang jasa konstruksi dikenakan:
a.   Apabila pengguna jasanya adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atau wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, maka dipotong PPh pasal 23 pada saat pembayaran uang muka dan termijn dengan tarif sebagai berikut:
Besarnya  pemotongan  PPh   pasal  23   tersebut  adalah  15%   dari  perkiraan penghasilan netto yang terdiri dari:
-     Atas WP penyedia jasa perencanaan konstruksi = 26 ⅔ %.

-     Atas WP penyedia jasa pelaksanaan konstruksi = 13 ⅓ %.

-     Atas WP penyedia jasa pengawasan konstruksi = 26 ⅔ %.

b.   Apabila pengguna jasanya adalah selain dari yang disebutkan dalam huruf a, maka wajib membayar PPh pasal 25 dengan cara perhitungan 1/12 dari PPh yang

dihitung berdasarkan tarif umum pasal 17 UU PPh atas penghasilan netto bulan yang bersangkutan setelah disetahunkan.
2.   Bersifat Final

Wajib Pajak dalam negeri dengan kualifikasi usaha kecil berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, dan nilai pengadaanya sampai dengan Rp.1.000.000.000 maka dikenakan;
a.   Apabila pengguna jasanya adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atau wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, maka dikenakan tarif sebagai berikut:
-     4% dari jumlah bruto atas jasa perencanaan konstruksi.

-     4% dari jumlah bruto atas jasa pengawasan konstruksi.

-     2% dari jumlah bruto atas jasa pelaksanaan konstruksi.

b.   Apabila pengguna jasanya adalah selain dari yang disebutkan dalam huruf a, maka WP menyetor sendiri PPh yang terhutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan termijn.



II.7.3  Tarif Jasa Konstruksi pada Tahun 2008 (PP Nomor 51 Tahun 2008)

Berdasarkan peraturan terbaru mengenai jasa konstruksi maka atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan pajak penghasilan bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1.   2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi usaha kecil.

2.   4%   untuk  pelaksanaan  konstruksi  yang  dilakukan  penyedia  jasa  yang  tidak berkualifikasi usaha.
3.   3% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi usaha menengah dan besar.
4.   4% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi usaha.
5.   6% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang tidak berkualifikasi usaha.

Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

0 Response to "SKRIPSI HUKUM PIDANA DEFINISI DAN CIRI PAJAK"

Post a Comment