Reformasi Budaya
Bangsa
kita tengah berada di persimpangan jalan. Kita hidup di tengah-tengah gelombang
pengaruh kebudayaan dan peradaban yang demikian deras datangnya dari luar kehidupan
kita sebagai akibat cepatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang menyebabkan terjadinya globalisasi dalam semua bidang kehidupan. Di tengah
suasana yang demikian, bangsa kita melakukan upaya-upara reformasi atau
pembaruan di segala bidang kehidupan bernegara. Kita usung tema reformasi total
sebagai jawaban atas kejenuhan dan kekecewaan kita kepada sistem kekuasaan yang
kita warisi dari zaman Orde Baru yang tidak memberikan jaminan atas kebebasan
individu warga, dan tidak berhasil mewujudkan impian-impian kita tentang
keadilan dan pemerataan kesejahteraan. Untuk mengatasi segala kelemahan,
kekurangan, keburukan, dan bahkan segala sesuatu yang kita persepsikan sebagai
kegagalan pemerintahan Orde Baru itu bangsa kita telah memilih jalan dengan
menata kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis dan mempertegas komitmen
normatif bangsa kita untuk mengembangkan prinsip negara hukum yang menjamin
kebebasan dan hak asasi manusia, serta janji kesejahteraan yang lebih merata,
semata-mata untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Untuk
itulah selama 12 tahun terakhir kita telah menata ulang secara besar-besaran
postur dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan kita, mekanisme
penyelenggaraannya yang diharapkan lebih berubah semakin modern, transparan dan
akuntabel. Kita mengubah institusi-institusi kenegaraan dan pemerintahan itu,
mulai dari lembaga yang semula paling tinggi kedudukannya, yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sampai ke institusi pemerintahan desa dan
kelurahan-kelurahan di lingkungan perkotaan. Kita juga sudah melakukan
merombakan sistem hukum dan perundang-undangan kita secara besar-besaran, mulai
dari hukum tertinggi, yaitu konstitusi sampai ke peraturan-peraturan daerah dan
bahkan peraturan-peraturan desa. Semuanya berubah dengan sangat cepat dan
sangat mendasar. Dengan demikian, di tengah-tengah gelombang perubahan yang
sedang terjadi di dunia dimana bangsa kita dipengaruhi secara sangat luas dan
mendasar di segala bidang, kita pun mengadakan perubahan-perubahan mendasar
dalam waktu yang sangat singkat, tanpa persiapan budaya yang dapat dikatakan
matang. Perubahan-perubahan bersifat sangat struktural dan instrumental yang
tentunya dapat dipakai untuk melakukan fungsi perekayasaan masa depan bangsa ke
arah idealitas yang dikehendaki bersama.
Namun,
di tengah perubahan-perubahan mendasar itu, dimensi kebudayaan dan tuntutan
akan kualitas sumber daya manusia yang akan diandalkan dapat dikatakan
tertinggal. Perubahan demi perubahan mendasar tersebut di atas tidak diiringi
oleh perubahan kualitas individu manusia dan kolektifitas budaya yang sesuai
dengan tuntutan perkembangan keadaan. Institusi-institusi baru lebih diharapkan
lebih baik telah kita dirikan, tetapi cara berpikir dan bekerja manusia yang
diharapkan menggerakkan masih terbelakang dan dikungkung oleh pengaruh tradisi
yang diwarisi dari masa-masa yang lalu. Ide-ide baru telah banyak pula kita
adopsi dan kita tuangkan menjadi materi-materi peraturan perundang-undangan
yang kita percaya akan membawa hasil yang serba luhur dan mulia, tetapi
manusia-manusia yang diharapkan akan menjalankannya rupanya sebagian terbesar
masih terperangkap dengan sikap-sikap dan perilaku lama. Dengan demikian, kita
terus menerus menyaksikan adanya kesenjangan yang akut antara institusi dan
instrumen aturan di satu pihak dengan kebiasaan dan tradisi di pihak yang lain.
Jawabannya
tentu tiada lain adalah bahwa di masa mendatang kita memerlukan reformasi
lanjutannya, yaitu reformasi budaya atau reformasi kebudayaan. Sejak tahun 1998
kita telah memulai agenda reformasi politik dan birokrasi, reformasi ekonomi,
dan reformasi hukum. Sekarang atau setidaknya mulai tahun 2014 nanti, kita
harus menggerakkan reformasi lanjutan, yaitu reformasi kebudayaan. Reformasi
budaya itu tentu harus kita mulai dengan persoalan kualitas manusia, yaitu
manusia ideal yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam Alinea Keempat
Pembukaan UUD 1945, yaitu cita-cita kehidupan bangsa yang cerdas. Agar menjadi
cerdas, maka manusia dan bangsa Indonesia haruslah terdidik dengan baik, yaitu
melalui pendidikan yang bermutu, relevan, dan merata. Pendidikan nasional yang
diselenggarakan untuk itu, menurut Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, tidak lain
adalah pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, agar menjadi cerdas,
pertama-tama manusia Indonesia itu haruslah beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehingga tujuan untuk menguasai,
mengembangkan, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hendak
dicapai oleh dan dari setiap kegiatan pendidikan dapat didampingi secara
seimbang oleh penghayatan, pemahaman, dan pengamalan iman dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa yang secara konkrit tercermin dalam perilaku luhur dan
akhlak mulia dalam semua bidang kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Watak atau
Karakter
Apakah
pendidikan nasional yang kita selenggarakan sampai sekarang ini sudah menjamin
perwujudan ide mengenai keseimbangan imtak dan iptek serta prinsip-prinsip
akhlak mulia itu dalam praktik? Menurut saya, hal itu benar-benar belum
tercermin. Pendidikan kita selama ini sama sekali tidak atau belum berhasil
membantu agar manusia Indonesia dan bangsa kita menjadi cerdas dalam pengertian
seperti tersebut di atas. Pendidikan kita masih terlalu bersifat kognitif
dengan orientasi konten yang dari waktu ke waktu terus menerus dibebani titipan
oleh aneka kepentingan dari sekeliling. Dalam kenyataan, taksonomi Bloom yang
menggambarkan adanya tiga elemen pokok dalam pendidikan, yaitu aspek-aspek affective,
cognitive, dan psychomotoric tidak lah berkembang secara seimbang
antara satu dengan yang lain. Pendidikan kita tidak berhasil membentuk sikap
dan karakter, dan tidak juga membangun kapasitas kemampuan teknis untuk
melakukan menerapkan pengetahuan dan sikap-sikap yang dimiliki dalam praktik.
Sampai
sekarang pendidikan kita masih terus berorientasi kepada ‘konten’ pengetahuan.
Memang benar kebijakan kirukulum kita sudah sejak lama diubah dari orientasi
konken (content-base curriculum) ke kompetensi (competence-base
curriculum). Namun dalam praktik orientasi konten atau orientasi kepada materi
muatan pengetahuan, terus saja dipraktikkan. Bahkan, setiap muncul kritik akan
kinerja pendidikan, selalu muncul tawaran yang dianggap solusi yang baik, yaitu
penambahan jam pelajaran atau penambahan mata pelajaran yang dinilai sangat
penting. Padahal, pengetahuan dan ilmu pengetahuan dewasa ini terus berkembang
sifatnya akibat teknologi informasi dan komunikasi yang dipraktikkan secara
luas. Informasi pengetahuan mengalami proses globalisasi yang cepat dan
memudahkan bagi siapa saja untuk menguasainya. Karena itu, pola-pola pendidikan
dan pengajaran yang berorientasi penguasaan konten atau materi ilmu pengetahuan
haruslah mengalami perubahan secara mendasar. Kita tidak lagi memerlukan peran
guru sebagai narasumber. Guru cukup berfungsi sebagai fasilitator dan
pembimbing teknis cara mencari dan memahami informasi pengetahuan itu melalui
sarana teknologi komunikasi dan informasi modern.
Dengan
demikian, yang harus kita andalkan dari peran guru di masa mendatang adalah
keteladanan dan kepemimpinannya dalam membawakan suasana belajar di kelas dan
di luar kelas yang tidak berorientasi konten. Guru harus menjadi teladan,
membimbing, dan mengarahkan tuntunan sikap dan akhlak mulia untuk membentuk
kepribadian dan watak atau karakter, sekaligus kemampuan-kemampuan teknis bagi para
peserta didik. Karena itu, orientasi pendidikan kita haruslah mengutamakan
aspek-aspek afektif dan psikomotorik, dan bukan kognitif yang dapat dicari
sendiri oleh para peserta didik. Yang penting ada dalam diri setiap peserta
didik adalah sikap, karakter dan motivasi yang kuat disertai kemampuan teknis
untuk mencari, menermukan, mengumpulkan, memahami, dan menguasai segala
informasi ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam hidup, bekerja, dan untuk
bertindak dalam meningkatkan kualitas hidup pribadi dan kualitas hidup bersama
dalam masyarakat dan bangsa kita sekarang dan di masa datang.
Dalam
pembentukan watak atau karakter dan peningkatan kemampuan-kemampuan bertindak
atau beraksi, tentu saja diperlukan penguasaan banyak informasi pengetahuan.
Akan tetapi di samping informasi pengetahuan, yang jauh lebih penting lagi
adalah pengaruh keteladanan dan hasil tempaan pengalaman praktik. Oleh sebab
itu, pendidikan karakter haruslah berorientasi pada pengalaman praktik, pada
proses kegiatan, bukan pada output atau hasil, pada nilai ujian, pada ‘ranking’
prestasi akademis, dan sebagainya. Pendidikan karakter lebih banyak dipengaruhi
oleh keteladanan yang ada di lingkungan belajar, dan pengalaman praktik dan
pengalaman bekerja yang dialami langsung oleh para peserta didik. Untuk itu,
perlu dipikirkan kemungkinan mengubah format pendidikan agama, misalnya, tidak
lagi berorientasi konten dan output yang diukur dengan jumlah jam pelajaran dan
dengan hasil ujian. Pendidikan agama lebih baik dilakukan melalui praktik
kegiatan untuk sholat berjamaah, misalnya, untuk berperilaku mulia dalam
bertutur kata dan dalam bersikap terhadap guru, terhadap teman, terhadap
tetangga, dan sebagainya. Untuk ekstrimnya, jika sekiranya kegiatan-kegiatan
demikian dapat diintensifkan dengan efektif dan para guru benar-benar dapat
dijadikan teladan untuk itu, maka dapat saja mata pelajaran agama secara formal
ditiadakan sama sekali.nb:lestarikan budi daya bangsa kita.
0 Response to "DOWNLOAD KARYA ILMIAH MEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA"
Post a Comment