A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Undang-Undang
Dasar 1945 yang secara historis disebut sebagai (Indonesian declaration of Independence),
dalam pembukaannya secara jelas mengungkapkan alasan didirikannya negara untuk:
(1) mempertahankan bangsa dan tanah air, (2) meningkatkan kesejahteraan rakyat,
(3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut serta dalam mewujudkan
perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan.
Konsep mencerdaskan
kehidupan bangsa berlaku untuk semua komponen bangsa, tak terkecuali mereka
yang berada dalam tingkat ekonomi lemah. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
1945 pada pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia.
Perkembangan
ilmu abad mutakhir, tepatnya dalam millennium baru peran globalisasi
terasa sangat mendominasi aktivitas masyarakat. Kebutuhan akan format satu sistem
pendidikan yang komperehensif-kondusif dirasa sangat perlu diupayakan.
Kondisi ini lebih disebabkan karena sangat urgennya pendidikan dalam pembinaan
anak didik. Keberadaannya harus bisa dilaksanakan secara komprehensif dan
simultan antara nilai dan sikap (afeksi), pengetahuan, kecerdasan, dan
keterampilan (life skill) serta kemampuan berkomunikasi dan sadar
terhadap ekologi lingkungan.
Format
pendidikan yang lebih baik sudah menjadi keharusan di abad dua satu ini, sebab
mereka yang menempati posisi penting adalah para educated person. Hal
ini sebagaimana yang diramalkan
bahwa masyarakat modern mendatang adalah masyarakat knowledge society, dan
siapa yang menempati posisi penting adalah educated person[1].
Suatu masyarakat yang setiap anggotanya adalah manusia yang bebas dari
ketakutan, bebas berekspresi, bebas menentukan arah kehidupannya dalam rangka
wadah persatuan dan kesatuan nasional.[2] Sejarah peradaban Islam telah menunjukkan betapa pentingnya
pendidikan yang komprehensif dan kondusif dalam rangka memajukan dan
meninggikan martabat manusia. Bukanlah suatu sikap sombong bila kita katakan
bahwa prinsip-prinsip pendidikan modern yang mulai didengungkan pada
pertengahan abad ke-20, yang hingga kini belum mampu dilaksanakan sepenuhnya.
Tetapi oleh negara-negara maju
(modern) telah diperhatikan dan dilaksanakan dalam pendidikan Islam, yaitu pada
zaman keemasan Islam, ratusan tahun sebelum dicetuskannya sistem pendidikan
modern tersebut.
Di antara
prinsip-prinsip yang ideal dalam pendidikan Islam itu, dapat kita terangkan secara singkat
sebagai berikut: mengajarkan berpikir bebas dan berdiri
sendiri dalam belajar, kemerdekaan dan demokrasi dalam mengajar, sistem belajar
secara perseorangan (takhasshus), perhatian terhadap perbedaan individu
anak-anak dalam memberikan pelajaran dan cara mengajar, perhatian terhadap
bakat dan kesediaan fitrah dari anak didik, serta menguji kecapakan mereka,
berbicara kepada mereka sesuai dengan akalnya, bergaul dengan mereka secara baik-baik serta dengan rasa
kasih sayang, memperhatikan
pendidikan akhlak, mendorong dilakukannya diskusi-diskusi ilmiah, memperhatikan
pendidikan berpidato, perdebatan-perdebatan, dan kelancaran berbicara, serta
mendirikan banyak perpustakaan, memperlengkapinya dengan buku-buku berharga dan
referensi yang sulit ditemui, dan mendorong supaya pelajar dan siswa mengambil
manfaat dari isi buku-buku yang bernilai tersebut, dengan tekun belajar,
mengadakan penelitian dan mengajar. Hal itu dijelaskan dalam kata mutiara
arab yang artinya“Menuntut ilmu mulai dari buaian sampai keliang lahat”.
Jika melihat peribahasa di atas, tampaknya ada
keserasian dengan gagasan pemikiran Croply yang dikutip Umar Tirtarahardja tentang
pendidikan sepanjang hayat (Life long education). Berangkat dari teks
hadits dan pendapat Croply di atas tentang pendidikan sepanjang hayat, atau
bahasa hadits mencari ilmu dari buaian sampai ke liang lahat, dapat lahir suatu
ungkapan bahwa mencari ilmu merupakan
bagian dari proses pendidikan. Hal
yang hampir senada diungkapkan Mudiharjo. (2001:6), “Bahwa pendidikan merupakan segala pengalaman
mengajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
Berdasarkan ungkapan di atas dapat dipahami tentang pentingnya pendidikan yang
salah satu tujuannya dapat membentuk watak manusia yang berpendidikan dan
beradab”.
Namun,
selama beberapa abad terakhir peradaban Islam mengalami kemunduran akibat
kurangnya pendidikan yang tidak mencerdaskan dan memoralkan.
Proses pendidikan dalam Islam telah terwarisi oleh
Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pendidik umat, sekaligus sebagai peletak
pertama dalam menanamkan sudut pandang
pendidikan dalam Islam yang berdasarkan wahyu Allah SWT. Sejarah membuktikan,
Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada sahabatnya untuk menyuruh anaknya
melakukan shalat pada usia tujuh tahun, andaikan pada usia sembilan tahun masih
tidak menuruti perintah orang tuanya, maka pukulah. Terlepas mengartikan
pukulah yang sebenarnya atau hanya bahasa kiasan, yang jelas dalam ajaran Islam
diperintahkan pendidikan itu dilakukan sewaktu dini.
Disadari cara pembinaan akhlak yang dicontohkan Nabi
SAW seusia dini jauh lebih bermanfaat dari pada
usia senja. Dilihat dalam kapasitas intelektual juga jauh lebih baik.
Dalam pepatah diungkapkan: “Belajar di usia dini bagaikan menulis di atas batu,
dan belajar di usia tua/senja bagaikan menulis di atas air”. Pribahasa tadi
menggambarkan pendidikan diberikan diusia dini sangat membekas sekali,
diibaratkan mengukir di atas batu, sangat jelas dan membekas, tetapi jika
pendidikan diberikan di usia tua/senja akan sulit dan diibaratkan seperti
menulis di atas air, akan sukar masuknya dan mudah hilangnya.
Pengajaran shalat sengaja Nabi memberikannya di usia
tujuh tahun, karena pada usia tersebut
secara intelektual mulai menerima beberapa pengajaran. Secara pengalaman
anak-anak jika bergaul dengan orang yang berbicara sopan anak-anak tersebut
akan terbawa sopan, dan ucapan yang sopannya itu akan membekas, tetapi jika
bergaul dengan berbicaranya kasar akan terbawa kasar.
Selain itu, Nabi Muhammad SAW tidak hanya memberikan
pengajaran dan pembinaan mental, juga memberikan keterampilan (skill), antara
lain, mengajarkan memanah, berkuda, berenang dan lain sebagainya. Dengan
demikian pembinaan intelektual, mental dan keterampilan meminjam bahasa
pendidikan dapat diartikan memberikan aspek kognitif, apektif, dan psikomotor.
Namun dalam memberikan pendidikan kepada anak, atau
siswa akan selalu diperhatikan gerak langkah pendidik, artinya seorang pendidik
atau guru menjadi figur bagi anak, atau para siswanya baik posisinya berada di
rumah, maupun di sekolah. Ada
ungkapan yang mengatakan: “Guru kencing berdiri murid kencing berlari”.
Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa segala langkah guru menjadi sorotan
murid-muridnya, jika gurunya mencontoh yang baik, bukan tidak mustahil muridnya
akan mengikutinya, tetapi jika gurunya melakukan tidak baik, kemungkinan muridnya
akan melakukan hal yang sama.
Sikap ketauladanan perlu ditanamkan oleh seorang
pengajar, baik posisinya di sekolah, (suasana formal), maupun di luar sekolah
(non formal). Sikap itu bukan tidak mungkin dapat menambah kewibawaan seorang
guru dihadapan siswanya. Dan sesekali sikap ketauladanan terlupakan oleh
pendidik, pengajar, sehingga secara tidak disadari setahap demi setahap reaksi
dari murid sedikit demi sedikit akan berdampak negatif .
Perbuatan yang dapat menjatuhkan harga diri guru tidak hanya berangkat dari hal-hal yang
besar, bisa saja berangkat dari persoalan sepele. Seperti makan oleh tangan
kiri, atau makan sambil berdiri, mengeraskan suara, bukan mustahil praktik itu
tidak luput dari perhatian murid, bahkan murid menilainya bahwa itu prilaku
yang baik, padahal dalam Islam bahwa makan harus tangan kanan . Dan tidak boleh
sambil berdiri, kalau bukan alasan darurat—meminjam istilah fiqh Islam,
walaupun tidak jatuh haram, tetapi dalam istilah hadits harus ada sikap muru’ah
(wibawa). Apalagi colak-colek yang bukan muhrim, jelas ini bertentangan dengan
agama Islam.
Keteladanan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM)
merupakan cara (metode) seorang guru dalam memberikan pendidikan, salah satu
tujuannya untuk menanamkan kedisiplinan.
Mengomentari hal itu I Djumhur dan
Mohammad Surya, (1975:15), dalam
bukunya berjudul, “Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah” menjelaskan: “Guru merupakan sosok pigur sentral bagi
murid-muridnya untuk diteladani serta memberikan kedisiplinan kepada muridnya,
baik sebagai warga sekolah maupun warga masyarakat”.
Menanamkan kedisiplinan merupakan bagian dari
kelancaran proses balajar mengajar. Oleh karenanya masalah disiplin perlu
mendapat perhatian utama. Dengan demikian para siswa sudah seharusnya mendapat bimbingan yang
sesuai dan mengembangkan berbagai kemampuan untuk mencapai tujuan pendidikan
melalui disiplin yang baik.
Berdasarkan hal tersebut ada beberapa persoalan yang
menjadi perhatian utama dalam tulisan ini yaitu: akidah sebagai dasar dalam
setiap praktek ibadah, akhlak yang senantiasa jadi tolak ukur kesolehan
muamalah maupun kesolehan social, kewibawaan guru dan kedisiplinan murid. Pada
konteks Pesantren Persis 5 Cibeber uswah dan kewibawaan seorang guru menjadi
hal yang utama, terlebih pada seorang guru yang mengajarkan akidah akhlak.
Materi akidah akhlak yang diajarkan seorang guru juga
mendapat perhatian utama di lingkungan Madrasah Tsanawiyah Persis 5 Cibeber. Hal itu bukan tanpa alasan,
antara lain alasan yang dikedepankan bahwa seorang guru akidah akhlaq
harus menjadi figur sentral di antara guru-guru yang lain atau harus memberikan
teladan yang baik. Karena berawal
dari pemahaman seperti itu, bukan berarti guru-guru yang lain tidak
memperhatikan keteladanannya, atau apriori terhadap persoalan moral pada
lingkungannya, berpijak dari situlah siswa akan memahami prilaku guru akidah
akhlak sehari-hari dan sekaligus akan berdampak pada keteladanan seorang guru akidah akhlak. Sementara
para siswa yang setiap hari berkumpul dengan para gurunya akan dapat melihat
karakter guru sehari-hari, baik di sekolah, maupun di luar (jam) sekolah. Hal itu dapat mengundang perhatian para siswa
dalam menilai prilaku gurunya. Atau dengan perkataan lain, siswa dapat memahami secara langsung sikap
dan prilaku guru. Permasalahannya adalah
betulkah hal itu dapat berpengaruh terhadap pemahaman dan akhlak siswa?
bisakah dijadikan standarisasi fenomena
tersebut ?.
Untuk menjawab
permasalahan tersebut akan diteliti lebih lanjut dalam sebuah judul penelitian : Aktivitas
Siswa Dalam Proses Pembelajaran Aqidah Akhlak Hubungannya Dengan Akhlak Anak Didik
di Lingkungan Pesantren. ( Penelitian
di Madrasah Tsanawiyah Persis 5
Cibeber).
B. RUMUSAN MASALAH
Supaya permasalahan tersebut tidak melebar, maka
dibatasi menjadi beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
1.
Bagaimana Aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar
Akidah Akhlak di
MTs. Persis 5 Cibeber;
2.
Bagaimana kondisi akhlak siswa sehari-hari. MTs. Persis
5 Cibeber;
3.
Bagaimana hubungan antara Aktivitas siswa dalam proses
belajar mengajar
Akidah Akhlak dengan akhlak anak didik di MTs. Persis 5 Cibeber;
C. TUJUAN PENELITIAN
Dalam
penelitian ini penulis bertujuan untuk mengetahui tentang :
1.
Untuk mengetahui Aktivitas siswa dalam proses belajar
mengajar Akidah Akhlak di MTs. Persis 5 Cibeber;
2.
Untuk mengetahui kondisi akhlak siswa sehari-hari di
MTs. Persis 5 Cibeber;
3.
Untuk mengetahui
hubungan antara Aktivitas
siswa dalam proses
belajar
mengajar Akidah Akhlak dengan akhlak anak didik di MTs.
Persis 5
Cibeber;
D. KEGUNAAN
PENELITIAN
Adapun kegunaan penelitian dalam proposal
skripsi ini adalah:
1.
Bagi Peneliti:
a.
Sebagai
proses pembelajaran bagi peneliti dalam menambah ilmu pengetahuan serta wawasan
keilmuan, dan pendidikan pada umumnya, sekaligus untuk mengembangkan
pengetahuan penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang ilmiah atau
pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan praktek serta melatih diri dalam research
ilmiah.
b.
Untuk
memenuhi tugas dan sebagai
bahan penyusunan skripsi serta ujian munaqosyah yang merupakan tugas
akhir penulis untuk memperoleh gelar sarjana Strata satu (S1) pada jurusan
Pendidikan Agama Islam STAI Persis Bandung.
2.
Bagi
Obyek Penelitian
a.
Sebagai
sumbangan pemikiran ke dalam dunia pendidikan khususnya di MTs. Persis 5
Cibeber .
b.
Sebagai
bahan masukan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan sekaligus peningkatan
akhlak siswa di MTs. Persis 5 Cibeber.
c.
Sebagai
bahan evaluasi terhadap kurikulum yang ditetapkan di MTs. Persis 5 Cibeber.
3.
Sebagai
sumbangan kepada STAI PERSIS Bandung, khususnya kepada perpustakaan sebagai bahan bacaan yang bersifat ilmiah
dan sebagai kontribusi khazanah intelektual pendidikan.
E. KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam dunia pendidikan ada yang dinamakan proses kegiatan
belajar mengajar. Dari dua ungkapan belajar dan mengajar akan terlintas ada murid
dan guru. Dua komponen ini lah akan mengahsilkan interaksi belajar mengajar,
logika sederhana mengatakan: ada murid, tetapi tidak ada guru proses belajar
dan mengajar tidak akan tercapai begitu juga sebaliknya.
Hal itu dipertegas
oleh Mohammad Ali. (1987:1), mengatakan:
"mengajar merupakan inti dari proses pendidikan, sementara
pengajaran merupakan inti dari proses belajar siswa, karena itu keduanya tidak
bisa dipisahkan, artinya guru tidak bisa dipisahkan dengan murid”. Berdasarkan
ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa ada guru dan murid berarti ada
pengajaran atau ada materi yang diberikan oleh guru kepada murid. Namun
persoalannya bagaimana materi pelajaran itu bisa diterima dihadapan murid
sebagai aktivitas dalam menuntut ilmu dan berakhlak?
Aktivitas menurut kamus bahasa Indonesia Pendidikan
Pengajaran dan umum diartikan sebagai kegiatan, kesibukan.[3] Aktivitas adalah kerja, semacam kegiatan
seseorang baik yang bersifat fisik jasmani maupun bersifat rohani.[4]
Kaitanya dengan proses belajar mengajar bahwa proses
belajar mengajar ini merupakan dua proses atau kegiatan yang tidak bisa
dipisahkan. Pada hakikatnya proses belajar mengajar adalah suatu proses
mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar anak didik, sehingga
dapat menumbuhkan dan mendorong anak didik melukan proses belajar. Pada tahap
berikutnya adalah proses memberikan bimbingan dan bantuan kepada anak didik
dalam melakukan proses belajar.[5]
Untuk variable pertama tentang aktivitas belajar
mengajar, sebagaimana Paul B. Diedrick
dalam Sardiman, mengklarifikasikan aktivitas belajar yaitu :
1.
Listening activities seperti
mendengarkan, uraian, percakapan, pidato.
2.
Visual activities
seperti membaca memperhatikan, demontrasi.
3.
Writing activities
seperti mencatat, menulis dan menyalin.
4.
Mental activities
seperti menanggapai, mengingat, berfikir.
5.
Motor activities
seperti melakukan percobaan, membuat kontruksi.
6.
Oral activities
seperti bertanya, meneruskan, mengeluarkam pendapat.
7.
Drawing activities
seperti menggambar, membuat peta.
8.
Emotional activities
seperti menaruh minat, berani, bosan, gembira.
Secara etimologi, kata akhlak berasal dari
bahasa Arab (
(أخــلاقbentuk jamak mufrodnya khuluk
(خلق),
yang berarti “budi pekerti”.[6] Akhlak secara bahasa diartikan sebagai
perangai, tabi’at, adat, atau sistem perilaku yang dibuat.[7] Istilah budi pekerti sering kali dipersamakan
dengan istilah sopan santun, susila, moral, etika, adab atau akhlak. Kesemua
istilah itu memiliki makna yang sama, yaitu sikap, perilaku, dan tindakan
individu yang mengacu pada norma baik-buruk dalam hubungannya dengan sesama
individu, anggota keluarga, masyarakat, hidup berbangsa, bernegara bahkan
sebagai umat beragama, yang bertujuan untuk kebaikan dan peningkatan kualitas
diri dalam mengarugi kehidupan sehari-hari.[8]
Pembinaan akhlak merupakan tujuan terpenting dari
pendidkan agama Islam. Rasul sendiri diutus kedunia ini untuk menyempurnakan
akhlak sebagaimana beliau bersabda dalam hadistnya yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad :
انـّـمـا بعـت
لأتـمـّـم مـكارم الأخــلاق
“Sesunggunya Aku diutus ke
dunia ini untuk menyempurnakan akhlak”
Manusia diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang mempunyai
potensi yang dapat menjadikannya sebagai makhluk yang paling sempurna. Namun
tak dapat dipungkiri bahwa selain membawa potensi yang baik, manusia juga
diciptakan dengan membawa potensi negative yang dapat menjadikan dirinya sama
dengan binatang bahkan lebih rendah dari binatang.
Salah satu fakta yang menyebabkan degradasi akhlak di
kalangan remaja dan siswa didik dewasa ini adalah kurangnya pembinaan akhlak
terhadap mereka. Hal ini mendorong para pendidik untuk secara intensif membina
akhlak remaja baik di lingkungan keluarga, masyarakat, atau pun sekolah-sekolah
umum, termasuk di lembaga pendidikan umum dan kejuruan.
Menurut Al-Ghazali yang pendapatnya dikutip oleh
Hamzah Ya’qub, “ Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari
padanya timbul perbuata-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan
pertimbangan pemikiran (lebih dahulu). Ibnu Maskawih yang dikutip oleh Abudin
Nata. (1997:3), menjelaskan: “memberikan
batasan akhlak dengan gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan
dengan tidak menghajatan fikiran”.
Akhlak dalam tataran konsep praktis dikehidupan
sehari-hari selalu dikaitkan dengan etika. Kata yang cukup dekat “etika” adalah
“moral”. Sebagian orang berpandangan
bahwa moral merupakan tataran aplikasi dari akhlak seseorang. Kata terahir ini
berasal dari bahasa Latin Mos (jamak :Mores) yang berarti juga
kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan bahasa lain, termasuk dalam bahasa
Indonesia (pertama kali dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988) kata mores
masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, etimologi kata “etika” sama dengan
etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal dari adat kebiasaan. Hanya
bahasa asalnya berbeda : yang pertama berasal dari bahasa Yunani, sedangkan
yang kedua dari bahasa Latin.
Sekarang kita kembali ke istilah “etika”. Setelah mempelajari dulu asal usulnya,
sekarang kita berusaha menyimak artinya. Salah satu cara terbaik untuk mencari
sebuah kata adalah melihat dalam kamus. Mengenai kata “etika” ada perbedaan
yang monyolok, jika kita membandingkan apa yang dikatakan dalam kamus yang lama
dengan kamus yang baru. Menurut Poerwadarminta dalam K. Bertens, (2005:5),
dalam kamus umum bahasa Indonesia yang lama “etika” dijelaskan sebagai: “ ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), pengetahuan tentang asas-asas
nilai yang berkenaan akhlak”.[9]
Etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti, yaitu :
1.
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlah);
2.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak;
3.
Nilai mengenai benar dan salah yang
dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
Akhlak adalah perbuatan, tindak tanduk seseorang yang
dilakukan dengan mudah tanpa banyak pertimbangan, dengan lancar tanpa merasa
sulit ia lakukan. Sehingga perbuatan dan tindak tanduk yang dilakukan dengan
terpaksa atau merasa berat untuk berbuat belumlah dikatakan akhlak.[10] Orang yang baik akhlaknya ialah yang bersikap
lapang dada, peramah, pandai bergaul, tidak menyakiti orang lain, lurus benar,
tidak berdusta, sedikit berbicara banyak kerja, sabar (tabah) dalam perjuangan,
tahu berterimakasih, di percaya, tidak memfitnah, tidak dengki, baik dengan
tetangga, kata-kata dan perbuatanya disenangi orang lain..
Akhlak merupak pokok dari ajaran Islam disamping
akidah dan syari’ah karena dengan akhlak akan terbina mental dan jiwa seseorang
untuk memiliki hakikat kemanusiaan yang tinggi. Perbuatan yang baik maupun
buruk merupakan manifestasi akhlak seseorang dimana tingkah laku seseorang
dapat dipengaruhi oleh aspek-aspek secara sadar maupun diluar kesadaran dapat
membentuk pribadinya sehingga terwujud dalam suatu kebiasaan.
Kata akhlak berarti budi pekerti, dalam kehidupan
sehari-hari budi pekerti memang mempunyai peran yang amat penting bagi manusia,
baik bagi pribadi maupun orang lain. Jadi yang dimaksud akhlak disini adalah
prilaku sopan santun siswa yang merupakan realisasi hasil proses belajar
mengajar. Syari’at Islam tidak dapat dihayati dan diamalkan kalau hanya
diajarkan saja, tetapi harus di didik melalui proses pendidikan. Nabi SAW telah
mengajarkan untuk beriman dan beramal serta berakhlak yang baik sesuai dengan
ajaran Islam. Tujuan dari pendidikan ini adalah membina insan paripurna yang taqarub
kepada Allah, bahagia di dunia dan akhirat .[11]
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa akhlak
adalah tingkahlaku pada diri seseorang dan hal itu telah dilakukanya secara
berulang-ulang serta terus menerus. Kalau perbuatanya sesuai dengan ajaran
Islam, maka dikatakan akhlak baik, sebaliknya kalau perbuatanya menyimpang dari
ajaran Islam maka dinamakan akhlak buruk.
Berdasarkan uraian diatas, penulis sampaikan bahwa
indikator perilaku akhlak siswa meliputi : 1) Akhlak terhadap Allah, yang
meliputi : taqwa, berdo’a, ikhlas, dan ridhlo. 2) Akhlak terhadap sesama
manusia, yang meliputi : ishlah, saling tolong menolong, ukhuwah atau
persaudaraan, menjenguk orang yang sakit. 3) Akhlak terhadap diri sendiri, yang
meliputi : wafa, tawadlu, muru’ah .
[1] Mastuhu, Pendidikan
Indonesia Menyongsong ”Indonesia Baru” Pasca-Orde baru, (Jakarta: dalam
Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan GEMA
Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, 1994), ed. Ke- 1, hlm. 8
[2] H. A.R.
Tilaar, Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam perspektif Abad 21, (Jakarta:
Terai Indonesia,
1999), cet. Ke-2, hlm. 16
[7] Hamzah
Ya’qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung:
CV. Ponogoro,
1996), cet. Ke-1, hlm. 11
0 Response to "AKTIVITAS SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK HUBUNGANNYA DENGAN AKHLAK ANAK DIDIK DI LINGKUNGAN PESANTREN"
Post a Comment