Latest Updates

DOWNLOAD KARYA ILMIAH SASTRA



TEORI SASTRA 

Apakah Sastra itu? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Setiap jawaban yang diberikan tidak  akan  menimbulkan  kepuasan  penanya.  Namun  demikian,  jika  seseorang  ditanya tentang  apakah  ia  pernah  membaca  karya  sastra.  Jawabannya,  “ya,  pernah  atau belum”.  Atau,  jika  seseorang  ditanya  apakah  ia  menyukai  sastra,  dengan  segera  pula timbul jawabannya, “ya” atau “tidak”, sesuai dengan  pengalaman  keseharian  hidupnya bergaul  dengan  sastra.  Ini  berarti,  secara  konseptual  yang  ditanya  tidak  dapat menjelaskan  tentang  “apa  itu  sastra”,  tetapi  dalam  keseharian  ia  mengenal  “sastra sebagai suatu objek yang dihadapinya.

Dalam  kehidupan  keseharian  pula,  pada  umumnya  orang  menyukai  sastra.  Kata-kata mutiara,  ungkapan-ungkapan  yang  bersifat  persuasif  yang  merupakan  salah  satu  ciri khas  keindahan  bahasa  sastra  sering  kali  digunakan  orang  dalam  situasi berkomunikasi.  Kenyataan  ini  menunjukkan  bahwa  terdapat  kecenderungan  orang  ke arah bersastra.

Untuk  memahami  dan  menikmati  karya  sastra  diperlukan  pemahaman  tentang  teori sastra. Teori sastra menjelaskan kepada kita tentang konsep sastra sebagai salah satu disiplin  ilmu  humaniora  yang  akan  mengantarkan  kita  ke  arah  pemahaman  dan penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari teori sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra. Sebaliknya  juga,  dengan  memahami  fenomena  kehidupan  manusia  dalam teori  sastra kita  akan  memahami  pula  teori  sastra.

Melalui  modul  ini,  secara  umum  diharapkan  Anda  dapat  memahami  hakikat  sastra dengan ruang lingkupnya sebagai bekal Anda dalam mempelajari apresiasi dan kajian sastra. Untuk mencapai tujuan tersebut, di dalamnya disajikan urutan materi berupa:

1. Ruang Lingkup Ilmu Sastra,
2. Pengertian Sastra,
3. Jenis Karya Sastra,
4. Struktur Karya Sastra,
5. Puisi,
6. Prosa,
7. Drama,
8. Pendekatan Pengkajian Sastra, serta
9. Aliran dalam Karya Sastra.





Ruang Lingkup Ilmu Sastra 
Ilmu  sastra  sudah  merupakan  ilmu  yang  cukup  tua  usianya.  Ilmu  ini  sudah  berawal pada  abad  ke-3  SM,  yaitu  pada  saat  Aristoteles  (384-322  SM)  menulis  bukunya  yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah poetica sebagai teori ilmu  sastra,  lambat  laun  digunakan  dengan  beberapa  istilah  lain  oleh  para  teoretikus sastra  seperti  The  Study  of  Literatur,  oleh  W.H.  Hudson,  Theory  of  Literature  Rene Wellek  dan  Austin  Warren,  Literary  Scholarship  Andre  Lafavere,  serta  Literary Knowledge  (ilmu  sastra)  oleh  A.  Teeuw. 
Ilmu  sastra  meliputi  ilmu  teori  sastra,  kritik  sastra,  dan  sejarah  sastra.  Ketiga  disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra.
Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin  ilmu  tersebut.  Khususnya  bagi  sejarah  sastra  dikatakan  bahwa  pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian  sejarah  sastra  menggunakan  pendekatan  kesewaktuan,  sejarah  sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada pada zaman itu. Bahkan dikatakan  tidak  terdapat  kesinambungan  karya  sastra  suatu  periode  dengan  periode berikutnya  karena  dia  mewakili  masa  tertentu.  Walaupun  teori  ini  mendapat  kritikan yang  cukup  kuat  dari  teoretikus  sejarah  sastra,  namun  pendekatan  ini  sempat berkembang  dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun  demikian, dalam praktiknya, pada  waktu  seseorang  melakukan  pengkajian  karya  sastra,  antara  ketiga  disiplin  ilmu tersebut saling terkait.
Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra 
Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori,  kriteria  karya  sastra  yang  membedakannya  dengan  yang  bukan  sastra. Secara  umum  yang  dimaksud  dengan  teori  adalah  suatu  sistem  ilmiah  atau pengetahuan  sistematik  yang  menerapkan  pola  pengaturan  hubungan  antara  gejala-gejala  yang  diamati.  Teori  berisi  konsep/  uraian  tentang  hukum-hukum  umum  suatu objek  ilmu  pengetahuan  dari  suatu  titik  pandang  tertentu.
Suatu  teori  dapat  dideduksi  secara  logis  dan  dicek  kebenarannya  (diverifikasi)  atau dibantah  kesahihannya  pada  objek  atau  gejala-gejala  yang  diamati  tersebut.
Kritik  sastra  juga  bagian  dari  ilmu  sastra.  Istilah  lain  yang  digunakan  para  pengkaji sastra  ialah  telaah  sastra,  kajian  sastra,  analisis  sastra,  dan  penelitian  sastra.  Untuk  membuat  suatu  kritik  yang  baik,  diperlukan  kemampuan  mengapresiasi  sastra, pengalaman  yang  banyak  dalam  menelaah,  menganalisis,  mengulas  karya  sastra, penguasaan,  dan  pengalaman  yang  cukup  dalam  kehidupan  yang  bersifat  nonliterer, serta  tentunya  penguasaan  tentang  teori  sastra.   Sejarah  sastra  bagian  dari  ilmu  sastra  yang  mempelajari  perkembangan  sastra  dari waktu  ke  waktu.  Di  dalamnya  dipelajari  ciri-ciri  karya  sastra  pada  masa  tertentu,  para sastrawan  yang  mengisi  arena  sastra,  puncak-puncak  karya  sastra  yang  menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu  kegiatan  keilmuan  sastra,  seorang  sejarawan  sastra  harus  mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya,  karakteristik  isi  dan  tematik.

Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra
Pada  hakikatnya,  teori  sastra  membahas  secara  rinci  aspek-aspek  yang  terdapat  di dalam karya sastra, baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata,  maupun  konvensi  sastra  yang  meliputi  tema,  tokoh,  penokohan,  alur,  latar,  dan lainnya  yang  membangun  keutuhan  sebuah  karya  sastra.  Di  sisi  lain,  kritik  sastra merupakan  ilmu  sastra  yang  mengkaji,  menelaah,  mengulas,  memberi  pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra.  Sasaran  kerja  kritikus  sastra  adalah  penulis  karya  sastra  dan  sekaligus pembaca  karya  sastra.  Untuk  memberikan  pertimbangan  atas  karya  sastra  kritikus sastra  bekerja  sesuai  dengan  konvensi  bahasa  dan  konvensi  sastra  yang  melingkupi karya  sastra.  Demikian  juga  terjadi  hubungan  antara  teori  sastra  dengan  sejarah  sastra.  Sejarah sastra  adalah  bagian  dari  ilmu  sastra  yang  mempelajari  perkembangan  sastra  dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa.  Perkembangan  sejarah  sastra  suatu  bangsa,  suatu  daerah,  suatu  kebudayaan, diperoleh  dari  penelitian  karya  sastra  yang  dihasilkan  para  peneliti  sastra  yang menunjukkan  terjadinya  perbedaan-perbedaan  atau  persamaan-persamaan  karya sastra  pada  periode-periode  tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan  kritik  sastra  terjalin  keterkaitan.

TEORI, KRITIK, dan SEJARAH SASTRA
Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol sebagai kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mempelajari sejarah sastra. Teori, kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berhubungan. Untuk mempelajarinya, kita harus memilah perbedaan sudut pandang yang mendasar.
Kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu sementara di dalam buku teori sastra saja sudah termasuk di dalamnya kritik dan sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra.
Teori sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan generalisasi.
Mengenai kritik dan sejarah sastra, ada yang berusaha untuk memisahkannya.  Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan dan sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud untuk menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra pun sudah selesai. Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan interpretasi sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu. Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.








HAKIKAT SASTRA SERTA TEKS DAN KONTEKS
Hakikat Sastra  Pengertian  tentang  sastra  sangat  beragam.  Berbagai  kalangan  mendefinisikan pengertian  tersebut  menurut  versi  pemahaman  mereka  masing-masing.  Menurut  A. Teeuw, sastra dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam  bentuk  tulis.  Sementara  itu,  Jacob  Sumardjo  dan  Saini  K.M.  mendefnisikan sastra  dengan  5  buah  pengertian,  dan  dari  ke-5  pengertian  tersebut  dibatasi  menjadi sebuah  definisi.  Sastra  adalah  ungkapan  pribadi  manusia  yang  berupa  pengalaman, pemikiran,  semangat,  dan  keyakinan  dalam  suatu  bentuk  gambaran  konkret  yang membangkitkan  pesona  dengan  alat  bahasa.  Secara  lebih  rinci  lagi,  Faruk mengemukakan  bahwa  pada  mulanya  pengertian  sastra  amat  luas,  yakni  mencakup segala  macam  hasil  aktivitas  bahasa  atau  tulis-menulis.  Seiring  dengan  meluasnya kebiasaan  membaca  dan  menulis,  pengertian  tersebut  menyempit  dan  didefinisikan sebagai  segala  hasil  aktivitas  bahasa  yang  bersifat  imajinatif,  baik  dalam  kehidupan yang  tergambar  di  dalamnya,  maupun  dalam  hal  bahasa  yang  digunakan  untuk menggambarkan kehidupan itu.
Untuk  mempelajari  sastra  lebih  dalam  lagi,  setidaknya  terdapat  5  karakteristik  sastra yang  mesti  dipahami.  Pertama,  pemahaman  bahwa  sastra  memiliki  tafsiran  mimesis. Artinya,  sastra  yang  diciptakan  harus  mencerminkan  kenyataan.  Kalau  pun  belum, karya  sastra  yang  diciptakan  dituntut  untuk  mendekati  kenyataan.  Kedua,  manfaat sastra.  Mempelajari  sastra  mau  tidak  mau  harus  mengetahui  apa  manfaat  sastra  bagi para  penikmatnya.  Dengan  mengetahui  manfaat  yang  ada,  paling  tidak  kita  mampu memberikan  kesan  bahwa  sastra  yang  diciptakan  berguna  untuk  kemaslahatan manusia.  Ketiga,  dalam  sastra  harus  disepakati  adanya  unsur  fiksionalitas.  Unsur fiksionalitas  sendiri  merupakan  cerminan  kenyataan,  merupakan  unsur  realitas  yang tidak  'terkesan'  dibuat-buat.  Keempat,  pemahaman  bahwa  karya  sastra  merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita  dapat  membedakan  mana  karya  yang  termasuk  sastra  dan  bukan  sastra.  Kelima, setelah  empat  karakteristik  ini  kita  pahami,  pada  akhirnya  harus  bermuara  pada kenyataan  bahwa  sastra  merupakan  bagian  dari  masyarakat.  Hal  ini  mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki tanda-tanda, yang kurang lebih  sama,  dengan  norma,  adat,  atau  kebiasaan  yang  muncul  berbarengan  dengan hadirnya  sebuah  karya  sastra.

Teks dan Konteks 
Teks  adalah  ungkapan  bahasa  yang  menurut  isi,  sintaksis,  dan  pragmatik  merupakan sebuah  kesatuan,  sedangkan  konteks  adalah  fungsi  yang  diacu  oleh  teks.  Baik  teks maupun  konteks,  keduanya  senantiasa  hadir  secara  bersama  dan  tidak  dapat dipisahkan. Terdapat  enam  faktor  yang  menentukan  sebuah  teks.  Faktor  tersebut  selanjutnya disebut  sebagai  faktor-faktor  yang  berperan  dalam  tindak  komunikasi.  Keenam  faktor tersebut adalah: (1) pemancar, (2) penerima, (3) pesan (teks itu sendiri), (4) kenyataan atau konteks yang diacu, (5) kode, dan (6) saluran.
Sementara itu, terdapat empat jenis teks,  yakni:  (1)  teks  acuan,  (2)  teks  ekspresif,  (3)  teks  persuasif,  dan  (4)  teks-teks mengenai  teks.  Teks  acuan  dibedakan  lagi  menjadi  tiga,  yakni:  (1)  teks  informatif,  (2) teks  diakursif,  dan  (3)  teks  instruktif.
 Pada  akhirnya,  semua  pembahasan  mengenai  teks  harus  bermuara  pada  bagaimana cara  menilai  teks-teks  sastra.  Memang,  ilmu  sastra  tidak  memberikan  penilaian  pada teks,  tidak  menghakimi  baik-buruknya  teks,  tetapi  ia  bersama  para  ahli  estetika  dan juga kritikus sastra, mempelajari fakta  dan  relasi-relasi atau instrumen-instrumen  yang  diungkapkan  dalam  sebuah  penilaian. 

JENIS-JENIS (GENRE) SASTRA
Sastra Imajinatif 
Sastra  imajinatif  adalah  sastra  yang  berupaya  untuk  menerangkan,  menjelaskan, memahami,  membuka  pandangan  baru,  dan  memberikan  makna  realitas  kehidupan agar  manusia  lebih  mengerti  dan  bersikap  yang  semestinya  terhadap  realitas kehidupan.  Dengan  kata  lain,  sastra  imajinatif  berupaya  menyempurnakan  realitas kehidupan  walaupun sebenarnya fakta  atau  realitas kehidupan sehari-hari tidak  begitu penting  dalam  sastra  imajinatif.  Jenis-jenis  tersebut  antara  lain  puisi,  fiksi  atau  prosa  naratif,  dan  drama.  Puisi  dapat dikelompokkan  menjadi  tiga,  yakni  puisi  epik,  puisi  lirik,  dan  puisi  dramatik.  Fiksi  atau prosa  naratif  terbagi  atas  tiga  genre,  yakni  novel  atau  roman,  cerita  pendek  (cerpen), dan novelet (novel “pendek”). Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui  dialog-dialog  para  tokohnya Pada  akhirnya,  semua  pembahasan  mengenai  sastra  imajinatif  ini  harus  bermuara pada  bagaimana  cara  memahami  ketiga  jenis  sastra  imajinatif  tersebut  secara komprehensif.  Tanpa  adanya  pemahaman  ini,  apa  yang  dipelajari  dalam  hakikat  dan jenis  sastra  imajinatif  ini  hanya  sekadar  hiasan  ilmu  yang  akan  cepat  pudar.
Sastra Non-imajinatif 
Sastra  non-imajinatif  memiliki  beberapa  ciri  yang  mudah  membedakannya  dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan dengan sastra tersebut. Pertama,  dalam  karya  sastra  tersebut  unsur  faktualnya  lebih  menonjol  daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif,  kekonotatifan  tersebut  amat  bergantung  pada  gaya  penulisan  yang  dimiliki pengarang.  Persamaannya,  baik  sastra  imajinatif  maupun  non-imajinatif,  keduanya sama-sama  memenuhi  estetika  seni  (unity  =  keutuhan,  balance  =  keseimbangan, harmony  =  keselarasan,  dan  right  emphasis  =  pusat  penekanan  suatu  unsur).  Sastra non-imajinatif  itu  sendiri  merupakan  sastra  yang  lebih  menonjolkan  unsur  kefaktualan daripada  daya  khayalnya  dan  ditopang  dengan  penggunaan  bahasa  yang  cenderung denotatif.  Dalam  praktiknya  jenis  sastra  non-imajinatif  ini  terdiri  atas  karya-karya  yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar, catatan harian, dan surat-surat.











STRUKTUR PEMBANGUNAN KARYA SASTRA
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi
Sebuah karya sastra mengandung unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik. Keterikatan yang erat antar unsur tersebut dinamakan struktur pembangun karya sastra. Unsur intrinsik ialah unsur yang secara langsung membangun cerita dari dalam karya itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang turut membangun cerita dari luar karya sastra. Unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi, prosa, dan drama memiliki perbedaan, sesuai dengan ciri dan hakikat dari ketiga genre tersebut. Namun unsur ekstrinsik pada semua jenis karya sastra memiliki kesamaan. Unsur intrinsik sebuah puisi terdiri dari tema, amanat, sikap atau nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik yang banyak mempengaruhi puisi antara lain: unsur biografi, unsur kesejarahan, serta unsur kemasyarakatan.

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa
Unsur pembangun prosa terdiri dari struktur dalam atau unsur intrinsik serta struktur luar atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut pandang, serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasannya. Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari tema utama serta beberapa tema bawahan. Pada cerpen yang memiliki pengisahan lebih singkat, biasanya hanya terdapat tema utama.
Alur merupakan struktur penceritaan yang dapat bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran). Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi pusat cerita dinamakan tokoh sentral. Tokoh adalah pelaku di dalam cerita. Berdasarkan peran tokoh dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat adanya penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk menampilkan tokoh cerita. Penokohan dapat dilakukan menggunakan 3 metode: (a) analitik, (b) dramatik, dan (c) kontekstual. Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti layaknya manusia. Watak tokoh terdiri dari sifat, sikap, serta kepribadian tokoh. Cara kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita dinamakan penokohan, yang dapat dilakukan melalui dimensi (a) fisik, (b) psikis, dan (c) sosial.
Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur. Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Latar tempat terdiri dari tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat diketahui secara pasti.
Cara kerja pengarang untuk membangun cerita bukan hanya melalui penokohan dan perwatakan, dapat pula melalui sudut pandang. Sudut pandang adalah cara pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya, yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh cerita terdiri dari (a) sudut pandang akuan, (b) sudut pandang diaan, (c) sudut pandang campuran. Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa, pengarang bebas menentukan akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah, dialek, ataupun bahasa asing.

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Drama
Karya sastra drama memiliki unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik yang diperlukan untuk membangun ceritanya. Unsur intrinsik drama terdiri dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta latar.
Drama yang merupakan ciptaan kreatif pengarang harus memiliki tema yang kuat, agar tercipta sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa adanya konflik, cerita drama akan terasa datar. Konflik terdapat di dalam plot, yang terjadi karena adanya ketegangan antartokoh. Tokoh drama terbagi menurut peran dan fungsinya dalam lakon. Menurut perannya tokoh terdiri dari tokoh utama, tokoh bawahan, serta tokoh tambahan. Di dalam drama fungsi tokoh sangat penting, yaitu sebagai tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Cakapan merupakan ciri utama drama yang mungkin berupa dialog namun dapat pula berbentuk monolog. Selain itu, ada pula karakter (sebagai apa dan kejiwaannya seperti apa) dan latar yang saling berhubungan erat. Latar dalam drama sangat mempengaruhi karakter tokoh.




bagi teman teman yang ingin file lengkapnya silahkan requeat dan tinggalkan alamat e_mailnya.

Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

0 Response to "DOWNLOAD KARYA ILMIAH SASTRA"

Post a Comment