TEORI SASTRA
Apakah Sastra itu? Pertanyaan ini tidak mudah
dijawab. Setiap jawaban yang diberikan tidak
akan menimbulkan kepuasan
penanya. Namun demikian,
jika seseorang ditanya tentang apakah
ia pernah membaca
karya sastra. Jawabannya,
“ya, pernah atau belum”.
Atau, jika seseorang
ditanya apakah ia
menyukai sastra, dengan
segera pula timbul jawabannya,
“ya” atau “tidak”, sesuai dengan
pengalaman keseharian hidupnya bergaul dengan
sastra. Ini berarti,
secara konseptual yang
ditanya tidak dapat menjelaskan tentang
“apa itu sastra”,
tetapi dalam keseharian
ia mengenal “sastra sebagai suatu objek yang dihadapinya.
Dalam
kehidupan keseharian pula,
pada umumnya orang
menyukai sastra. Kata-kata mutiara, ungkapan-ungkapan yang
bersifat persuasif yang
merupakan salah satu
ciri khas keindahan bahasa
sastra sering kali
digunakan orang dalam
situasi berkomunikasi.
Kenyataan ini menunjukkan
bahwa terdapat kecenderungan
orang ke arah bersastra.
Untuk
memahami dan menikmati
karya sastra diperlukan
pemahaman tentang teori sastra. Teori sastra menjelaskan kepada
kita tentang konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu
humaniora yang akan mengantarkan kita
ke arah pemahaman
dan penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari
teori sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan manusia yang tertuang di
dalam teori sastra. Sebaliknya
juga, dengan memahami
fenomena kehidupan manusia
dalam teori sastra kita akan
memahami pula teori
sastra.
Melalui
modul ini, secara
umum diharapkan Anda
dapat memahami hakikat
sastra dengan ruang lingkupnya sebagai bekal Anda dalam mempelajari
apresiasi dan kajian sastra. Untuk mencapai tujuan tersebut, di dalamnya
disajikan urutan materi berupa:
1. Ruang Lingkup Ilmu Sastra,
2. Pengertian Sastra,
3. Jenis Karya Sastra,
4. Struktur Karya Sastra,
5. Puisi,
6. Prosa,
7. Drama,
8. Pendekatan Pengkajian Sastra, serta
9. Aliran dalam Karya Sastra.
Ruang Lingkup Ilmu Sastra
Ilmu sastra
sudah merupakan ilmu
yang cukup tua
usianya. Ilmu ini
sudah berawal pada abad
ke-3 SM, yaitu
pada saat Aristoteles
(384-322 SM) menulis
bukunya yang berjudul Poetica
yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah poetica sebagai teori
ilmu sastra, lambat
laun digunakan dengan
beberapa istilah lain
oleh para teoretikus sastra seperti
The Study of
Literatur, oleh W.H.
Hudson, Theory of
Literature Rene Wellek dan
Austin Warren, Literary
Scholarship Andre Lafavere,
serta Literary Knowledge (ilmu
sastra) oleh A.
Teeuw.
Ilmu sastra
meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam
pengkajian karya sastra.
Dalam perkembangan ilmu sastra,
pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu
tersebut. Khususnya bagi
sejarah sastra dikatakan
bahwa pengkajian sejarah sastra
bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu,
pengkajian sejarah sastra
menggunakan pendekatan kesewaktuan,
sejarah sastra hanya dapat
didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada pada zaman itu. Bahkan
dikatakan tidak terdapat
kesinambungan karya sastra
suatu periode dengan
periode berikutnya karena dia
mewakili masa tertentu.
Walaupun teori ini
mendapat kritikan yang cukup
kuat dari teoretikus
sejarah sastra, namun
pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika.
Namun demikian, dalam praktiknya,
pada waktu seseorang
melakukan pengkajian karya
sastra, antara ketiga
disiplin ilmu tersebut saling
terkait.
Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra
Teori sastra ialah cabang ilmu
sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria
karya sastra yang
membedakannya dengan yang
bukan sastra. Secara umum
yang dimaksud dengan
teori adalah suatu
sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik
yang menerapkan pola
pengaturan hubungan antara
gejala-gejala yang diamati.
Teori berisi konsep/
uraian tentang hukum-hukum
umum suatu objek ilmu
pengetahuan dari suatu
titik pandang tertentu.
Suatu teori
dapat dideduksi secara
logis dan dicek
kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah
kesahihannya pada objek
atau gejala-gejala yang
diamati tersebut.
Kritik sastra
juga bagian dari
ilmu sastra. Istilah
lain yang digunakan
para pengkaji sastra ialah
telaah sastra, kajian
sastra, analisis sastra,
dan penelitian sastra.
Untuk membuat suatu
kritik yang baik,
diperlukan kemampuan mengapresiasi
sastra, pengalaman yang banyak
dalam menelaah, menganalisis,
mengulas karya sastra, penguasaan, dan
pengalaman yang cukup
dalam kehidupan yang
bersifat nonliterer, serta tentunya
penguasaan tentang teori
sastra. Sejarah
sastra bagian dari
ilmu sastra yang
mempelajari perkembangan sastra
dari waktu ke waktu.
Di dalamnya dipelajari
ciri-ciri karya sastra
pada masa tertentu,
para sastrawan yang mengisi
arena sastra, puncak-puncak
karya sastra yang
menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di
seputar masalah sastra. Sebagai suatu
kegiatan keilmuan sastra,
seorang sejarawan sastra
harus mendokumentasikan karya
sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh
yang melatarbelakanginya,
karakteristik isi dan
tematik.
Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra
Pada hakikatnya,
teori sastra membahas
secara rinci aspek-aspek
yang terdapat di dalam karya sastra, baik konvensi bahasa
yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun
konvensi sastra yang
meliputi tema, tokoh,
penokohan, alur, latar,
dan lainnya yang membangun
keutuhan sebuah karya
sastra. Di sisi
lain, kritik sastra merupakan ilmu
sastra yang mengkaji,
menelaah, mengulas, memberi
pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan
kelemahan atau kekurangan karya sastra.
Sasaran kerja kritikus
sastra adalah penulis
karya sastra dan
sekaligus pembaca karya sastra.
Untuk memberikan pertimbangan
atas karya sastra
kritikus sastra bekerja sesuai
dengan konvensi bahasa
dan konvensi sastra
yang melingkupi karya sastra.
Demikian juga terjadi
hubungan antara teori
sastra dengan sejarah
sastra. Sejarah sastra adalah
bagian dari ilmu
sastra yang mempelajari
perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode
sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan
sejarah sastra suatu
bangsa, suatu daerah,
suatu kebudayaan, diperoleh dari
penelitian karya sastra
yang dihasilkan para
peneliti sastra yang menunjukkan terjadinya
perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra
pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian
karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik
sastra terjalin keterkaitan.
TEORI, KRITIK, dan SEJARAH
SASTRA
Dalam studi sastra, perlu
dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan
sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti
Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol sebagai
kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mempelajari sejarah sastra. Teori,
kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya
saling berhubungan. Untuk mempelajarinya, kita harus memilah perbedaan sudut
pandang yang mendasar.
Kesusastraan dapat dilihat
sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan
merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip,
kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan
studi karya-karya kongkret. Ada
yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, dan sejarah sastra.
Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu
sementara di dalam buku teori sastra saja sudah termasuk di dalamnya kritik dan
sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat disusun teori sastra tanpa kritik
sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori
sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra.
Teori sastra dapat disusun
berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu
mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra.
Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu
set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan generalisasi.
Mengenai kritik dan sejarah
sastra, ada yang berusaha untuk memisahkannya.
Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan
standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga
perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari.
Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa
silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan dan
sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud untuk
menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut
menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra
pun sudah selesai. Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang
digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman
pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat
berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan
interpretasi sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu.
Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat
menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti
karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan
kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya
untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting
untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan
sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu
asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat
merugikan keduanya.
HAKIKAT SASTRA SERTA TEKS DAN KONTEKS
Hakikat Sastra Pengertian
tentang sastra sangat
beragam. Berbagai kalangan
mendefinisikan pengertian
tersebut menurut versi
pemahaman mereka masing-masing. Menurut
A. Teeuw, sastra dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang tertulis;
pemakaian bahasa dalam bentuk tulis.
Sementara itu, Jacob
Sumardjo dan Saini
K.M. mendefnisikan sastra dengan
5 buah pengertian,
dan dari ke-5
pengertian tersebut dibatasi
menjadi sebuah definisi. Sastra
adalah ungkapan pribadi
manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran,
semangat, dan keyakinan
dalam suatu bentuk
gambaran konkret yang membangkitkan pesona
dengan alat bahasa.
Secara lebih rinci
lagi, Faruk mengemukakan bahwa
pada mulanya pengertian
sastra amat luas,
yakni mencakup segala macam
hasil aktivitas bahasa
atau tulis-menulis. Seiring
dengan meluasnya kebiasaan membaca
dan menulis, pengertian
tersebut menyempit dan
didefinisikan sebagai segala hasil
aktivitas bahasa yang
bersifat imajinatif, baik
dalam kehidupan yang tergambar
di dalamnya, maupun
dalam hal bahasa
yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan itu.
Untuk mempelajari
sastra lebih dalam
lagi, setidaknya terdapat
5 karakteristik sastra yang
mesti dipahami. Pertama,
pemahaman bahwa sastra
memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra
yang diciptakan harus
mencerminkan kenyataan. Kalau
pun belum, karya sastra
yang diciptakan dituntut
untuk mendekati kenyataan.
Kedua, manfaat sastra. Mempelajari
sastra mau tidak
mau harus mengetahui
apa manfaat sastra
bagi para penikmatnya. Dengan
mengetahui manfaat yang
ada, paling tidak
kita mampu memberikan kesan
bahwa sastra yang
diciptakan berguna untuk
kemaslahatan manusia.
Ketiga, dalam sastra
harus disepakati adanya
unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas sendiri
merupakan cerminan kenyataan,
merupakan unsur realitas
yang tidak 'terkesan' dibuat-buat.
Keempat, pemahaman bahwa
karya sastra merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya
karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita dapat
membedakan mana karya
yang termasuk sastra
dan bukan sastra.
Kelima, setelah empat karakteristik
ini kita pahami,
pada akhirnya harus
bermuara pada kenyataan bahwa
sastra merupakan bagian
dari masyarakat. Hal
ini mengindikasikan bahwa sastra
yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki tanda-tanda, yang kurang
lebih sama, dengan
norma, adat, atau
kebiasaan yang muncul
berbarengan dengan hadirnya sebuah
karya sastra.
Teks dan Konteks
Teks adalah
ungkapan bahasa yang
menurut isi, sintaksis,
dan pragmatik merupakan sebuah kesatuan,
sedangkan konteks adalah
fungsi yang diacu
oleh teks. Baik
teks maupun konteks, keduanya
senantiasa hadir secara
bersama dan tidak
dapat dipisahkan. Terdapat enam faktor
yang menentukan sebuah
teks. Faktor tersebut
selanjutnya disebut sebagai faktor-faktor
yang berperan dalam
tindak komunikasi. Keenam
faktor tersebut adalah: (1) pemancar, (2) penerima, (3) pesan (teks itu
sendiri), (4) kenyataan atau konteks yang diacu, (5) kode, dan (6) saluran.
Sementara itu, terdapat empat
jenis teks, yakni: (1)
teks acuan, (2)
teks ekspresif, (3)
teks persuasif, dan
(4) teks-teks mengenai teks.
Teks acuan dibedakan
lagi menjadi tiga,
yakni: (1) teks
informatif, (2) teks diakursif,
dan (3) teks
instruktif.
Pada
akhirnya, semua pembahasan
mengenai teks harus
bermuara pada bagaimana cara menilai
teks-teks sastra. Memang,
ilmu sastra tidak
memberikan penilaian pada teks,
tidak menghakimi baik-buruknya
teks, tetapi ia
bersama para ahli
estetika dan juga kritikus
sastra, mempelajari fakta dan relasi-relasi atau instrumen-instrumen yang
diungkapkan dalam sebuah
penilaian.
JENIS-JENIS (GENRE) SASTRA
Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif
adalah sastra yang
berupaya untuk menerangkan,
menjelaskan, memahami,
membuka pandangan baru,
dan memberikan makna
realitas kehidupan agar manusia
lebih mengerti dan
bersikap yang semestinya
terhadap realitas kehidupan. Dengan
kata lain, sastra
imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan walaupun sebenarnya fakta atau
realitas kehidupan sehari-hari tidak
begitu penting dalam sastra
imajinatif. Jenis-jenis tersebut
antara lain puisi,
fiksi atau prosa
naratif, dan drama.
Puisi dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yakni puisi
epik, puisi lirik,
dan puisi dramatik.
Fiksi atau prosa naratif
terbagi atas tiga
genre, yakni novel
atau roman, cerita
pendek (cerpen), dan novelet
(novel “pendek”). Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita
melalui dialog-dialog para
tokohnya Pada akhirnya, semua
pembahasan mengenai sastra
imajinatif ini harus
bermuara pada bagaimana cara
memahami ketiga jenis
sastra imajinatif tersebut
secara komprehensif. Tanpa adanya
pemahaman ini, apa
yang dipelajari dalam
hakikat dan jenis sastra
imajinatif ini hanya
sekadar hiasan ilmu
yang akan cepat
pudar.
Sastra Non-imajinatif
Sastra non-imajinatif
memiliki beberapa ciri
yang mudah membedakannya
dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan
dengan sastra tersebut. Pertama,
dalam karya sastra
tersebut unsur faktualnya
lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang
digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan
tersebut amat bergantung
pada gaya penulisan
yang dimiliki pengarang. Persamaannya,
baik sastra imajinatif
maupun non-imajinatif, keduanya sama-sama memenuhi
estetika seni (unity
= keutuhan, balance
= keseimbangan, harmony =
keselarasan, dan right
emphasis = pusat
penekanan suatu unsur).
Sastra non-imajinatif itu sendiri
merupakan sastra yang
lebih menonjolkan unsur
kefaktualan daripada daya khayalnya
dan ditopang dengan
penggunaan bahasa yang
cenderung denotatif. Dalam praktiknya
jenis sastra non-imajinatif ini
terdiri atas karya-karya
yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar, catatan
harian, dan surat-surat.
STRUKTUR PEMBANGUNAN KARYA SASTRA
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi
Sebuah karya sastra mengandung
unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik. Keterikatan yang erat antar unsur
tersebut dinamakan struktur pembangun karya sastra. Unsur intrinsik ialah unsur
yang secara langsung membangun cerita dari dalam karya itu sendiri, sedangkan
unsur ekstrinsik ialah unsur yang turut membangun cerita dari luar karya
sastra. Unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi, prosa, dan drama memiliki
perbedaan, sesuai dengan ciri dan hakikat dari ketiga genre tersebut. Namun
unsur ekstrinsik pada semua jenis karya sastra memiliki kesamaan. Unsur
intrinsik sebuah puisi terdiri dari tema, amanat, sikap atau nada, perasaan,
tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik yang banyak
mempengaruhi puisi antara lain: unsur biografi, unsur kesejarahan, serta unsur
kemasyarakatan.
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa
Unsur pembangun prosa terdiri
dari struktur dalam atau unsur intrinsik serta struktur luar atau unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh,
latar, sudut pandang, serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk
mengekspresikan gagasannya. Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari
tema utama serta beberapa tema bawahan. Pada cerpen yang memiliki pengisahan
lebih singkat, biasanya hanya terdapat tema utama.
Alur merupakan struktur
penceritaan yang dapat bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau
gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran). Pergerakan alur dijalankan
oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi pusat cerita dinamakan tokoh sentral.
Tokoh adalah pelaku di dalam cerita. Berdasarkan peran tokoh dapat dibagi
menjadi tokoh utama, tokoh bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat
adanya penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk menampilkan tokoh cerita. Penokohan
dapat dilakukan menggunakan 3 metode: (a) analitik, (b) dramatik, dan (c) kontekstual. Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti
layaknya manusia. Watak tokoh terdiri dari sifat, sikap, serta kepribadian
tokoh. Cara kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita dinamakan
penokohan, yang dapat dilakukan melalui dimensi (a) fisik, (b) psikis,
dan (c) sosial.
Latar berkaitan erat dengan tokoh
dan alur. Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana
yang ada dalam cerita. Latar tempat
terdiri dari tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat yang hanya
ada dalam khayalan. Latar waktu ada
yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat diketahui
secara pasti.
Cara kerja pengarang untuk
membangun cerita bukan hanya melalui penokohan dan perwatakan, dapat pula
melalui sudut pandang. Sudut pandang
adalah cara pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya,
yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh
cerita terdiri dari (a) sudut pandang
akuan, (b) sudut pandang diaan, (c)
sudut pandang campuran. Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa,
pengarang bebas menentukan akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah,
dialek, ataupun bahasa asing.
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Drama
Karya sastra drama memiliki unsur
intrinsik serta unsur ekstrinsik yang diperlukan untuk membangun ceritanya.
Unsur intrinsik drama terdiri dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta
latar.
Drama yang merupakan ciptaan
kreatif pengarang harus memiliki tema yang kuat, agar tercipta sebuah
cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa adanya konflik, cerita drama akan
terasa datar. Konflik terdapat di dalam plot, yang terjadi karena adanya ketegangan antartokoh. Tokoh drama
terbagi menurut peran dan fungsinya dalam lakon. Menurut perannya tokoh terdiri
dari tokoh utama, tokoh bawahan, serta tokoh tambahan. Di
dalam drama fungsi tokoh sangat penting, yaitu sebagai tokoh protagonis,
tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Cakapan merupakan ciri utama
drama yang mungkin berupa dialog namun dapat pula berbentuk monolog. Selain itu,
ada pula karakter (sebagai apa dan kejiwaannya seperti apa) dan latar yang
saling berhubungan erat. Latar dalam drama sangat mempengaruhi karakter tokoh.
bagi teman teman yang ingin file lengkapnya silahkan requeat dan tinggalkan alamat e_mailnya.
0 Response to "DOWNLOAD KARYA ILMIAH SASTRA"
Post a Comment