BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Dengan berlakunya
Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Pemerintahan Otonomi Daerah
mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan – kemungkinan
pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan wawasan yang
lebih demokratis. Termasuk pula didalamnya , berbagai kemungknan pengelolaan
dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut
menuntut adanya perubahan pengelolaan
pendidikan dari yang bersifat sentralistik
kepada yang lebih desentralistik.
Tilaar bahkan mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu
keharusan. Menurutnya, ada tiga hal berkaitan dengan urgensi desentralisasi
pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah (a) pembangunan masyarakat demokrasi,
(b) pengembangan social capital dan (c) peningkatan daya saing bangsa. Ketiga
hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan mengapa
Desentralisasi Pendidikan harus dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Ketika bendungan
kekuasaan Negara Orde Baru ( NOB) yang sangat bersifat Hegemonik otoritarianisme tersebut hancur, kita akan menemukan
berbagai sikap yang ditunjukan oleh berbagai daerah, ada yang ‘ muncrat’ tak
terkendali, ada yang mengalir deras sehingga membuat jalur aliran sendiri, ada
yang mengalir damai pada jalurnya, dan lain sebagainya. Pemerintah pusat, sebagai pihak eksekutif yang menjalankan
undang-undang otonomi daerah , berusaha agar tidak terdapat daerah yang
menyikapi kondisi ini secara liar dan tak tekendali yang akan membentuk suatu
keadaan reformasi yang ‘kebablasan’.
Kalau mau jujur dengan
sendiri, sebenarnya masih banyak daerah di Indonesia ini yang tidak tahu
ataupun belum siap untuk menerima berbagai perubahan kewenangan, termasuk
menjalankan kewenangan bidang pendidikan ini. Alasan yang sering digunakan oleh
daerah di antaranya, (a) sumber daya manusia ( SDM ) mereka yang belum memadai,
(b) sarana dan prasarana belum tersedia, (c) anggaran pendapatan asli daerah (
PAD) mereka sangat rendah (d) secara psikologis, mental mereka terhadap sebuah perubahan belum siap, (e) mereka juga
gamang atau takut terhadap upaya pembaharuan.
Namun demikian,
pendidikan merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang
selalu ingin berkembang dan berubah. Pendidikan merupakan hal yang mutlak ada
dan selalu diperlukan selama ada kehidupan. Berbicara mengenai pendidikan, kita
tidak dapat bertumpu hanya pada pendidikan formal ( sekolah ), tetapi harus
mencakup prospek manajemen pendidikan
dan rencana secara nasional yang tidak terlepas dari kecenderungan
global dewasa ini dan masa depan.
1.2.
Masalah
1.Bagaimana penyelenggaraan otonomi daerah
dalam pengelolaan pendidikan nasional
2.Bagaimana pelaksanaan pendidikan dasar di Indonesia dari
berbagai aspek modernisasi, politis, teknik edukatif budaya dan professional.
1.3.
Sistematika uraian
Sistematika uraian pada makalah ini
mengacu pada pedoman penulisan karya ilmiah Departemen Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tahun
2007 : 6 sebagai berikut:
Bab I
. Pendahuluan
1.1.
Latar
belakang
1.2.
Masalah
1.3.
Sistematika
uraian
Bab II . Analisis kritis
2.1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah sebagai
antisipasi terhadap globalisasi.
2.2. Pelaksanaan pendidikan dasar di Indonesia dari
berbagai aspek modernisasi, politis, teknik edukatif budaya dan professional.
Bab III. Kesimpulan
BAB II
ANALISIS KRITIS
2.1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah sebagai antisipasi terhadap
globalisasi.
Otonomi Daerah didalam
prosesnya tidak terlepas dari pengaruh sebuah perubahan sosial masyarakat
Insonesia secara umum karena modernisasi sungguh tidak dapat dielakkan apalagi
bagi Negara-negara di dunia ketiga yang baru merdeka. Dengan hampir sepenuhnya
dipengaruhi oleh teori Evolusi ,
ilmuwan sosial ini merumuskan modernisasi sebagai suatu proses yang bertahap,
tidak berbalik, maju dan berjangka panjang menuju kearah seperti yang dicapai
oleh Amerika Serikat. Dengan dipengaruhi oleh Teori Fungsionalisme para ilmuwan
sosial melihat modernisasi sebagai suatu
hal yang berlawanan dengan tradisi. Oleh karena itu mereka mengajukan
gagasan agar Negara Dunia Ketiga melakukan transformasi nilai-nilai tradisionalnya, mengikuti dan
meniru nilai-nilai budaya Amerika serta menggantungkan bantuan dan utang dari
Amerika.
Perubahan yang cukup
mendasar ini telah mengakibatkan terbukanya jendela baru masalah-masalah
penelitian yang kemudian nampaknya telah di lakukan oleh pemerhati. Apabila dikaitkan dengan
karya tulis ini, penulis mengutip pendapat dari teori Modernisasi Alex Inkeles:
“ Making Men Modern: On the causes and consequences of individual
change in six developing countries”
‘Bahwa
manusia modern adalah sebagai akibat modernisasi, sehingga akan berpengaruh
terhadap sikap, nilai dan pandangan hidup seseorang’
Untuk kepentingan ini
Alex inkeles melakukan penelitian di enam negara berkembang yakni Argentina, Chili, india,
Israel, Nigeria dan Pakistan. Beberapa pendapat Alex
inkeles tentang karakteristik manusia modern antara lain :
Ø Manusia modern selalu berkeinginan
untuk mencari sesuatu yang baru.
Ø Manusia modern mempunyai sikap
independen terhadap berbagai otoritas tradisional.
Ø Manusia modern percaya terhadap ilmu
pengetahuan.
Ø Manusia modern mempunyai ambisi hidup
yang tinggi
Proses modernisasi
memunculkan globalisasi yang mempengaruhi secara nasional, Globalisasi telah gencar disuarakan di negara kita oleh karenanya berbagai masalah telah dan
akan muncul dengan sendirinya. Pada keadaan seperti ini pendidikan lah
yang bertugas untuk mengembangkan kesadaran serta bertanggung jawab atas
kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu pemerintah semakin gencar
menyuarakan pendidikan yang berkualitas.
Globalisasi dimaknai sebagai suatu proses informatisasi
yang cepat dikarenakan oleh kemajuan teknologi yang semakin meluas dimana semua
umat manusia di muka bumi tidak mampu mengatasinya ataupun menghindarinya.
Usaha-usaha manusia lebih cenderung kepada usaha usaha kemanusiaan baik dalam
pengaturan usaha politik , social dan ekonomi.
Humanisasi yang merupakan suatu gerakan adalah merupakan
usaha usaha manusia untuk mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan
yang melahirkan pendekatan pendidikan dengan pengembangan kreatifitas anak.
Sehingga reformasinya bersifat mendasar dalam pendidikan baik metodologi
belajar mengajarnya sampai dengan perencanaan manajemen pendidikannya.
Indonesia saat ini, pada pendidikan masih
bersifat sentralistik dan birokratik.
Walaupun Pemberlakuan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang
Pemerintahan Otnomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai
kemungkinan – kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih
kondusif dan wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula didalamnya , berbagai
kemungknan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan
undang-undang tersebut menuntut adanya perubahan
pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik
kepada yang lebih desentralistik. Hal ini mengisyaratkan bahwa perencanaan
pembangunan nasional harus terbuka dan fleksibel , harus ada peralihan dari birokratik yang stereotif kearah kebutuhan riil manusia yang cenderung dikenal Perencanaan partisipatoris.
Demokrtisasi, berusaha mewujudkan keinginan yang muncul dari
masarakat luas untuk kepentingan secara nasional yang dilakukan oleh masyarakat
melalui suatu gerakan nasional. Hal ini berarti proses proses perubahan
orientasi perencanaan dan pengelolaan pendidikan dari pendekatannya yang
birokratik dan sentralistik kearah pendekatan yang demokratik yang akan menitik
beratkan pada pengelolaan sumber-sumber
pendidikan yang akan menumbuhkan perkembangan anak dan manusia Indonesia dalam
proses pendidikan.
Krisis
multidimensional yang melanda bangsa Indonesia sejak tahun 1977 hingga
sekarang, terus saja merasuk kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam
berbagai sektor dan lapisan. Sebagai konsekuensi, berbagai bentuk penyakit
sosial dan ekonomis, seperti : keterasingan, pengangguran, kemiskinan,
keterlantaran pendidikan dan bentuk patologi sosial lainnya bermunculan.
Situasi yang semakin memburuk dengan berbagai keadaan ekonomi, sosial
masyarakat yang menambah masyarakat kecil semakin menderita karena harga-harga
semakin melambung , tidak sedikit anggota masyarakat yang terhimpit kesulitan.
Muncul penyakit psikologis seperti :
frustasi, keminderan, fatalisme, pasivitas dan apatisme sebagai akses tekanan
lingkungan yang semakin kuat . Fenomena ini dipandang oleh masyarakat sebagai
suatu musibah.
Jika
ditarik kedalam tingkat meso organisasi dan kelembagaan, masalah ini akan
berakhir pada masalah sumber daya manusia, yang disinyalir sangat rendah
kualitasnya. Ini memberi indikasi bahwa sistem pendidikan belum berfungsi
secara optimal seperti yang diharapkan. Interaksi faktor internal dan faktor
eksternal dari pendidikan kurang intens dan diduga karena ada mislingk dan mismatch antar komponen yang
berinteraksi.
Pada
konsteks pendidikan masyarakat yang pendidikan formalnya terbatas atau
terputus, cenderung memiliki negative
psychological attitudes. Mencermati individu yang demikian, maka pendidikan
perlu menawarkan sesuatu yang lain yang akan mampu mengajak mereka untuk
berfikir dan merencanakan masa depan dengan lebih baik lagi sehingga mereka
akan mampu dibangun menjadi manusia unggul.
Membangun
manusia unggul, hanya mungkin dilakukan melalui jalur pendidikan. Melalui
pendidikan (formal maupun luar sekolah ) individu dapat di didik secara wajar
untuk melakukan sesuatu secara baik, dan sesuai dengan kebutuhannya, sehingga
mereka siap untuk menghadapi berbagai perubahan kehidupan, mereka akan
menyenangi perubahan dan membangun manusia menjadi manusia pemberani. Pendidikan
sebagai modes of learning,
memberikan akses pendidikan dan belajar lebih luas kepada masyarakat. Oleh
karena itu masyarakat berpeluang memiliki daya suai (adaptability);daya
lentur ( flexibility );kapasitas inovatif; entrepreneural attitudes and aptitudes
yang lebih luas
lagi. Mereka akan tertantang mencari dan memperkuat ’ basic knowledge and competences, curiocity and
motivations, critical and creative behaviours untuk menciptakan situasi dirinya agar lebih
mapan.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh
pendidikan agar masyarakat mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan pada
akhirnya akan memunculkan masyarakat yang gemar belajar ( learning society ) yang akan mendorong setiap individu,
organisasi maupun institusi social untuk belajar secara luas. Tumbuhnya
minat belajar terutama untuk memperkuat educability yang mendorong masyarakat untuk mendidik diri
sendiri serta lingkungannya. Masyarakat yang gemar belajar dapat menciptakan
peluang pendidikan di tempat yang mudah dijangkau dengan cara-cara sesuai
potensi dan kecakapan maupun kebutuhan dalam kehidupan.
Seperti dikemukakan diatas bahwa penyelenggaraan program
pendidikan merupakan suatu kebutuhan belajar. Abraham H. Maslow dalam Djudju Sudjana (2004:189) menjelaskan
ada 5 tingkatan kebutuhan yang harus dan
dapat dipenuhi oleh manusia dalam mempertahankan dan mengembangakan
kehidupannya yaitu:
’Kebutuhan
dasar meliputi kebutuhan untuk memperoleh pendapatan, sandang , pangan dan
kesehatan, kesegaran jasmani , udara dan air bersih, hiburan dan rekreasi;
kebutuhan rasa aman meliputi kebutuhan terhindar dari kemunduran,
keterlantaran, keterbelakangan atau kerugian. ; kebutuhan sosial meliputi
kebutuhan rasa memiliki dan rasa kasih sayang, kebutuhan berteman dan
bersahabat; kebutuhan penghargaan menyangkut pengakuan dan penghargaan oleh
orang dan kelompok lain terhadap dirinya; kebutuhan pengembangan diri berkaitan
dengan perilaku aktualisasi diri secara tepat.
Kebutuhan pendidikan oleh
Knowless dalam Djudju Sudjana ( 2004: 215) didefinisikan sebagai jarak
antara sesuatu kemampuan yang diinginkan dengan kemampuan yang dimiliki pada
saat sekarang. Kebutuhan pendidikan dijabarkan kedalam perubahan tingkah laku
yang disebut dengan output dari pendidikan yang dijabarkan dalam ranah kognisi
( cognitive domain ) ,
keterampilan ( skills atau
psyco-motoric domain ), dan afeksi ( affective domain ).Suatu
perubahan kemampuan yang diinginkan harus dirumuskan kedalam tujuan-tujuan
perubahan tingkah laku yang akan dicapai melalui pendidikan luar sekolah.
Kognisi berkaitan erat dengan cipta, afeksi berkaitan
erat dengan rasa dan karsa sedangkan
psiko motorik berkaitan dengan karya atau keterampilan. Ranah Kognisi menurut
Bloom dalam Djudju Sudjana ( 2004: 209 ) meliputi pengetahuan (knowledge ) ,
pemahaman (comprehension ), aplikasi ( application ), analisis (analysis),
sistesis (synthesis ) dan
evaluasi. Ranah psyco-motorik menurut
Travers meliputi keterampilan intelek,
sosial dan fisik, keterampilan tehnik, produktif, artistik, manajerial, emosi
dan spiritual.Ranah efeksi menurut Commins berkaitan dengan sikap, minat, nilai
dan pendapat dan Kidd menambahkan ranah afeksi dengan rasa cinta, rasa marah
dan rasa takut.Perubahan ranah kognisi, psyco-motoric maupun afeksi memerlukan
waktu pembinaan yang berbeda-beda.
Dengan berbagai alasan begitu pentingnya pendidikan bagi
kehidupan dan perkembangan manusia didalam mengantisipasi berbagai perubahan
maka penulis berpendapat bahwa proses perubahan yang datang secara mengglobal
harus diantisipasi oleh pendidikan. Pendidikan akan mampu mendorong dan memberikan
motivasi baik bagi individu maupun kelompok untuk siap dan secara berani berspekulasi
untuk menghadapi perubahan tersebut.
2.2
Pelaksanaan pendidikan dasar di Indonesia
dari berbagai aspek modernisasi, politis, teknik edukatif budaya dan
professional
Sistem pendidikan nasional sebagai
suatu system dari sistem manajemen nasional yang digambarkan dengan
karakteristik pelaksanaannya sebagai
berikut :
1.Tata
kehidupan masyarakat ( TKM ) sebagai arus masuk SISDIKNAS
2.Fungsi-fungsi
Tata pengeambilan keputusan yang berwenang( TPKB )
3.Administrasinya
4.Manajemen
5.Organisasi.
Hal
ini berarti bahwa system pendidikan nasional harus menjadi sub sistem dari
pembangunan nasional. Dan tuntutan pembangunan nasional adalah menyediakan
tenaga-tenaga yang terampil dengan kuantitas yang memadai sehingga Sistem
pendidikan nasional tidak akan terlepas dari kebutuhan masyarakat terhadap tenaga tersebut.
Pendidikan
yang menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 1990 memiliki dua jalur yaitu jalur
sekolah dan luar sekolah yang bersifat saling melengkapi., oleh karenanya
pendidikan sifatnya sepanjang hayat. Adapun perbedaan antara pendidikan dan
pelatihan adalah pendidikan lebih bersifat mendasar sementara pelatihan merupakan
kelanjutan. Pelatihan akan semakin lancar apabila dasarnya kuat begitu juga
sebaliknya oleh karenanya perlu ada kesinambungan antara kedua jalur pendidikan
tersebut.
Dalam suasana Otonomi
daerah dan sistem Desentralisasi , partisipasi seluruh masyarakat sebagai aktor
pembangunan adalah hal yang tak bisa di hindari. Menurut Koentjaraningrat ( 2000: 39) terdapat dua pengertian
mengenai partisipasi masyarakat dalam pembangunan antara lain sebagai keikut
sertaan masyarakat pada berbagai aktivitas pembangunan serta keterlibatan
individu untuk menentukan orientasi dan kebutuhan dirinya sendiri sebab hakikat
pembangunan nasional adalah dari, oleh dan untuk masyarakat.
Tetapi harus dimengerti
partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah kesadaran yang tidak bisa muncul dengan sendirinya. Kesadaran tersebut harus di bimbing dan di
arahkan mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga untuk belajar mandiri.
Dengan keterlibatan itu maka suatu pembangunan akan bisa dirasakan secara
merata dan tidak hanya oleh pihak-pihak tertentu saja.
Secara psikologis, setiap
individu harus menyadari akan datangnya suatu perubahan sebagai akibat dari
pembangunan. Mereka juga tidak jarang merasa takut dan gamang terhadap suatu
bentuk perubahan sebagai upaya pembaharuan. Dampak yang di timbulkan dari
desentralisasi pendidikan akan memberikan peluang kekuasaan yang cukup kuat
bagi raja-raja kecil di daerah, terbukanya jurang yang semakin lebar antara si
kaya dan si miskin, pendistribusian tenaga pendidik akan semakin tidak sama,
kemungkinan hasil beragam pendidikan semakin tidak rata, pendidikan formal
tidak lagi menjadi andalan sebagai satu satunya tempat pendidikan. Bila keadaan
sudah demikian sulit maka akan sulit pula bagi dunia pendidikan untuk
melaksanakan tugasnya menuntun moral dan budi pekerti .
Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 yang dengan tegas merumuskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, di samping
mempunyai pengetahuan dan keterampilan , sehat jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Upaya pendidikan yang di
jalankan sebagai upaya yang sengaja di lakukan secara teratur dan berencana
dengan maksud mengubah tingkah laku manusia ke arah yang di inginkan sudah
barang tentu tidak dapat dilakukan secara sambil lalu.
Berbicara mengenai
pendidikan kita tidak dapat bertumpu
hanya pada pendidikan formal, karena pendidikan bisa dilakukan dimana saja
demikian juga pihak yang bertanggung jawab pada pendidikan bukan hanya guru,
melainkan juga keluarga ini merupakan yang terpenting. Sebagaimana menurut
hasil penelitian Robert N.Bellah, Tokugawa
religion, Beacon Press, Boston yang
mencoba mengamati kaitan antara agama dengan
pembangunan ekonomi dan pranata keluarga
di jepang bahwa pemahaman tentang etika untuk mengabdi tanpa batas tidak
hanya digunakan untuk mengatur negara saja, tetapi juga untuk mengatur rumah
tangga dan keluarga para pedagang. Ini menunjukan bahwa pengabdian anak terhadap peraturan keluarga , kepada orang tua dan
aturan hidup sangat tinggi, sehingga mereka sangat sulit untuk dipengaruhi
modernisasi yang berkembang. Dengan demikian pendidikan keluarga merupakan
pendidikan moral yang sangat kuat sehingga seorang anak tidak mudah dipengaruhi
oleh pengaruh dari luar yang tidak jelas tujuannya.
Sebagaimana yang telah
diungkapkan diatas bahwa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan adalah
orang tua, sekolah dan masyarakat. Maka ketiga komponen ini harus bergotong
royong mempersiapkan anak menjadi manusia mandiri dalam konteks kehidupan
pribadinya, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta berkehidupan
sebagai mahluk yang berketuhanan (beragama). Walaupun benar pihak yang paling
menentukan bagi pendidikan anak tentu saja dimulai dari scope micro , yaitu keluarga. Jika pendidikan di
keluarga baik, di sekolah dan di masyarakat diharapkan akan baik pula selama
kondisinya kondusif. Kondisi ini sangat berbeda antara masyarakat yang ada di
pedesaan dengan yang berdomisili di perkotaan.
Sujana ( 2003:132 ) berpendapat bahwa memanusiakan manusia merupakan bentuk kelebihan
manusia dengan mahluk lainnya yang mampu mengembangkan diri. Kemampuan
mengembangkan diri di lakukan melalui interaksi dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Dengan demikian tentu saja
lingkungan di pedesaan akan mempunyai pengaruh yang sedikit dibandingkan dengan
lingkungan di perkotaan yang sangat kompleks dengan berbagai pengaruh baik
pengaruh pembangunan yang sangat global maupun pengaruh sosial dan politik yang
tarik menarik.
Sebagai ilustrasi yang
lebih jelas tentang kondisi anak di Indonesia saat
ini Siti Aisyah Nurmi Bachtiar ( 2005: 26) mengemukakan bahwa saat ini, jutaan
anak di negeri ini sedang terpuruk dalam kehidupan yang mengerikan. Terserak di
jalan-jalan berdebu sebagai pengemis, pengamen bahkan pencopet. terkapar di
tenda-tenda pengungsian, di Aceh, Palangkaraya, Sumenep, Makasar ataupun di
Medan belum terhitung dengan mereka yang menjadi pekerja paksa di usia dini
yang belum saatnya untuk menjadi pencari kerja, mereka tersebar di pabrik-pabrik
sepatu, pabrik tahu sampai di penangkapan ikan di tengah laut lepas, mereka
bernasib sama dengan yang ada di tenda-tenda pengungsian yang tidak mempunyai
masa depan. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini lebih dari 11 juta anak di Indonesia yang
mengalami putus sekolah dan 6 juta diantaranya menjadi pekerja anak. Hal ini berarti hak anak yang putus sekolah
menjadi terpenjara, jika pendidikan formal saja mereka tidak memperolehnya
apalagi pendidikan non formal. Berdasarkan data empiris didapat bahwa anak yang
putus sekolah terutama disebabkan oleh himpitan ekonomi atau tuntutan kebutuhan
keluarga, maka anak yang meninggalkan bangku sekolahnya akan dapat membantu
orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kondisi anak di Indonesia
menurut data yang ada adalah sebagai berikut
a. anak jalanan di Indonesia
tercatat 40.000-50.000
b. anak yang menjadi buruh ada 1,6 juta
c. anak yang menjadi korban eksploitasi
seksual 40.000-70.000
d. anak pengungsian ada 400.000
e. anak korban kekerasan ada 871 orang
f. anak putus sekolah 11.7 orang.
Data ini menunjukan bahwa
anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecilnya dengan hal positif dan tumbuh
dengan sempurna, justru mengalami masa yang teramat sulit, tak sedikitpun
memperoleh sentuhan pendidikan. Potret ini merupakan potret keluarga miskin di Indonesia dan
bukanlah hal yang baru. Potret ini adalah potret anak di perkotaan dan sebagian
kecil potret rakyat miskin Indonesia.Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini
berbagai ketimpanagn pendidikan dasar tengah berlangsung mulai dari pendidikan
dasar sampai pendidikan selanjutnya hal ini dikarenakan berbagai masalah
kebijakan pemerintah menyangkut kebutuhan masyarakat yang tidak berimbang. Otonomi
daerah hanya sebuah kata yang belum bermakna. Jadi disatu pihak kita
menginginkan pembanguna yang tumbuh dari bawah dengan Desentralisasi dipihak lain sistim pendidikan masih dibawah
kontrol sentralisasi.
BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah telah diulas secara garis
besar masalah penyelenggaraan otonomi daerah dalam pendidikan serta pelaksanaan
pendidikan dasar di Indonesia
dari berbagai aspek modernisasi, politis, teknik edukatif budaya dan
professional. Tampak dengan jelas bahwa masalah pendidikan dasar bukanlah
merupakan masalah kecil.
Didalam mencari jalan
yang terbaik dari kemelut desentralisasi versus sentralisasi yang paling
penting adalah bahwa pembangunan nasional harus lebih berorientasi pada rakyat.
Hal ini memerlukan kesiapan, perencanaan yang matang dari berbagai aspek terkait
dan waktu yang cukup panjang. Masa persiapan perencanaan pendidikan hendaknya
tidak menjadi Lip service perlu peninjauan kembali terhadap berbagai
peraturan mengenai pendidikan yang berlaku sehingga semua itu dapat
dirasionalkan.
Dalam paradigma yang baru
ini, masyarakat yang selama ini bersikap pasif terhadap pendidikan di tantang
untuk lebih aktif bahkan pro aktif
sebagai penanggung jawab pendidikan. Tanggung jawab masyarakat tidak
hanya memberikan sumbangan untuk pembangunan gedung sekolah saja akan tetapi
diharapkan turut serta menentukan jenis pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan, turut memikirkan kesejahteraan tenaga pendidik agar mereka dapat
memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik. Bahwa untuk melakukan
pertumbuhan negara otonom dan berkelanjutan dengan ditunjang oleh perekonomian
yang kuat, maka diperlukan mobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumber daya
yang dimiliki oleh bangsa. Perencanaa pembangunan yang memiliki karakteristik bottom up dimana pemberdayaan masyarakat
lebih mengarah kepada strategi dasar pemberdayaan , karena masyarakat lebih
mengetahui kebutuhannya dan masalah yang dihadapi. Dengan munculnya paradigma
baru seiring dengan munculnya otonomi daerah semua daerah harus siap menghadapi
berbagai perubahan. Kunci keberhasilan pembangunan masing-masing daerah berada
pada kekuatan daerahnya, disini akan muncul penguatan rakyat untuk dapat
mengontrol dirinya dan masa depannya. Hal ini dapat dilakukan dengan
menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang.
Pemerintah hendaknya
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat utuk berpartisipasi
di bidang pendidikan, pemerintah harus membuka peluang yang luas dan transparan
untuk melibatkan diri dalam berbagai aktivitas pendidikan. Pemerintah perlu
mengadakan refomasi pada berbagai peraturan yang akan menghambat partisipasi
masyarakat dalam proses belajar mengajar, dan selanjutnya diperbaiki agar
sesuai dengan kebutuhan.
Mengedepankan pendidikan
moral pada setiap jenjang pendidikan formal, informal maupun nonformal perlu
terus dipropagandakan oleh setiap insan pembangunan. Pokok-pokok yang harus ada
pada paradigma pendidikan menghadapi era global adalah:
1. Pendidikan
ditujukan untuk membentuk moral masyarakat Indonesia baru yang demokratis.
2. Untuk menciptakan masyarakat yang
demokratis diperlukan pendidikan moral yang dapat menumbuhkan individu,
keluarga dan masyarakat yang demokratis.
3. Pendidikan diarahkan pada tantangan
internal maupun eksternal.
4. Pendidikan harus mampu melahirkan indonesia baru
yang demokratis.
5. Dalam
menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif pendidikan harus mampu
menciptakan kemampuan untuk berkompetisi dalam rangka kerja sama.
6. Pendidikan harus mampu menciptakan kebineka an.
7.
Pendidikan harus mampu menciptakan kebanggaan menjadi insan Indonesia
0 Response to "DOWNLOAD KARYA ILMIAH SOSIOLOGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN"
Post a Comment