Latest Updates

DOWNLOAD MAKALAH OTONOMI PERANAN DAN TUGAS UTAMA PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PELAYANAN PUBLIK



1.  Latar Belakang Pilosofis.

Pembahasan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah dilandasi asumsi bahwa hubungan antara orang yang memerintah dan orang yang diperintah, sama halnya dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah merupakan masalah klasik dalam ilmu politik. Paradigma lama yang memandang masih kuatnya hubungan sub-ordinasi antara pemerintah dan rakyat, nampaknya sudah mulai luntur yang dalam paradigma baru cendurung menghendaki hubungan yang setara antara pemerintah dan rakyat. Peranan pemerintah tidak lagi membawahi dan memerintah, melainkan lebih mengarahkan dan memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Persoalan utamanya bersumber pada seberapa bebas masyarakat (baca: pemerintah daerah) bergerak atau berinitiatif dalam lingkungan kekuasaan negara, dan seberapa besar pula masyarakat daerah dapat mempengaruhi kebijakan negara dan atau pemerintahan daerah yang pada giliranya  kebijakan itu akan berujung kepada pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat.  Atas dasar inilah konsep desentralisasi dan otonomi dapat dipandang, baik sebagai fenomena politik maupun administrasi negara.
     Walaupun Pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut “faham negara integralistik”[1], namun penyelenggaraan Pemerintahan negara di bawah regime demokrasi terpimpin dan regime orde baru pada masa yang lalu, demikian pula pada masa-masa pemerintahan selanjutnya, menunjukkan betapa kuatnya “faham negara integralistik” yang mempengaruhi penyelenggaraan sistem pemerintahan negara, dimana negara memiliki kemauan dan kepentingan yang sering berbeda dengan kepentingan warganya, yang dapat melakukan intervensi kedalam kehidupan masyarakat, sekalipun hal itu didedikasikan untuk kesejahteraan dan kemajuan masyarakat itu sendiri[2]. Kondisi seperti ini dimungkinkan terjadi, karena setiap kebijakan yang ditetapkan sebagai kebijakan publik, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh sikap,  perilaku, dan value judgement dari para penyelenggara negara (human behaviour and value judgement), yang pada gilirannya dipandang sebagai “pembenaran hukum” dan sebagai alat pemaksa yang harus ditaati oleh rakyat.
     Dalam “faham negara integralistik”, negara mempunyai kekuasaan mutlak, dimana kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Semua bagian - bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan, bagi negara yang terpenting adalah keseluruhan bukan bagian - bagian. Itulah faham negara integralistik yang sering dipraktekkan oleh para penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara.
Ide faham “Negara integralistik”  ini semula diekspose dan direkomendasikan oleh Prof. Dr. Supomo pada sidang BUPKI tanggal 15 Mei 1945 dengan mengemukakan 3 (tiga) pilihan yang diusulkan untuk dijadikan dasar Negara, apabila Indonesia telah merdeka, yaitu faham:
(1) Individualisme;
(2) Kolektivisme; dan
(3) Integralistik
               Para Pendiri Negara (The Founding Fathers) kurang sefaham dengan ide     negara integralistik ini yang akan dijadikan konsep dasar negara, karena faham ini menonjolkan sifat totalitarian dari negara yang tidak selaras dengan ide kekeluargaan yang bersifat egalitarian. Ide kekeluargaan menghendaki posisi sejajar antara fihak - fihak yang berinteraksi, termasuk antara negara dan masyarakatnya.[3]
Hal ini dapat terlihat dari pasal - pasal dalam UUD 1945 yang secara ideatif bertolak belakang dengan gagasan faham negara integralistik tersebut, misalnya pasal 28 yang menjamin hak - hak azasi manusia[4], dan pasal 18 yang menghormati dan menghargai sifat - sifat khusus dari daerah - daerah yang ada di Indonesia.[5] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 sebenarnya berusaha mengatur keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme, UUD 1945 menganut kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan negara.
Dari kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan faham negara integralistik sering lebih banyak bersifat politis daripada hukum tata negara.[6] Namun, apabila dikaitkan dengan konteks desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, maka fenomena ini sebenarnya sudah terjadi sejak awal penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Situasi inilah yang sedikit - banyak mempengaruhi penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, baik sebagai suatu fenomena politik maupun fenomena administrasi yang seharusnya ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat.
Salah satu argumentasi dalam pelaksanaan otonomi daerah  adalah mendekatkan pemerintah  dalam bentuk Pemerintah Daerah kepada masyarakat, agar pemerintah daerah memahami keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung kepada  tingkat ”pelayanan publik”  yang disediakan oleh pemerintah daerah. Paradigma ”otonomi daerah” menurut semangat UU No. 32 Tahun 2004 adalah ”otonomi masyarakat”, dalam arti Pemerintah Daerah sebagai perwujudan dari ”otonomi masyarakat” dituntut untuk lebih mampu mensejahterakan masyarakat melalui pelayanan publik dibanding dengan pemerintah pusat yang jaraknya lebih jauh kepada masyarakat.  
Motivasi yang mendorong tumbangnya rejim orde baru oleh gerakan reformasi dengan dipelopori oleh para mahasiswa pada pertengahan tahun 1998 adalah karena melihat fenomena penyelenggaraan pemerintahan negara  berorientasi kepada format politik totalitarian, sehingga tidak mencerminkan dan menjamin terwujudnya  keadilan, demokrasi dan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Salah satu kebijakan politik yang menjadi sumber kelemahan dan mendorong terjadinya krisis multidimensi yang mengancam keutuhan negara bangsa adalah diterapkannya sistem pemerintahan negara yang terlalu sentralistik dengan mengabaikan prinsip - prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, baik langsung maupun melalui kontrol perwakilan rakyat, serta pemerataan dan keadilan, yang pada gilirannya kebhinekaan dalam segala bidang kehidupan yang menjadi sumber potensi dan keanekaragaman daerah, terabaikan pula.
Kebijakan politik tersebut, tidak hanya berdampak terbelenggunya aspirasi, oto-aktivitas dan kreativitas masyarakat setempat, melainkan juga mematikan sumber potensi dan sumber daya di daerah, terutama sumberdaya manusianya, yang pada gilirannya pula pelayanan publik dalam upaya mensejahterakan masyarakat tidak terselenggara dengan optimal.

2.  Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan.

Prinsip penyelenggaraan pemerintahan, bisa  dilihat dari dua aspek, yaitu:
     Pertama, prinsip penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu sistem berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan atau dianut oleh suatu negara bangsa (Nation State) sebagai satu kebijakan, seperti sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi, devolusi, parlementair, presidensiil dlsb. Tergantung dari sistem mana yang dianut oleh suatu Negara Bangsa (Nation State) tersebut. Sistem ini berkaitan dengan kebijakan pembagian kekuasaan (Division of Power) di dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan negara, baik secara horisontal (Capital Division of Power) antara lembaga-lembaga negara yang ada, maupun secara vertikal antara Pusat dan Daerah (Areal Division of Power).
              Di dalan Negara Kesatuan (Unitary State), secara vertikal  terdapat  ”Satuan Pemerintahan Nasional” (Pemerintah Pusat)  dan ”Satuan Pemerintahan Sub-National” (Pemerintahan Daerah), sedangkan secara horisontal  terdapat Badan-badan/Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Judicatif. Kekuasaan atau kewenangan dibagi (”diberikan; toekennen”)  oleh pemerintah pusat kepada satuan pemerintahan daerah yang dibentuk dengan Undang-undang, namun kedaulatan (souvereignty)  yang melekat kepada Negara dan Bangsa  tidak dibagi kepada pemerintah daerah.
              Satuan Pemerintahan Sub Nasional merupakan hasil pembentukan dan pengembangan pemerintahan. Karenanya, kewenangan pemerintahan sub nasional dapat ditambah, dikurangi atau bahkan dapat dihapuskan melalui proses hukum dan per-undang-undangan. Kedudukan satuan pemerintahan sub nasional, karenanya pula adalah ”tergantung” (dependent) kepada pemerintah nasional. Karena itu pula ia berada di bawah (sub ordinated) pemerintah nasional.
             Sistem pemerintahan NKRI tidak menganut paham ”sentralisme” dalam kekuasaan, melainkan mengakui dan menganut prinsip ”desentralisasi” dalam pemerintahan. Sesuai dengan amanat UUD, dalam rangka menjalankan prinsip desentralisasi di wilayah NKRI dibentuk daerah-daerah Provinsi, dan di wilayah provinsi dibentuk daerah-daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom.
            Secara juridis, politis dan administratif, daerah otonom mempunyai kewenangan ”otonomi daerah”  yang diberikan (”toekennen”) oleh pemerintah pusat kepada masyarakat setempat dalam wilayah tertentu sesuai dengan aspirasi dan oto-aktivitas masyarakat sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri, yang dijalankan oleh pemerintahan daerah yang mempunyai kewenangan dan  berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri . Dengan kata lain ”daerah otonom” mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus  kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.
              Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan, tidak sepenuhnya dilaksanakan secara ”desentralistik”, tetapi ada beberapa bagian yang tetap dilaksanakan secara ”sentral”, karena pertimbangan pencapaian tujuan (doelmatig), dayaguna dan hasilguna, serta karena sifat dan  coraknya yang tidak bisa lain harus diselenggarakan secara sentral. Pertimbangannya didasarkan kepada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi dan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan, seperti dianut di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999.
Kedua, dalam koridor Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang sering terabaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam kaitannya dengan pelayanan publik adalah prinsip penyelenggaraan pemerintahan dari aspek ”kepatutan pemerintahanan” (”Behoorlijk Bestuur”), karena aspek ini seringkali dipengaruhi oleh ”perilaku” (behaviour) dan value judgement  dari para penyelenggara negara. Prinsip-prinsip tersebut seperti, antara lain: Vrijbestuur; Nach Freies Ermessen,  Preventieve Rechtszorg; Omnipresence dan Van zelf principles,  serta prinsip-prinsip umum penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik, sering terabaikan.
           Walaupun UU No. 32 Tahun 2004 mencantumkan asas-asas kepatutan dengan merujuk kepada UU No. 28 Tahun 1999,[7] tetapi tidak secara imperatif mengkaitkannya dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu sistem. Bahkan suatu kekeliruan yang cukup mendasar dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut yang membedakan antara asas penyelenggaraan sistem pemerintahan di pusat dengan asas penyelenggaraan sistem pemerintahan pada pemerintahan daerah, yang menekankan bahwa dalam  menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah menggunakan asas-asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan,[8] sedangkan penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas ”otonomi  dan tugas pembantuan”[9] sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, padahal ”otonomi dan tugas pembantuan” merupakan hak dan wewenang (bukan asas) yang diberikan (”toekennen”) oleh pemerintah pusat yang merupakan manifestasi atau perwujudan dianutnya  asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
              Oleh karena itu, betapapun baiknya sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dianut oleh suatu negara bangsa, kalau tidak dibarengi dengan penegakkan ”asas-asas kepatutan pemerintahan”  yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, maka kepentingan masyarakat dalam bentuk pelayanan publik untuk mensejahterakan masyarakat, tetap akan sulit untuk dapat diwujudkan.
               Dalam kedudukannya sebagai Daerah Otonom, dan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur  dan mengurus  sendiri  urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat,  ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Daerah berkewajiban untuk:[10]
  1. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
  3. mengembangkan kehidupan demokrasi;
  4. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
  5. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
  6. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
  7. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
  8. mengembangkan sistem jaminan sosial;
  9. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
  10. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
  11. melestarikan lingkungan hidup;
  12. mengelola administrasi kependudukan;
  13. melestarikan nilai sosial budaya;
  14. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan
  15. kewajiban lain yang diatur dalam perundang-undangan
Misalnya,  dalam menerapkan asas ”Omnipresence  dan Van zelf principles”  yang pada dasarnya memandang bahwa pemerintahan itu berada di mana-mana, tidak terikat kepada ruang dan waktu, sehingga pada intinya prinsip ini mewajibkan kepada masyarakat untuk tetap mentaati peraturan perundang-undangan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah, sekalipun tidak secara terus menerus diawasi oleh pemerintah, namun ketika rakyat memerlukan pertolongan atau bantuan, maka dengan sendirinya (van zelf)  merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk  membantunya, sehingga disini terjadi ”kewajiban yang berimbang” antara pemerintah dan masyarakat.
               Preventieve Rechtszorg  adalah suatu prinsip dalam pemerintahan yang menyatakan bahwa peranan dan tugas utama pemerintahan adalah menjaga agar supaya anggota  masyarakat mentaati tertib hukum dan mencegah (to prevent) agar supaya masyarakat tidak melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku. Jadi, intinya adalah ”tidak patut” (onbehoorlijk)  apabila para aktor penyelenggara negara membiarkan anggota masyarakat untuk melanggar hukum  kemudian ditindak (represif). Prinsip ini berkaitan dengan prinsip Omnipresence  dan Van Zelf principles, contohnya: penggusuran kios-kios PKL di jalan-jalan trotoir, dlsb.

3.  Essensi Pelayanan Publik.

      Salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah  adalah bahwa
perangkat pemerintahan daerah dengan kewenangan-kewenangan otonominya harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, kewenangan yang diberikan kepada masyarakat dalam bentuk otonomi daerah  itu adalah suatu ”alat” (means) untuk mencapai ”tujuan” (end) dalam wujud pelayanan publik guna mensejahterakan masyarakat.
                    Oleh karena itu argumen pertama untuk menentukan pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat adalah Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi apa-apa saja  input (masukan)  sesuai kebutuhan masyarakat untuk diolah menjadi output (produk)  yang perlu dihasilkan oleh Pemerintah Daerah sehingga menjadi outcome  yang dapat memenuhi pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, dan bagimana dampaknya  yang ditimbulkan oleh pelayanan publik tersebut.[11]  ”Pada dasarnya output Pemda adalah untuk menghasilkan ”good and regulations” untuk kepentingan publik.Kelompok dari Goods adalah barang-barang atau fasilitas publik yang dihasilkan Pedmda seperti pasar, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dsb. Sedangkan dalam kelompok Regulations yang dihasilkan umumnya yang bersifat ’Regulatory” atau Pengaturan, seperti pengaturan untuk KPT, KK, Akte Kelahiran, IMB, Izin usaha , pengaturan tata tertib dan ketentraman, dlsb. Apabila dikaitkan dengan posisi Pemerintah Daerah sebagai lembaga yang memperoleh ”legitimasi” dari rakyat untuk menyelenggarakan ”good and regulations” tersebut, pertanyaanya adalah: ” Sejauh mana Pemerintah Daerah mampu mempertanggungjawabkan kuantitas dan kualitas output yang dihasilkannya, sehingga benar-benar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat? Untuk itulah rakyat membayar pajak dan mempercayakan penggunaan pajak tersebut kepada wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah. Dari dasar pemikiran ini lahir konsep yang sangat dikenal sebagai ”No Tax Without Representation” [12]
Dalam pada itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah menurut semangat UU No. 32 Tahun 2004 yang menganut prinsip ”otonomi nyata dan bertanggungjawab” mengisyaratkan bahwa Pemerintahan Daerah dalam menentukan isi otonomi sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, bagaimanapun juga harus dikaitkan dengan ”kebutuhan riil masyarakat di daerah”, dengan perkataan lain seberapapun luasnya otonomi daerah yang diberikan, haruslah mampu memanifestasikan ”pelayanan publik” yang berkorelasi atau yang ”relevant” dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya, adalah tidak logis atau tidak riil-rasional, kalau Pemerintahan Daerah yang murni perkotaan, ditekankan kepada kegiatan urusan-urusan yang berkaitan dengan urusan kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian atau peternakan. Walaupun urusan-urusan tersebut ada di perkotaan, tapi relatif kecil sekali dibandingkan kebutuhan-kebutuhan yang merupakan ”core-competence” di perkotaan.
”Derasnya arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan kembalinya arus mudik Lebaran, merupakan bentuk kegagalan konsistensi Indonesia sebagai negara agraris. Salah satu akan persoalan yang mendasari adalah sempitnya akses petani kecil dan buruh tani terhadap tanah serta infrastruktur pertanian”[13]
Kondisi ini semakin parah karena kebijakan pembangunan yang menitik beratkan kepada ”pertumbuhan” (growth)  masih tetap menenmpatkan kota-kota besar seperti Jakarta sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan, di sisi lain berbagai persoalan di pedesaan seperti minimnya infrastruktur dan  kesulitan lahan terus terjadi, sehingga tidak mengherankan jika warga desa terus mengalir ke kota untuk mencari nasib. Beberapa warga desa yang ikut bersama pemudik balik ke Jakarta mengaku, bahwa mengadu nasib ke Jakarta, karena kondisi lahan di desa mereka sangat memprihatinkan, kekeringan menyebabkan banyak lahan terlantar, tiadanya jaringan irigasi, jalan, dan listrik di pedesaan menyebabkan parahnya kehidupan ekonomi di pedesaan.[14] Kalau begitu, buat apa kebijakan desentralisasi dengan memberikan otonomi yang luas dan bertanggung jawab kepada Daerah kalau bukan untuk mensejahterakan rakyat di pedesaan? Pertanyaan inilah yang harus terjawab, baik oleh penentu kebijakan di daerah maupun di pusat, terutama dalam mencari akar permasalahannya.     
 Oleh karena itu, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa dipakai dalam menentukan isi otonomi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sbb:
Pertama, pendekatan isi otonomi yang berorientasi kepada penyediaan pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan pokok (Basic needs)  masyarakat, seperti : pelayanan kesehatan, pendidikan, lingkungan  air minum, transportasi perkotaan, fasilitas untuk pejalan kaki (trotoir), fasilitas pencegah dan pemadam kebakaran, relokasi pedagang kaki lima, resetlement daerah2 kumuh dlsb.
Kedua, pendekatan atas dasar sektor unggulan (”core-competence”) daerah, yaitu kebutuhan daerah untuk melakukan kewenangan yang berdasarkan pertimbangan urusan-urusan ”unggulan” yang akan dilakukan daerah tersebut untuk memajukan daerahnya masing-masing. Penentuan core-competence ini didasarkan kepada perhitungan terhadap apa yang menjadi unggulan suatu daerah yang pengembangannya akan berdampak sangat besar terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah ybs, misalnya core-competence di bidang pertanian, peternakan, industri, pariwisata dlsb.
Untuk menentukan core-competence suatu daerah, bisa diukur dari 3  indikator sbb: 
a. Komposisi penduduk menurut mata pencahariannya. Dari data statistik mata pencaharian penduduk, akan terlihat sektor mana yang     paling menyerap tenaga kerja penduduk daerah ybs. Dengan demikian, Pemerintah Daerah sudah seharusnya memberikan perhatian untuk pengembangan sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja penduduk terbanyak;
b. Pemanfaatan lahan. Dari pemanfaatan lahan akan terlihat sektor mana yang dikembangkan di daerah yang bersangkutan;
c. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari komposisi PDRB dapat dilihat  sektor mana yang memberikan kontribusi paling besar terhadap perekonomian daerah. Dari setiap sektor yang ada dalam komposisi PDRB, dilihat sektor mana yang mempunyai ”forward linkage” dan ”backward linkage” terbesar,  terutama dampaknya terhadap kegiatan penduduk.
               Pertimbangan dari ketiga faktor tersebut akan memberikan gambaran kepada Pemerintah Daerah, sektor-sektor mana yang menjadi andalan daerah yang bersangkutan untuk dikembangkan, sehingga pemahaman sektor unggulan tsb akan menjadi acuan bagi Daerah dalam menentukan isi otonomi atas dasar core-competence  daerah  ybs., sudah barang tentu termasuk fasilitas pelayanan umum yang harus disediakan oleh pemerintah, dalam bentuk infrastruktur, fasilitas umum dlsb.
               Keleluasaan (diskresi)  yang cukup luas yang diberikan kepada Daerah oleh UU No.32 Tahun 2004 untuk menentukan isi otonominya, dengan mengacu kepada pendekatan core-competence, maka isi otonomi daerah dari satu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya, tergantung dari sektor mana yang akan dikembangkan sebagai core competence diluar kewenangan yang menjadi kewajiban untuk penyediaan basic services.
               Dari kondisi tersebut, maka Pemerintahan Daerah haruslah berhati-hati dalam menentukan urusan-urusan mana saja yang akan dijadikan ruang lingkup otonominya. Akan tetapi, bukan juga berarti bahwa Pemerintahan Daerah dapat mengenyampingkan urusan-urusan yang merupakan pelayanan terhadap kebutuhan pokok (basic services) masyarakat seperti: pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi dlsb, dan juga urusan yang berkaitan dengan pengembangan core-competence daerah ybs.  Disamping itu, harus juga menjadi perhatian Pemerintahan Daerah untuk menentukan pilihan (option) yang paling optimal dalam melaksanakan urusan otonominya, terutama yang menyangkut dengan pelayanan publik, apakah suatu urusan tersebut akan sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintahan Daerah sendiri public), atau diserahkan sepenuhnya kepada swasta (private), atau dilakukan kemitraan antara Pem.Daerah dengan Swasta (public private partnership)  .[15]

               Dalam pada itu, perlu menjadi perfhatian bahwa urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan (option)  dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa urusan itu adalah urusan yang  secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.[16] Walaupun pelaksanaan ketentuan tersebut dijanjikan dalam UU 32/2004 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, namun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebaiknya pro-aktif mengambil initiatif dan oto-aktivitas dalam menentukan option tersebut, karena kesempatan, serta kewenangan untuk mengatur dan mengurus pemerintahan sendiri dan kepentingan masyarakat setempat secara undang-undang telah diberikan kepada pemerintahan/masyarakat daerah. Initiatif tersebut bisa dilakukan, baik melalui pengembangan hubungan pemeriantahan, maupun peningkatan kerjasama antar daerah.

4.  Mendorong Hubungan Pemerintahan dan Kerjasama antar Daerah.

Kalau dalam UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa antara Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain, maka dalam UU No. 32 Tahun  2004 dengan tegas dinyatakan bahwa terdapat hubungan pemerintahan yang mencakup 3 (tiga) hal, yaitu hubungan dalam bidang keuangan, bidang pelayanan umum, dan bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, yang kesemuanya meliputi hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan antar Pemerintahan daerah, sehingga pola hubungan tersebut menjadi sbb:
                  Pertama, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah dalam bidang keuangan, meliputi:
a.       pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan  daerah;
b.      pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c.       pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.
            Kedua, hubungan antar Pemerintahan  daerah dalam bidang keuangan, meliputi:
  1. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan
      daerah kabupaten/kota;
  1. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
  2. pembiayaan bersama atas kerjasama antar daerah; dan
  3. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
            Ketiga, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam bidang pelayanan umum, meliputi:
  1. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
  2. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan
  3. fasilitasi pelaksanaan kerjasama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
            Keempat, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang pelayanan umum, meliputi:
  1. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
  2. kerjasama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum; dan
  3. pengelolaan perizinan bersama dalam bidang pelayanan umum.
            Kelima, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, meliputi:
a.       kewenangan, tannggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budi daya dan pelestarian;
b.       bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c.       penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
            Keenam,  hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, meliputi:
a.     pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
b.    kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
c.     pengelolaan peridzinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
            Daerah yang memiliki ”wilayah laut” diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, dimana daerah akan memperoleh bagi hasil atas pengelolaan sumber daya di bawah dasar dan/atau di dasar laut, yang pengaturannya sesuai dengan perundang-undangan.
            Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakkan hukum terhadap perauran yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewsenangannya oleh pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan, keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
            Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tersebut, ditentukan paling jauh 12 (duabelas) mil laut, diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan untuk provinsi, dan 1/3  (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi diperuntukkan untuk Kabupaten/Kota.
            Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya  di wilayah laut tsb dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antara 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk Kabupaten/Kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. Ketentuan tersebut diatas, tidak berlaku bagi penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Yang dimaksud dengan ”nelayan kecil” disini adalah nelayan masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan secara tradisional, dan terhadapnya tidak dikenakan  surat idzin usaha, dan bebas dari pajak, dan bebas manangkap ikan di seluruh pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.

5.  Kesenjangan antara niat dan realitas.

Konstatasi adanya kesenjangan antara niat (willingness; political will)
Pemerintah Indonesia dan realitas di lapangan dalam melaksanakan asas    desentralisasi dan otonomi daerah, berawal dari perkembangan konfigurasi politik yang mendasari piranti perundang - undangan serta komitmen politik pemerintah yang sangat jelas menginginkan terwujudnya otonomi daerah dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan di Indonesia, berdasarkan asas desentralisasi.
Namun, sejauh ini perwujudan asas ini masih senggang dari idealisasi yang diharapkan. Misalnya, beberapa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daeah Kabupaten/Kota, yang seharusnya sudah bisa direalisasikan di daerah, nyatanya masih tetap ditangani oleh pusat dengan dalih eksternalitas dan akuntabilitas tergolong kepada kepentingan nasional (seperti: petanahan, sumber-sumber daya alam dan sumber daya lainnya dlsb.), sehingga dalam realisasi manajemen pemerintahan terdapat beberapa Keppres yang dikeluarkan yang dalam praktek mengalahkan kekuatan Undang-undang. 
      Sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita bisa mengatasi segala persoalan yang besar pula. Dalam sejarah bangsa ini, kita melihat kenyataan selalu bisa keluar dari berbagai kemelut bangsa, baik mengusir penjajah, meredam berbagai pemberontakan, dan jatuh bangunnya sistem pemerintahan yang berganti - ganti. Kita juga telah memperlihatkan kepada dunia atas kemampuan kita mngintegrasikan seluruh wilayah dan masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah yang amat luas ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini bukan kerja yang asal - asalan, tetapi pekerjaan besar, pekerjaan yang genius, berkat pimpinan negara yang lalu. Bung Karno, seorang yang gandrung akan persatuan dan selalu bergelora  bicara masa depan bangsa. Ia hidup dalam mimpi - mimpi dan gagasan  besar, tetapi yang kurang diperhatikan adalah merumuskan atau membuat fondasi tahapan seperti apa yang harus dilalui untuk menjadi bangsa yang besar itu. Penggantinya H.M.Soeharto, menggerakan sejarah persatuan dengan doktrin dan kekuatan tentara. Politik menjadi “tertib” sebab semuanya dalam bingkai dan kontrol negara. Pengelola negara yang mestinya melayani publik, memposisikan dirinya sebagai pihak yang harus dilayani. Pengelolaan negara dan keluarga pun menjadi wilayah yang sulit dibedakan. Dalam tumpang tindih garis batas wilayah negara dan keluarga, praktek perkoncoan dan kronisme pun tidak bisa dihindarkan. Baik Bung Karno maupun Pak Harto kurang memperhatikan aspek pembngunan manusia (human development). “Politik” adalah panglima di masa orde lama dan “stabilitas” adalah panglima di masa orde baru. Keduanya telah mengorbankan kualitas manusia Indonesia[17]  Dampaknya, adalah sangat mudah difahami kalau menurut ukuran Human Development Index (HDI),  kualitas manusia Indonesia terburuk di antara negara - negara di Asean, dimana Indonesia berada di peringkat ke-111 di antara 175 negara di dunia, sedangkan Malaysia yang dulu hampir seluruhnya belajar dari kita, kini di urutan ke-76, dan Filipina di urutan ke-98. Dalam pada itu, menurut Badan Pusat Statistik 2004, kini penduduk miskin mencapai 36,1 juta. Kondisi kemiskinan seperti ini setara dengan keadaan 15 tahun yang lalu.[18]
Inilah salah satu masalah cukup mendasar yang menjadi tantangan kita dalam menghadapi krisis multidimensi, melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia menuju kepada proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good governance), dan yang berpihak kepada rakyat.

6. Melihat sekilas perspektif historis.

Melalui kajian sejarah administrasi pemerintahan di Indonesia, tampak sebenarnya adanya semacam kesinambungan upaya mewujudkan desentralisasi yang selalu berakhir dengan munculnya praktek - praktek sentralisasi. Apakah dengan melalui Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1945; Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pengecualian terjadi pada masa berlakunya Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang didasarkan kepada UUDS - 1950 melalui sistem pemerintahanan yang parlementer dan dilandasi oleh faham demokrasi yang sangat liberal.
Namun, pada masa rezim Orde Lama dengan menggunakan semangat Demokrasi Terpimpin, setelah keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 umurnya tidak panjang, dan keburu dipangkas dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang merombak secara fundamental Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 hanya dengan sebuah “Penetapan Presiden” tanpa meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasannya, sekalipun “Penetapan Presiden” mempunyai derajat lebih rendah daripada Undang-undang, namun dasarnya adalah Dekrit Presiden yang menyelamatkan kesatuan dan persatuan bangsa, yang hampir kolaps pada Sidang Dewan Kontituante yang gagal membentuk UUD tetap, disamping untuk menghapus dualisme pemerintahan yang marasuk penyelenggaraan pemerintahan pada masa Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957.  Itulah era  Demokrasi Terpimpin dengan semangat “Faham Negara Intergralistik”, yang sesungguhnya faham ini, sekali lagi  secara konstitutional tidak dianut di dalam UUD 1945.
Rezim Orde Lama, dengan dalih atas dasar semangat Demokrasi Terpimpin, mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghapuskan dualisme dalam pemerintahan, dengan dikeluarkannya Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959, kembali terjebak dalam pola “sentralisasi” yang merombak “sistem pemerintahan kolegial” (collegial bestuur) yang dianut dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 menjadi “sistem pemerintahan tunggal” (Eenhoofdig-bestuur) dengan mengangkat dan mendudukan Kepala Daerah sebagai “alat daerah” dan sekaligus sebagai “alat pusat”.
Dengan kebijakan ini, upaya pemerintah untuk menghapuskan “dualisme” dalam penyelenggaraan pemerintahan, hanya berhasil menghapuskan “dualisme struktural” saja, sedangkan dualisme dalam fungsi (dualism in function) tetap tidak terhapuskan, karena justru penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan fungsi “dekonsentrasi” yang menyangkut fungsi “pemerintahan umum” (“Algemene bestuur”) yang menurut Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas - Tugas Pemerintah Pusat dalam bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai Negeri dan Penyerahan Keuangannya kepada Pemerintah Daerah diletakkan kembali di tangan Kepala Derah dalam kedudukannya sebagai “alat pusat”.
Dengan demikian, kedudukan dan peranan Kepala Daerah semakin diperkuat dan semakin dominan. Itulah era pemerintahan yang disebut “Executive heavy” atau sering juga disebut “Strong Executive System”. Itulah pula sebabnya, banyak kritikan yang dilontarkan kepada rezim pemerintahan pada saat itu, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, terutama setelah dikeluarkannya PenPres Nomor 6 Tahun 1959 dipandang sebagai “retreat from autonomy”.
Dengan demikian pula, terlihat adanya kausalitas antara sistem politik dan pemerintahan yang berlaku, dengan upaya mewujudkan asas desentralisasi pemerintahan. Pemerintah Indonesia tampaknya sangat menyadari kausalitas ini.
Oleh karena itu, pada era rezim Orde Baru diambil keputusan politik yang menetapkan Demokrasi Pancasila sebagai landasan berpolitik bangsa. Dengan keputusan politik tersebut, seluruh tatanan pemerintahan harus disesuaikan dengan isi dan semangat Demokrasi Pancasila. Konsekuensinya, harus disusun Undang – Undang yang menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Maka keluarlah Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok - pokok Pemerintahan di Daerah. Melalaui Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini pemerintah bertekad untuk mewujudkan Otonomi Daerah. Namun, dikehendaki agar pelaksanaan Otonomi Daerah ini tidak mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, ataupun membahayakan kesinambungan gerak pembangunan nasional. Maka lahirlah konsep “otonomi nyata dan bertanggung jawab”, Otonomi daerah dipandang lebih merupakan “kewajiban” daripada “hak”. Prinsip Otonomi yang seluas - luasnya, yang digelar melalui UU No. 18 Tahun 1965 tidak dianut lagi, karena berdasarkan pengalaman konsep ini sangat rawan disintegrasi dan dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Melalui konsep Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini, pemberian otonomi daerah dalam wujud hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri, disesuaikan dengan kemampuan daerah, serta kerangka besar dalam pembangunan nasional. Tampaknya, syarat - syarat semacam ini yang memunculkan kendala baru bagi perwujudan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Penelitian yang terus menerus saya lakukan, menemukan bahwa UU Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menitik beratkan pelaksanaan otonomi daerah pada Daerah Tingkat II, demikian pula paradigma yang menyatakan bahwa azas desentralisasi dilaksanakan bersama - sama dengan asas dekonsentrasi, ternyata kembali terjebak dengan kecendurungan awal munculnya sentralisasi  pelaksanaan administrasi pemerintahan di Indonesia, yang dalam prakteknya dekonsentrasi lebih menonjol dan sangat dominan, yang diletakkan di tangan Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai Kepala Wilayah.
Ini adalah lagi - lagi penonjolan wajah “Eksekutif heavy” dalam era konfigurasi politik menurut Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat dalam pengembangan demokrasi dan sebagai alat kontrol, dalam era Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 hampir - hampir tidak berfungsi, karena didominasi oleh wewenang Kepala Daerah/ Kepala Wilayah yang sangat kuat.
Walaupun Undang - Undang ini bertahan selama lebih dari 25 tahun, dengan menekankan  bahwa titik - berat otonomi diletakkan pada Daerah Tingkat II, namun keinginan politik ini tidak bisa direalisasikan, karena Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 baru dapat dikeluarkan 18 (delapan belas) tahun kemudian, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II. Namun, Peraturan Pemerintah inipun tidak berjalan mulus, karena lagi-lagi Pemerintah Pusat tidak konsekuen dengan kebijakannya yang mestinya Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah dengan mengutamakan penyerahannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, tidak berjalan dengan baik. Demikian pula, Pemerintah Daerah Tingkat I yang secara imperatif dalam PP tsb diwajibkan untuk secara berangsur - angsur selambat - lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun sejak dikeluarkannya PP tersebut, menyerahkan lebih lanjut kewenangan otonominya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, boleh dikatakan tidak berjalan sama sekali, karena PP tersebut tegas - tegas menyatakan bahwa kebijakan peletakan titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengurangi keberadaan dan peranan Pemerintah Daerah Tingkat I. Dengan demikian, eksistensi Daerah Tingkat I sebagai “daerah otonom” tetap kuat, sedangkan Daerah Tingkat II perkembangan otonominya tetap tersendat - sendat.
Kemudian, kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam rangka reformasi perundang - undangan politik dan pemerintahan, dengan memberikan keleluasaan penyelenggaraan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah suatu strategi dan paradigma baru dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih, bertanggung jawab dan demokratis, dengan menggeser paradigma “Executive heavy” kepada “Legislative heavy”, dengan lebih menonjolkan kepada keberpihakan kepada rakyat. Perumusan “Otonomi Daerah” yang merupakan pergeseran paradigma yang berpihak kepada rakyat, menyebutkan bahwa “Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat………. dst.”
Sebelum terjadi perubahan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, dilihat dari sisi hubungan kelembagaan antara Eksekutif dan Legislatif ternyata adanya hubungan kemitraan yang sebenarnya  kurang tepat (hubungan yang tidak sejajar), dimana Kepala Daerah dipilih dan ditetapkan oleh DPRD, dan bertanggung jawab kepada  DPRD, tetapi di pasal lain menegaskan bahwa kedudukan DPRD dan Kepala Daerah adalah sejajar sebagai mitra - kerja. Sedangkan DPRD sendiri tidak jelas bertangungg jawab kepada siapa. Kalau bertanggung jawab kepada rakyat, tidak terdapat mekanisme yang jelas bagaimana bentuk pertanggung jawaban DPRD tersebut. Dengan demikian, kondisi tersebut tidak memungkinkan adanya “kemitraan” yang sejajar  dan kecendurungan secara realitas posisi DPRD lebih kuat daripada Kepala Daerah, sehingga mencerminkan gejala bahwa kewenangan DPRD lebih tinggi dari Kepala Daerah.

7. Kebijakan Pilkada yang membawa anarkhisme.

Pengalaman menunjukkan, bahwa sering terjadi ”impeachment” terhadap Kepala Daerah hanya dengan keputusan DPRD, apakah karena LPJ - nya ditolak atau karena sebab - sebab lain yang kecendurungan menunjukkan kekuasaan DPRD lebih tinggi dari Kepala Daerah, meskipun menurut  jiwa dan semangat Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 pemberhentian Kepala Daerah tidak sepenuhnya berada dalam kompetensi DPRD, melainkan kewenangan untuk memberhentidkan Kepala Daerah tersebut berada pada Presiden. Inilah suatu paradigma yang cenderung lebih menjukkan “Legislative heavy”  dalam sistem Pemerintahan  Daerah yang berjalan menurut Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999. 
Inilah pula, salah satu alasan mengapa Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pergantian Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang tujuannya antara lain untuk mengembalikan dan mewujudkan keseimbangan dari “Legislatif heavy” kepada “Eksekutif heavy” dan keseimbangan antara hubungan kekuasaan pusat dan daerah, kembali terjebak kepada nuansa “re-sentralisasi” dalam penyelenggaraan otonomi daerah.       
Hubungan Eksekutif – Legislatif Daerah, idenya ingin mengembangkan strategi baru yang lebih dinamis, dimana hampir 30% pasal - pasal dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 (pasal 56 s/d pasal 119) mengatur tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Namun, kenyataan di lapangan banyak kericuhan terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, terjadi konflik horizontal dimana - mana, terutama setelah salah satu “calon terpilih” dinyatakan menang dalam Pilkada tersebut. Namun tidak jarang pula terjadi konflik vertikal, ketika salah satu calon yang diajukan oleh Parpol ditolak oleh KPUD, belum lagi terjadinya “money politic” yang berlebih - lebihan, uang terhamburkan dimana - mana hanya untuk memenangkan jabatan Kepala Daerah, daripada diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, ada orang yang bangkrut setelah tidak terpilih menjadi Kepala Daerah, sebaliknya orang yang terpilih  sebagai Kepala Daerah, menjadi kebingungan bagaimana mengembalikan uang biaya Pilkada yang jumlahnya milyaran rupiah itu. Disamping itu, banyak perilaku masyarakat pemilih menjadi anarchist, merusak gedung - gedung dan sarana pemerintahan, karena ketidak puasan hasil Pilkada, dengan dalih pencerminan “demokrasi”, tetapi nyatanya kaostik dan anarkhis, dan banyak lagi persoalan - persoalan yang muncul yang mencerminkan seolah - olah pemerintah tidak mampu lagi untuk menyelesaikannya, bahkan seolah - olah ada kesan bahwa tidak ada satu badan publikpun yang semestinya bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan - persoalan tersebut, sehingga membawa dampak instabilitas dalam pemerintahan dan ketidak tentraman dalam masyarakat.
Sedikit saya mengutip Editorial Media Indonesia, yang berjudul “Wajah Seram Indonesia”, a.l. sbb:
“Wajah Indonesia berubah total akhir - akhir ini. Di Era Orde Baru, wajah Indonesia ditampar-tampar oleh Negara, demi keamanan dan pembangunan. Sekarang, di era reformasi wajah Indonesia digebuk - gebuk oleh rakyatnya sendiri atas nama demokrasi. Kita sekarang muncul sebagai bangsa yang gaduh. Apa saja yang dirasa tidak sesuai dengan pikiran individu atau kelompok diributkan, entah di parlemen, entah di jalan - jalan. Di parlemen hampir setiap minggu kita mendengar tentang ancaman angket dan interpelasi. Di jalan raya demonstrasi oleh warga dan anggota LSM tidak pernah putus.
Pekan-pekan ini, citra Indonesia tidak lagi sekedar bangsa yang gaduh. Demonstrasi menentang PT Freeport di Papua yang berujung kematian tiga anggota Polri dan satu TNI, pembakaran kamp milik PT Newmont di NTB, dan disusul sekarang dengan aksi - aksi menentang Exxon Mobile di Blok Cepu, memperburuk wajah kita. Indonesia tidak lagi hanya bangsa yang gaduh, tetapi anarkistis. Bangsa yang tidak menghargai perjanjian dan komitmen. Para elite bangsa sekarang tenggelam dalam keyakinan super - kuat seakan - akan Indonesia begitu hebatnya, sehingga tidak memerlukan lagi orang - orang di bagian dunia yang lain. Setiap hari kita memaki, mengecam, mengusir, dan merusak. Padahal Indonesia sangat miskin dan lemah. Kita membutuhkan modal, keahlian, dan teknologi. Semua ini hanya bisa diperoleh apabila kita menampilkan wajah yang menawan dan bersahabat. Tidak wajah garang yang selalu mengepal tinju dan menghunus pedang…………….dst. dst.”[19]

       8. Kelemahan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam penyelenggaraan Pilkada.

Ada beberapa kelemahan terdapat dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berdampak kerancuan dalam implementasi Pilkada, antara lain:
a. Penunjukan KPUD sebagai Pelaksana Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung (PILKADA) adalah kurang tepat, karena tugas dan kewenangan KPU (KPUD) adalah melaksanakan Pemilu, dan bukan melaksanakan Pilkada;
b. Pasal 57 UU No.32/2004 menyatakan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD, namun Pasal tsb dalam judicial - review dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. sehingga, dalam menyelenggarakan Pilkada, KPUD tidak jelas bertanggung - jawab kepada siapa;
c. Penyelenggaraan Pilkada merupakan kompetensi Pemerintah cq. Pemerintahan Daerah, dan karenanya perlu dibentuk Panitia/ Komisi Pemilihan Kepala Daerah yang unsur - unsurnya terdiri dari tokoh masyarakat, perguruan tinggi, pers dll yang bertanggung jawab kepada Pemerintah cq. Pemerintahan Daerah;
d. Sosialisasi dan diseminasi peraturan perundang - undangan tentang Pilkada sebagaimana tertuang dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pelaksanaannya, kurang sekali disosialisasikan kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat kurang memahami aturan main, semangat dan jiwa, serta konsekuensi - konsekuensi yang bakal terjadi pada Pilkada, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan multi - interpretasi dan persepsi yang berbeda - beda;
e. Maraknya “politik - uang” hampir di seluruh lini penyelenggaraan Pilkada, baik di kalangan masyarakat, KPUD, para calon Kepala Daerah, termasuk Tim Suksesnya dll.
f. Panitia Pengawas Pilkada tidak berfungsi secara optimal.

9. Upaya menyeimbangkan hubungan antara DPRD dan Kepala
   Daerah.

Sesungguhnya, ideenya, kalau pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung, maka diharapkan akan merubah perimbangan hubungan antara Eksekutif dan Legislatif daerah, sehingga skenario format hubungan yang akan terjadi adalah sebagai berikut:[20]

Pertama, DPRD akan dipilih dengan sistem proportional terbuka, ini berarti ada tanda gambar dan sekali gus daftar nama caleg. Kalau pemilih tidak memilih nama, maka alternatifnya adalah menusuk tanda gambar, yang berarti Elite Parpol yang akan memegang peranan utama menentukan siapa yang akan didudukkan di lembaga legislatif daerah. Hasil Pemilu 5 April 2004 juga menunjukkan bahwa hanya 2 orang anggota DPR di tingkat Nasional yang benar-benar terpilih yang memenuhi “Bilangan Pembagi Pemilih” (BPP). Masalahnya sering calon yang mendapatkan suara terbanyak, tidak memenuhi treshold BPP yang diunjuk mewakili parpol di DPR atau DPRD dan menimbulkan konflik internal di tubuh parpol. Kalau rakyat lebih banyak memilih tanda gambar dan bukan orang, akibatnya, akuntabilitas individu akan berkurang, sedang akuntabilitas kolektif akan lebih menonjol.
Kalau Kepala Daerah dipilih secara langsung, ini  berarti bahwa Kepala Daerah akan mendapatkan legitimasi penuh dari rakyat pemilih, artinya rakyat akan memberikan legitimasi politik secara langsung kepada orang yang dipilihnya. Dengan kata lain akuntabilitas Kepala Daerah akan lebih kuat dibanding dengan akuntabilitas DPRD, dimana akuntabilitas Kepala Daerah lebih bersifat individu dibanding dengan akuntabilitas DPRD yang bersifat kolegial. Akibatnya, akan terjadi pergeseran (shift) titik berat kekuatan politik yang tadinya ke DPRD (“Legislative heavy”) akan bergeser kepada Kepala Deerah (“Executive heavy”). Ini adalah akibat akuntabilitas Kepala Daerah yang lebih kuat dibandingkan dengan DPRD. Kondisi tersebut akan diperkuat lagi dengan adanya dukungan perangkat daerah kepada Kepala Daerah. Dengan demikian, jelas akan lebih memperkuat posisi Kepala Daerah.
Kedua, konsekuensi dari pemilihan langsung, maka baik DPRD maupun Kepala Daerah akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. Ini berarti, tidak lagi Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD sekalipun DPRD mempunyai posisi sebagai wakil rakyat, karena Kepala Derah pun akan mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat yang dipilih secara langsung. Persoalannya sekarang, kepada siapa Kepala Daerah harus bertanggung jawab? Karena Kepala Derah dipilih langsung oleh rakyat, maka seyogyanya ia (Kepala Daerah) bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Lantas mekanismenya bagaimana kalau Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada rakyat, dan apakah rakyat bisa memberhentikan Kepala Derah apabila rakyat tidak menyukai atau mempercayainya lagi.  Di negara - negara maju, seperti di Amerika, Kepala Derah dapat diberhentikan oleh rakyat apabila diatas 50% pemilih menyatakan tidak menghendaki lagi Kepala Daerah ybs. Kondisi ini, akan berjalan baik, apabila pendidikan politik rakyat sudah mantap, seperti di Amerika. Namun,  kalau cara - cara tersebut diterapkan di Indonesia, dimana pendidikan politik rakyat belum mantap, pelaksanaan demokrasi tendensinya anarkhis, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi instabilitas dalam pemerintahan daerah, dimana di kalangan masyarakat Indonesia masih kental cara - cara “money politics” dalam pemilihan Kepala Daerah, maka dengan imbalan uang, rakyat akan dengan mudah digerakkan untuk memilih seseorang calon  Kepala Derah, demikian juga sebaliknya rakyat akan dengan mudah digerakkan untuk menjatuhkan Kepala Daerah dengan cara - cara yang sama. Sebagai konsekuensinya, pemerintahan yang tidak stabil sudah barang tentu akan mengganggu stabilitas keamanan dan counter - productive terhadap laju pertumbuhan dan investasi, yang pada gilirannya kondisi tersebut akan menciptakan krisis yang berkepanjangan. Karena itu, dalam rangka pemilihan Kepala Derah perlu adanya sosialisasi dan pendidikan politik yang intensif bagi rakyat pemilih, supaya mereka menyadari bahwa sekali mereka memilih Kepala Daerah maka mereka akan menanggung segala konsekuensi dari pilihannya tersebut. Karenanya perlu penegasan dan difahami oleh rakyat bahwa pemberhentian Kepala Derah hanya dapat dilakukan apabila ybs melakukan tindak - pidana, mengundurkan diri atau tidak lagi mampu menjalankan tugasnya sebagai Kepala Derah sebagaimana ditentukan dalam perundang - undangan. Demikian juga dengan posisi DPRD, dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol, Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk, anggota DPRD dapat di re-call oleh pimpinan Parpolnya. Dalam pada itu ada  Badan Kehormatan dalam lembaga DPRD yang nantinya akan menerima komplain dari masyarakat tentang anggota DPRD dan dapat memberhentikan anggota DPRD apabila anggota DPRD terbukti melanggar tata - tertib dan kode - etik DPRD.
Ketiga, DPRD diharapakan akan tetap mempunyai otoritas di bidang legislasi, anggaran dan kontrol, sesuai dengan hak-haknya sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang - undangan. Apabila mereka mampu mempergunakan kewenangan dan hak - hak tersebut secara effektif, maka diharapkan DPRD sedikit - banyak akan mampu mengimbangi kekuatan Eksekutif. Namun, kalau kualitas anggota DPRD tetap seperti sekarang, tanpa adanya kemajuan yang berarti, maka akan sulit bagi DPRD untuk  mengimbangi kekuatan dan kinerja eksekutif yang didukung oleh perangkat daerah yang professional. DPRD yang lemah, berpotensi untuk melemahkan fungsi kontrol terhadap eksekutif, fungsi legislasi dalam membuat kebijakan, dan fungsi anggaran dalam menetapkan dan mendayagunakan potensi anggaran daerah, sehingga akan menciptakan kondisi “Executive heavy” seperti terjadi puluhan tahun pada masa orde baru. Oleh karena itu, untuk menciptakan “check and balances” yang seimbang, maka rakyat sebagai “stake - holders” utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah, perlu digerakkan agar mampu menjadi “pressures and supporters”, baik kepada DPRD maupun kepada Kepala Daerah melalui upaya revitalisasi LSM, Forum Komunikasi, Organisasi professi dll yang berbasis demokrasi, professionalisme, serta ethik dan moral.
 Keempat, harus ada perubahan yang signifikan terhadap konstruksi pemerintahan daerah, terutama yang menyangkut kejelasan antara “pejabat politik” (Kepala Daerah dan DPRD) dengan “Pejabat non - politik” (Pejabat karier). Pejabat politik adalah pejabat yang bertugas merumuskan dan menetapkan “kebijakan publik”, sedangkan pejabat karir adalah pejabat yang melaksanakan/ mengoperasionalkan kebijakan tersebut kedalam bentuk pelayanan publik atau pemenuhan kebutuhan publik. Dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor  22 Tahun 1999 terdapat masalah kepegawaian daerah, a.l. dengan diberikannya kewenangan manajemen kepegawaian sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, terjadi kecendurungan kooptasi oleh kekuatan politik di daerah, baik dari pihak Kepala Daerah maupun dari DPRD, misalnya banyak kasus terjadi pemberhentian Sekda oleh Kepala Daerah/ DPRD tanpa alasan yang jelas. Untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah di bidang manajemen kepegawaian, maka Daerah sebaiknya dilibatkan dalam proses rekrutmen, placement, development dan appraisal dari PNS Daerah, artinya unsur - unsur “separated system” dalam manajemen kepegawaian, diberikan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, dan “integrated system” diterapkan dalam rangka menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan otonomi daerah, karena bagaimanapun juga posisi PNS tetap harus difungsikan sebagai perekat negara dan bangsa disamping professionalisme pegawai yang perlu terus ditingkatkan.

10. Penutup.

            Demikian, beberapa pokok-pokok pikiran tentang pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah sebagai bahan masukan dalam Seminar ini untuk didiskusikan lebih lanjut.
            Terima kasih atas perhatiannya.


[1]Faham Negara Integralistik” adalah suatu faham yang memandang kepentingan individu dan kepentingan masyarakat harus dilihat secara keseluruhan (integral), tidak terpisah sendiri-sendiri, dengan kata lain setiap kepentingan apapaun selalu harus dikaitkan dengan  kepentingan Negara secara keseluruhan.
[2] Alfred Stepan, The State and Society, Peru in comparative perspective, Princeton, NJ: Princeton UP, 1978, hlm. 26-27
[3] Ide tentang negara integralistik ini dipaparkan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, ketika membahas dasar negara apabila kelak Indonesia merdeka. Pembahasan yang sangat tajam mengenai penyimpangan gagasan Soepomo ini, dapat dilihat dalam karya Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1994.
[4]Pasal 28 UUD 1945 yang tadinya hanya 1 pasal, setelah amandemen kedua berubah menjadi 10 Pasal, yaitu 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, dan 28J
[5] Pasal 18 UUD 1945 yang tadinya hanya satu pasal berubah menjadi 3 (tiga) pasal, yaitu pasal 18, 18A, 18B setelah terjadi amandemen kedua.
[6] Marsilam Simanjuntak, op.cit., hlm. 247.








[7] Lihat Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004
[8] Lihat Pasal 20 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
[9] Ayat (3) Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004.
[10] Lihat Pasal 22 UU No.32 Tahun 2004.
[11] Grand design implementasi otonomi daerah dalam koridor UU nomor 32 tahun 2004, Depdagri, Jakarta 2005, hlm.50
[12] Ibid, hlm. 50
[13] Dipetik dari harian Kompas, 29 Oktober 2006, “Kegagalan Negara Agraris”, hlm.3.
[14] Ibid. hlm 3.
[15] Ibid., hlm 52
[16] Lihat Pasal 14 ayat (2) UU No. 32 Tahun  2004 beserta penjelasannya.
[17] Editorial Media Indonesia, Rabu, 16 Maret 2005/No.8867/Tahun XXXVI.
[18] Ibid, Editorial Media Indonesia.
[19] Editorial Media Indonesia, 21 Maret 2006, hlm.1
[20] I Made Suwandi, “ Implikasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung” (Dalam koridor UU 32 Tahun 2004), LAPI, Materi Workshop, 2004, hlm. 3-4.

Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

0 Response to "DOWNLOAD MAKALAH OTONOMI PERANAN DAN TUGAS UTAMA PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PELAYANAN PUBLIK "

Post a Comment